Dering alarm menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan pagi. Raka mengerjapkan mata, sedikit terganggu oleh suara bising yang berasal dari ponselnya. Dengan malas, ia meraih perangkat itu dari meja samping tempat tidur dan segera mematikannya. Sekilas, matanya melirik jam di layar—06:02.
Sambil menghela napas, ia menoleh ke samping, berharap melihat Kael masih terlelap seperti biasanya. Namun, yang ia dapati justru tempat tidur kosong. Raka mengerutkan dahi, menggumam pelan, "Si Kael udah gak ada aja, kemana coba?"
Dengan sedikit rasa penasaran, Raka bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan menuju ruang tengah, mengambil segelas air untuk membasahi tenggorokannya yang masih kering. Sambil meneguk air, tangannya menarik gorden jendela, membiarkan cahaya matahari pagi menerobos masuk ke dalam ruangan. Udara segar mulai mengalir saat ia membuka pintu yang mengarah ke balkon.
Saat ia melangkah keluar, matanya menangkap sesuatu di bawah. Sosok yang sangat dikenalnya tengah bergerak di halaman apartemen.
"78, 79, 80, 81..."
Di bawah sana, Kael sedang melakukan push-up, otot-ototnya menegang, keringat mulai membasahi tubuhnya. Gerakannya stabil, napasnya teratur.
Raka menyandarkan tangannya di pagar balkon, memperhatikan sahabatnya dengan tatapan penuh arti. Senyum tipis terukir di wajahnya. "Sepertinya dia bener-bener bersungguh-sungguh ingin ekspedisi ke dalam Labyrinth," gumamnya pelan sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam.
Sementara itu, Kael terus melanjutkan latihannya.
"97... 98... 100!"
Dengan satu dorongan terakhir, ia bangkit berdiri, menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Matanya menatap sekeliling, lalu ia berkata dengan nada tenang,
"Sentra, kira-kira memutari komplek apartemen ini berapa meter?"
Hologram biru muncul di hadapannya, menampilkan maps tiga dimensi dari area apartemen.
"Untuk satu kali putaran memiliki jarak 1,3 km, tuan."
Mendengar jawaban itu, Kael tersenyum puas. "Baiklah, tolong hitung berapa detik aku bisa mengelilinginya."
Hologram itu berubah menjadi tampilan stopwatch, siap menghitung waktu.
"Tolong bersiap, tuan! Mulai!"
Dalam sekejap, aura emas mulai menyelimuti tubuh Kael. Cahaya berwarna kuning keemasan berpendar dari kulitnya, berdenyut seperti api yang bergelora. Matanya bersinar emas, penuh dengan tekad.
Kemudian—DOR!
Kael melesat.
Tanah tempatnya berpijak sedikit retak akibat tekanan yang ia lepaskan. Jejak cahaya emas tertinggal di udara, mengikuti setiap langkahnya yang luar biasa cepat. Angin bergemuruh, dedaunan beterbangan, tubuhnya hampir tak terlihat oleh mata telanjang—hanya kilatan cahaya keemasan yang berkelok seperti kilat di sekitar komplek apartemen.
Bangunan, pepohonan, kendaraan—semuanya menjadi bayangan yang samar dalam pandangannya. Ia fokus. Setiap tarikan napasnya teratur, setiap langkahnya presisi. Udara menerpa wajahnya seperti pisau tajam, namun ia tetap melaju.
Dalam 47 detik, ia telah menyelesaikan satu putaran penuh.
Begitu kembali ke titik awal, ia menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, menciptakan semburan angin yang membuat debu dan dedaunan di sekitarnya beterbangan. Ia berdiri tegak, napasnya sedikit terengah.
"Huuuhhh..."
Matanya terangkat, menatap hologram yang masih melayang di atasnya.
"47 detik, ya..."
Ia terdiam sejenak, lalu bergumam pada dirinya sendiri. "Saat aku melihat pertarungan Sentinel Ascendants dari Order Garuda, salah satu dari mereka benar-benar melesat seperti petir sambil menghunuskan pedangnya..."
Gambaran itu kembali terlintas dalam pikirannya. Sosok yang begitu cepat hingga nyaris tak bisa diikuti oleh mata biasa. Serangan mereka dahsyat, melampaui batas manusia biasa.
Kael mengepalkan tangannya erat, tatapan tekad membara di matanya.
"Aku masih jauh dari level mereka..."
Namun, senyum kecil terukir di wajahnya. Ia mendongak ke langit pagi yang cerah, sinar matahari membias di iris emasnya.
"Sentinel Rank Celestial, Ascendants, Apex... semuanya akan aku lampaui."
Tekadnya telah terpatri. Tidak ada jalan kembali.
Di dalam apartemen, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan. Raka dengan santai mengaduk minuman hitam pekat itu, sesekali meniup permukaannya agar sedikit mendingin. Saat ia hendak menyeruput kopi, matanya menangkap sesuatu dari jendela—seberkas cahaya keemasan yang berkelebat di halaman apartemen.
Ia menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas. "Si Kael… apalagi yang udah dia lakukan?" gumamnya.
Rasa penasaran membuatnya berdiri, membawa cangkir kopinya ke balkon. Ia duduk di kursi santai, meletakkan kopi di meja kecil di sampingnya, lalu memperhatikan sosok Kael yang berdiri di halaman apartemen. Sedikit debu beterbangan, bercampur dengan dedaunan yang terangkat oleh embusan angin dari gerakan cepat Kael tadi.
Dari bawah, Kael mendongak ke atas dan melihat Raka yang sedang duduk. Tatapan mereka bertemu sejenak sebelum Kael mulai menurunkan tubuhnya sedikit, berancang-ancang untuk melompat ke balkon seperti yang ia lakukan kemarin.
Namun, sebelum ia sempat melesat—
"WOY WOY WOY! JANGAN LOMPAT-LOMPAT KAYA KEMARIN, GOBLOK!"
Teriakan panik Raka menggema di udara, membuat beberapa burung yang bertengger di sekitar apartemen berhamburan terbang.
Kael, yang sudah siap melompat, langsung berdiri tegak kembali, mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "SORRY, SORRY! ENGGAK, KOK!" serunya, mencoba menenangkan sahabatnya.
Melihat Kael batal melompat, Raka menghela napas lega dan kembali duduk. Namun, sebelum ia sempat menyesap kopi lagi—
WOOSHHH!
Sebuah hembusan angin kencang menerpa wajahnya, membuat rambutnya sedikit berantakan. Dalam sekejap, Kael sudah jongkok di atas pagar balkon, lalu melompat ringan ke lantai balkon dengan ekspresi santai.
Raka menatapnya dengan ekspresi kesal. "Huh… lama-lama lu jadi maling, main lompat-lompat ke rumah orang."
Kael hanya tertawa kecil, lalu tanpa permisi mengambil cangkir kopi dari meja dan menyeruputnya.
Setelah meneguk satu kali, ia menyipitkan mata, lalu menoleh ke Raka. "Pisang gorengnya mana?" tanyanya dengan nada santai.
Raka menatapnya dengan ekspresi tak percaya, lalu menjawab ketus, "Noh, beli sono!"
Kael menyeringai lebar. "Hehe… becanda, Pak Manager~" katanya, meletakkan kembali cangkir kopi dengan santai.
Setelah beberapa saat menikmati suasana pagi, Kael menoleh ke arah Raka lagi. "Jam berapa nanti berangkat?"
Raka melirik jam di ponselnya, lalu berkata, "Nanti jam 10-an, deh. Keburu kayaknya."
Mendengar itu, Kael tersenyum puas. "Awass yee… hari pertama gue kerja, gak boleh terlambat!"
Raka mendecak sebal. "Iya, iya…"
Tanpa berkata lagi, Kael berdiri dan berjalan ke tepi balkon. Kali ini, tanpa aba-aba, ia melompat ke atas pagar balkon dengan ringan, lalu langsung melompat turun ke bawah. Namun, kali ini ia menambahkan sedikit gaya—salto satu putaran penuh sebelum akhirnya mendarat dengan sempurna di tanah.
"Hup!"
Setelah mendarat, ia menengadah ke balkon dan berteriak, "Gue mau latihan dulu bentar!"
Tanpa menunggu jawaban dari Raka, Kael mengangkat tangan kanannya dan berkata, "Sentra, muncullah."
Hologram biru segera muncul, mengambang di atas telapak tangannya didepan wajahnya. "Ya, Tuan?"
Kael menatapnya dengan penuh antusias. "Kemarin lu memindahkan gue ke void khusus buat hukuman. Apakah ada void khusus buat latihan juga?"
Sentra terdiam sejenak, lalu menjawab, "Maaf, Tuan. Untuk fitur Training Center, belum bisa terbuka di level Anda yang sekarang."
Kael mendengar jawaban itu dengan ekspresi kesal. Ia menyeringai dan bergumam, "Sialan…"
Namun, bukannya kecewa, ia justru tersenyum lebih lebar.
"Yah, kalau gitu, latihan biasa dulu juga gak masalah!"
Tanpa ragu, ia kembali memulai sesi latihannya. Push-up, sit-up, plank, sprint cepat—semuanya dilakukan dengan intensitas tinggi. Tubuhnya kembali mengeluarkan kilauan energi emas, dan setiap gerakannya seperti semakin mendekati batas manusia biasa.
Di atas balkon, Raka hanya bisa menggelengkan kepala sambil menyesap kopinya. "Orang ini beneran gak ada capeknya..." gumamnya.
Beberapa Jam kemudian.
Jam menunjukkan 09:38.
Suasana apartemen masih terasa hangat dengan aroma nasi goreng yang menggoda. Kael baru saja keluar dari kamar mandi, masih menggenggam handuk di tangannya. Ia menggosok rambutnya yang basah, mengeringkannya dengan asal, lalu berjalan menuju meja makan.
Di sana, Raka dan Agnes sudah lebih dulu duduk menikmati sarapan mereka.
"Oy, sini! Sarapan dulu, ada nasgor buat lu," kata Raka, melirik Kael yang baru datang.
Kael tersenyum, langsung menarik kursi dan duduk. "Wihh, nasgor buatan siapa nih?" tanyanya dengan nada bercanda.
Raka mendengus. "Buatan Agnes. Gausah basa-basi, cepat makan. Jam 10 berangkat."
Kael terkekeh. "Oke, Manager!" katanya sambil mengambil sendok dengan semangat.
Suasana sarapan pagi itu terasa santai. Seperti biasa, Raka menghabiskan makanannya lebih dulu. Setelah meletakkan sendok di piring, ia menyandarkan tubuhnya sebentar sebelum bangkit.
"Gue ke bawah dulu, sekalian siapin mobil," katanya, lalu menoleh ke Agnes. "Nes, hari ini mau ke mana? Kakak mau keluar nganterin Kael, mau sekalian dianterin?"
Agnes mengangkat bahu. "Gatau, Kak. Kayaknya enggak, deh. Paling kalau keluar nanti dijemput temen."
Raka mengangguk. "Yaudah, kalau gitu."
Tanpa berkata lagi, ia berjalan keluar apartemen, turun ke parkiran.
Sementara itu, Kael mempercepat suapan terakhirnya. Begitu nasinya habis, ia meletakkan sendok dengan mantap dan berdiri.
"Yosh! Hari pertama gue sebagai seorang Sentinel beneran!" katanya dengan penuh semangat.
Agnes, yang masih mengunyah, tersenyum. "Semangat, Kak! Semoga ekspedisinya berhasil. Nanti cerita ya, gimana serunya di Labyrinth!"
Kael mengambil tas selempangnya, meraih jaketnya, lalu menoleh sambil tertawa kecil. "Mana ada di dalam Labyrinth itu seru, Nes… Kita berjuang bertahan hidup dari monster-monster yang ada di sana. Bisa keluar dari Void hidup-hidup juga udah syukur."
Agnes mengerucutkan bibirnya. "Tetep aja, pasti ada sesuatu yang menarik, kan?"
Kael terkekeh, lalu berjalan menuju pintu apartemen. "Yaudah, gue dan kakak lu pergi dulu ya! Daaah!" katanya sebelum menutup pintu dan bergegas turun ke parkiran.
Di bawah, Raka sudah bersandar di samping mobil, menikmati sebatang rokok. Asapnya melayang tipis ke udara saat matanya menatap ke arah apartemen.
Tiba-tiba—
"AYO, KAA!!"
Suara penuh semangat Kael menggema di halaman parkiran. Raka menoleh dan langsung terperanjat melihat temannya berlari dengan santai, hanya mengenakan pakaian biasa—tanpa armor atau perlengkapan tempur sama sekali.
"Be—bentar… Lu seriusan cuma pake baju kayak gini?!" tanya Raka dengan wajah melongo.
Kael berhenti, lalu menunduk sebentar, mengecek pakaiannya sendiri. "Y-ya bener lah. Emangnya kenapa? Ada yang salah?"
Raka masih belum percaya. "Lu beneran gak punya peralatan Sentinel kayak armor, senjata, atau apa gitu?! Gw liat di TV beberapa Sentinel lain mereka pake baju tempur!"
Kael tersenyum miring, lalu mengangkat bahu. "E-euu… A-ada, ada kok. Tenang aja! Gw punya skill penyimpanan barang."
Raka menyipitkan mata, masih ragu. "Yang bener lu?"
Kael mendengus. "Beneran! Nih liat!"
Dengan percaya diri, ia mengangkat tangannya ke depan. "Sentra… Inventory!"
Dalam sekejap, udara di sekitar Kael mulai bergetar. Cahaya biru tipis berpendar di sekelilingnya saat sebuah layar hologram muncul di hadapannya. Di dalamnya, berbagai macam senjata bisa terlihat—dagger, kapak besi, serta senjata terkuatnya saat ini…
PEDANG TYRANT.
Saat Kael memilihnya, percikan listrik hitam menyambar dari telapak tangannya, membentuk sebuah celah Void kecil di udara. Dari dalamnya, pedang raksasa itu perlahan keluar, mengeluarkan aura menekan yang luar biasa.
Pedang itu panjangnya hampir setinggi Kael sendiri, dengan bilah hitam berkilauan dan garis-garis merah gelap yang bersinar samar, seolah memiliki nyawa sendiri. Setiap gerakan pedang itu seperti menghasilkan riak energi di udara.
Dengan satu tangan, Kael mengangkat pedang Tyrant dan menyenderkannya ke bahu. Angin seakan berhembus lebih kencang saat ia berdiri di bawah sinar matahari pagi, menciptakan bayangan gagah di belakangnya.
Raka, yang menyaksikan itu dari dekat, terkejut bukan main.
"WOAH… JIR… lu punya pedang??? keren banget, CO!" katanya dengan nada tak percaya.
Kael menyeringai puas. "Iyalah… Percaya sekarang??"
Raka masih belum bisa menyembunyikan kekagumannya. "Iya, iya… Yaudah, ayo berangkat!" katanya sambil membuka pintu mobil.
Kael tertawa kecil, menyimpan kembali pedangnya ke dalam Sentra Storage, lalu naik ke dalam mobil.
Mesin dinyalakan, suara deru mobil mengisi keheningan pagi.
Hari ini, perjalanan pertama Kael sebagai Sentinel resmi dimulai.
Mereka akhirnya sampai di Jl. Pasar Senen Raya No. 23, Senen, Jakarta Pusat. Raka mematikan mesin mobil, melepas sabuk pengamannya, lalu berkata, "Bentar, gue telepon dulu..."
Sementara Raka sibuk dengan ponselnya, Kael turun dari mobil dan melihat sekeliling. Seperti biasa, Jakarta ramai. Suara klakson kendaraan, pedagang yang berteriak menawarkan dagangan, dan orang-orang yang berlalu-lalang menciptakan suasana khas ibu kota yang sibuk.
Raka kemudian mematikan teleponnya dan berkata, "Ayo! Katanya kita ke belakang pasar. Di sana markas tim penyerang berada."
Mereka mulai berjalan kaki menuju lokasi yang disebutkan. Kael, yang masih sedikit heran, mengangkat alisnya, "Sentinel ada di pasar?"
Raka mengangkat bahu, "Gue juga nggak ngerti. Tapi yaudahlah, ayo jalan."
Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di depan sebuah ruko yang tampak biasa saja. Tidak ada tanda-tanda kemewahan atau sesuatu yang mencolok. Kael melirik bangunan itu dengan ekspresi skeptis, "Ini? Cuma ruko? Bjir, gue kira markas Sentinel tuh gimanaaa gitu…"
Raka hanya menimpali santai, "Yaa mana gue tau. Udahlah, ayo masuk."
Sambil mengecek pesan di ponselnya, Raka mendorong pintu masuk ruko tersebut. Begitu mereka masuk, Kael langsung dibuat melongo.
Di dalam, suasananya jauh dari kesan sederhana. Puluhan Sentinel sibuk dengan berbagai aktivitas—ada yang sedang membawa peralatan, memilih persenjataan, dan bahkan duduk mengantri. Dinding ruangan dihiasi dengan kepala monster yang telah diawetkan, masing-masing menjadi bukti keberhasilan para Sentinel dalam ekspedisi mereka. Kael menatap pemandangan itu dengan takjub.
Tidak lama kemudian, seorang pria berbadan tegap dengan seragam hitam mendekati mereka. Dengan senyum ramah, dia berkata, "Selamat siang, Pak. Ini Sentinel Rank Ember, Kaelindra, ya?"
Pria itu mengulurkan tangan ke Raka untuk bersalaman. Raka menyambutnya dengan sigap dan menjawab, "Selamat siang, Pak. Saya Raka, cuma teman sekaligus pengantar Sentinel Kaelindra. Ini dia orangnya."
Raka menepuk bahu Kael, memberi isyarat padanya. Kael pun menjabat tangan pria itu, "Selamat siang, Pak."
Pria itu tersenyum, "Saya Gilang, staff khusus rekrutmen tim penyerang 'Ular Hitam'—lebih dikenal dengan nama Black Serpent. Senang bertemu dengan Anda, Sentinel Kaelindra. Silakan duduk di sini dulu sambil menunggu panggilan untuk sesi interview."
Kael mengangguk, "Baik, Pak. Saya akan menunggu."
Raka menepuk bahunya sekali lagi, "Yaudah, semoga beruntung, ya. Gue cabut dulu, bokap minta gue ke kantor. Nanti malam gue jemput."
Kael mengangguk dan tersenyum, "Oke, Ka. Makasih ya udah nganterin gue."
Tanpa banyak basa-basi lagi, Raka pun segera pergi. Sementara itu, Kael mengambil tempat duduk di deretan kursi yang tersedia, bersiap untuk giliran wawancaranya.
Kael duduk menunggu dengan santai, sesekali melihat sekeliling, mengamati para Sentinel lain yang sedang mengantri. Suasana di dalam markas Black Serpent terasa hidup—orang-orang berlalu-lalang, beberapa Sentinel berbincang tentang ekspedisi mereka sebelumnya, sementara yang lain terlihat serius mengecek perlengkapan mereka.
Tiba-tiba, suara lembut menyapanya dari samping, "Hai... Mau ikutan ekspedisi malam nanti?"
Kael sedikit terkejut. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita duduk di sampingnya. Rambutnya panjang dikuncir kuda, dengan mata tajam namun ramah, serta seragam Sentinel yang terlihat lebih rapi dibanding kebanyakan Sentinel di ruangan ini.
Kael yang tidak terbiasa diajak bicara oleh wanita, apalagi yang seumuran dengannya, langsung merasa canggung. "Ahh hehehe i-iya... Kakaknya juga sama?" tanyanya dengan sedikit gugup.
Wanita itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangan, "Iyaa, aku juga. Kenalin, Mala Kamila, Sentinel Rank Luminous."
Kael sontak membelalakkan mata. Rank Luminous?! Itu satu tingkat lebih tinggi dari Rank Ember miliknya. Ini berarti Mala adalah seorang Sentinel yang sudah lebih berpengalaman dan pastinya lebih kuat darinya.
Dengan sedikit gugup, Kael menjabat tangan Mala dan memperkenalkan dirinya, "Ah, iya... Kenalin juga, Kaelindra Azrath, Rank Ember."
Sebelum pembicaraan mereka bisa berlanjut lebih jauh, suara speaker di ruangan itu berbunyi, "Sentinel Kaelindra."
Kael segera menoleh ke arah sumber suara, menyadari namanya dipanggil untuk wawancara. Dengan cepat, ia berdiri dan menoleh ke Mala, "Maaf ya, aku ke depan dulu. Kayaknya giliran aku nih."
Mala tersenyum dan mengangguk, "Oke, semoga lolos, yaa!"
Kael hanya bisa tersenyum canggung sambil berjalan menuju ruangan HRD. Namun, dalam hati, pikirannya masih dipenuhi oleh Mala.
"Sial, itu cewek manis banget, co. Gue cuma Rank Ember, sementara dia Rank Luminous. Malu banget anjir. Tapi dia sama sekali nggak sombong, malah ramah banget... Manis, baik lagi."
Kael tersenyum kecil sambil berjalan ke ruangan HRD, mencoba fokus kembali pada wawancaranya.