Namun, tatkala pidato grand lady terus bergulir tanpa akhir, pikirannya tak lagi tertuju pada pelayan itu.
"Hari ini, Anda tak akan mencium bau alkohol. Jangan khawatir, grand lady."
Wanita itu menatapnya.
Apakah masih ada yang hendak ia katakan? Jemarinya bergerak gelisah, meremas tas tangan kristal kecil yang dihiasi rumbai-rumbai halus. Menyaksikan hal itu, Leon sedikit memiringkan kepalanya, memberi isyarat agar wanita itu segera mengutarakan isi hatinya.
"…Panggil saya Rosalind."
Permintaan yang begitu tak terduga hingga Leon kehilangan kata-kata sesaat. Wanita yang beberapa saat lalu bertingkah seperti anjing kecil yang menggonggong demi menutupi ketakutannya, kini justru mencoba memperpendek jarak di antara mereka.
Namun, bukankah mereka memang ditakdirkan untuk hidup sebagai suami istri? Jarak yang ada di antara mereka pun, cepat atau lambat, harus dilebur. Dan sungguh sebuah penghinaan jika ia menolak tangan yang telah lebih dahulu terulur.
"…."
Kendati bibirnya telah terbuka, tiga suku kata itu tak kunjung keluar dari mulutnya.
Rosalind Aldrich.
…Rosalind. Rosalind. Nama itu terasa asing di lidahnya, seolah enggan melekat. Ia sesederhana namanya yang kuno. Nada bicaranya yang seperti seorang pengajar dan auranya yang bagai biarawati membuat gaun malam mewah yang dikenakannya tampak tak ubahnya jubah seorang suster.
Mengingat-ingat, ada seseorang dalam keluarga Winston yang memiliki nada bicara dan suasana serupa, yang bahkan mampu mengubah setelan jas kelas atas menjadi seragam polisi.
'Bukankah kau lebih cocok bergaul dengan Jerome daripada denganku?'
Meski bukan Jerome yang suatu hari nanti mungkin akan menerima gelar, dalam perbincangan perjodohan dengan keluarga grand duke, sang adik lelaki itu memang tak pernah dipertimbangkan sejak awal.
"Jika Anda bisa memanggil saya Leon, alih-alih Kapten Winston, saya akan sangat senang."
Leon menyunggingkan senyum licik, seolah tengah memainkan siasat yang tak terduga. Tentu saja, ia tak benar-benar berniat mempermainkan wanita itu.
Ia tahu betul bahwa wanita ini memiliki sisi yang mudah canggung, sehingga mustahil baginya untuk memanggil nama seorang pria lebih dulu. Lagipula, ia terlalu berpengetahuan untuk bisa menyukai tipu muslihat semacam itu.
Sama seperti yang ia duga.
Sang grand lady ragu sejenak sebelum akhirnya hanya menampilkan senyum kikuk. Tatapannya kembali beralih ke luar jendela, dan sunyi pun kembali menyelimuti ruang dalam mobil. Dengan begitu, ia berhasil membuat wanita itu menarik kembali tangannya tanpa terkesan kasar.
Kendaraan mereka akhirnya berhenti di dermaga yang kini berpendar merah diterpa cahaya senja. Permukaan sungai memantulkan kilauan emas, sementara kapal pesiar mewah tampak berkilau dalam temaram cahaya jingga.
Leon melangkah ke sisi lain kendaraan, membuka pintu, dan bersiap memandu grand lady menaiki kapal pesiar. Ia mengeluarkan tiket yang diberikan Pierce padanya.
Waktu keberangkatan masih empat jam lagi. Terasa seperti pesan seorang ibu yang menyuruh bangun lebih awal daripada yang tertulis di tiket.
'Malam ini akan menjadi malam yang membosankan.'
Mengikuti seorang pelayan berseragam hitam, ia menaiki lift menuju dek tertinggi kapal pesiar. Saat pengemudi menurunkan tuas, lift yang sebelumnya bergerak mulus mendaki kini tiba-tiba berhenti mendadak, membuatnya berguncang hebat.
"Ah…"
Sebuah tangan, yang sebelumnya hanya menggantung hampa di lengannya, kini mencengkeramnya erat.
Sang grand lady tampak sedikit terkejut, namun seketika itu pula ia menarik kembali genggamannya.
Sang pemandu di belakang melirik dengan sebelah mata ke arah Leon, lalu menyunggingkan senyum. Rupanya, itu hanyalah pertunjukan kejutan bagi pasangan yang tengah berkencan.
'Betapa tidak bergunanya hal semacam ini…'
Sepertinya pria itu menginginkan sedikit imbalan, tetapi Leon hanya membuang muka dengan dingin.
Gerbang berjeruji lift terbuka, dan pelayan melangkah menyusuri lorong berkarpet lembut. Sesaat setelah pintu besar di ujung lorong terbuka di kedua sisinya, alunan musik menyeruak keluar, membuat Leon menampilkan senyum tipis.
Di sudut aula restoran, seorang pria berbalut tuksedo meluncurkan jemarinya di atas tuts piano megah. Nada-nada klasik mengalun, bukan jazz, yang menurut ibunya adalah musik yang menjijikkan.
Kursi-kursi berjajar, terbuat dari kayu mahoni gelap dengan kain bermotif bunga. Pilar-pilar dan langit-langit dihiasi fresco serta ornamen bulu-bulu… Interior klasik yang sepenuhnya selaras dengan selera ibunya.
Pada masa ketika korset mulai ditinggalkan, wanita itu tetap teguh dalam pendiriannya, bersikeras mengenakan korset dari tulang paus. Jika diingat kembali, bahkan calon tunangannya pun tampaknya mengikuti selera ibunya.
Akhirnya, keduanya duduk di meja dekat jendela dan menerima menu yang disodorkan oleh pelayan. Menu anggur dikembalikan tanpa banyak pertimbangan, lalu pilihan makanan pun ditetapkan.
"Apa yang ingin Anda pesan?"
"Saya akan memesan apa pun yang Andarekomendasikan."
Apakah ia dibesarkan dengan pendidikan kuno sehingga enggan mengungkapkan keinginannya dan memilih diam…?
Grand lady sama sekali tidak membantu dalam memilih hidangan makan malam. Berbeda sekali dari saat ia dengan tegas menyatakan ketidaksukaannya pada alkohol. Wanita yang penuh teka-teki, meski Leon tak tertarik untuk mengungkap lebih jauh tentangnya.
Ia pun memesan hidangan paling mahal lalu mulai berbasa-basi dengan percakapan ringan—cuaca hari ini, pemandangan di luar jendela, kesehatan sang grand duke… Namun, obrolan itu sering kali terputus dan terasa canggung.
Ia sudah merasa bosan.
"Apa yang Anda lakukan belakangan ini?"
Pertanyaan itu di luar dugaan. Wanita itu tentu sudah mengetahui julukannya dan masih menanyakan kegiatannya.
'Apakah dia benar-benar ingin tahu?'
Seberapa besar kesulitan yang dialami Komando Barat akibat seekor tikus dari pemberontak Blanchard, yang baru tertangkap tiga tahun setelah menyusup sebagai kesatria? Berhari-hari ia habiskan untuk menelusuri informasi apa saja yang telah bocor.
Dan betapa liciknya lelaki itu saat ketakutan melanda.
Sungguh menggelikan melihatnya berbusa-busa, sekarat dalam kepanikan, hanya karena kuku kelingking kanannya dicabut.
'Jika aku menceritakannya, wajah wanita ini pasti akan pucat pasi.'
Oh, satu hal lagi. Betapa menyedihkan melihat wajah kusut sang komandan kini menyusut seperti mumi.
Jika ia menceritakan hal ini, akankah wanita itu tertawa, atau justru merasa ngeri?
Ternyata, salah satu dari sekian banyak gundik sang komandan juga adalah seorang mata-mata pemberontak. Kini pria itu terancam dipanggil ke pengadilan kerajaan.
Lalu, bagaimana dengan si gundik?
Mata-mata itu seorang wanita. Lebih dari itu, mereka adalah para pelacur yang mengatasnamakan Tentara Revolusi. Leon merasa jijik, maka ia menyerahkan masalah itu pada atasannya.
Orang-orang hina yang memperalat wanita untuk pekerjaan kotor dan berbahaya… Namun, bisakah ia menghakimi tanpa menjadi hina pula? Karena ia tak yakin atasannya tahu bagaimana memperlakukan wanita, selama tangannya sendiri tetap bersih, itu sudah cukup baginya.
Seorang wanita terhormat yang menghabiskan waktunya menulis puisi dan menyulam di sudut ruangan tentu tak perlu tahu tentang hal-hal kotor semacam itu.
"Itu hanya akan menjadi cerita yang membosankan."
Atas penolakannya yang halus, grand lady justru salah paham dan wajahnya pun merona.
"Ah, ini… Sepertinya saya sedang meminta rahasia militer."
"Bukan rahasia lagi kalau Komandan Barat itu mirip seekor katak."
Mendengar lelucon konyol itu, grand lady tertawa polos.
Leon benar-benar bosan, hanya berharap urusan menambahkan satu lagi "Nyonya Winston" ke dalam keluarganya segera selesai.
Itu seperti sesuatu yang dikatakan saat membeli anjing penjaga. Setelah pernikahan, tugasnya sebagai putra sulung keluarga akan selesai. Artinya, ia tak perlu lagi membuang waktu untuk 'kencan-kencan' tak berguna seperti ini.
'Melihat betapa lambatnya ini, pasti ada pertarungan sengit yang sedang berlangsung.'
Leon sendiri tidak tahu sudah sejauh mana pembahasan pertunangan ini berjalan. Pasalnya, segala persyaratan pertunangan hanya didiskusikan oleh para tetua keluarga, jauh dari pihak-pihak yang akan menikah. Lagipula, ia tidak tertarik, jadi tak pernah sekalipun ia menanyakannya.
"Leon, lakukan tugasmu. Ini adalah tugasku."
Meskipun ia sama sekali tak berniat ikut campur, ibunya selalu berkata begitu dengan wajah serius, seolah-olah ia adalah tokoh utama dalam drama yang hendak menggulung lengan bajunya. Pernikahannya dianggap sebagai mahakarya bagi sang ibu.
Hal itu memang masuk akal.
Elizabeth Winston. Sebelum menjadi Nyonya Winston, ia dikenal sebagai putri seorang bangsawan.
Ia menikah dengan ayah Leon karena yakin pria itu akan segera mendapatkan gelar, tapi ketika putranya tumbuh dewasa, ia masih tetap hanya seorang Nyonya Winston. Sebagai seorang wanita yang lahir dari keluarga bangsawan, ia selalu percaya bahwa suatu hari nanti ia akan mati sebagai seorang Countess, seperti halnya seorang pasien tuberkulosis akut yang terus menerus memuntahkan darah hingga ajal menjemput.
'Sungguh sial.'
Semua wanita pendahulu keluarga Winston telah meninggal sebagai seorang Countess.
Dari generasi ke generasi, keluarga Winston selalu menyandang gelar Count Winston. Namun, ketika keluarga kerajaan melarikan diri ke luar negeri setelah dikejar oleh pemberontakan yang mengatasnamakan revolusi, pembayaran dana dari kerajaan pun terputus.
Kakeknya, yang saat itu memegang gelar Count, segera meninggalkan keluarga kerajaan dan beralih ke pihak pemberontak. Ayahnya sering mengejek bagaimana kakeknya berpura-pura menjadi seorang nabi, yang mengumumkan datangnya dunia baru.
Dunia baru yang ia maksud adalah dunia di mana kekuasaan bukan lagi ditentukan oleh status, melainkan oleh modal. Kakeknya mengumpulkan kekayaannya melalui bisnis yang ia jalankan sebagai anjing dari pemerintahan revolusioner pertama.
Saat itu, ayahnya yang masih menjadi taruna militer penuh semangat sangat membenci kakeknya dan memilih mengikuti keluarga kerajaan ke luar negeri. Ia menganggap kakeknya seperti seorang buta yang tak bisa melihat masa depan dan hanya tertahan oleh kebuntuan di depan dan belakang.
Namun, orang buta yang sebenarnya adalah sang kakek.
Pemerintahan revolusioner itu runtuh dalam waktu kurang dari satu dekade. Ideologi mereka terlalu lemah, dan kepentingan pribadi dengan mudah menyusup ke dalam celah-celah sistem.
Buktinya, bahkan para pengikut pemberontak yang paling setia pun rela membuang ideologi mereka setelah tiga atau empat hari disiksa di ruang interogasi. Ketika mereka dicambuk dan kuku-kuku mereka dicabut satu per satu, idealisme tak lagi bisa menyelamatkan mereka.
Keluarga kerajaan dan para royalis tentu tak ingin melewatkan kesempatan ini. Monarki dipulihkan dalam sekejap, dan Republik Lippon kembali menjadi Kerajaan Lippon.
Begitu keluarga kerajaan kembali, hal pertama yang mereka lakukan tentu saja adalah menghukum para pengkhianat.
Untungnya, ayahnya memberikan kontribusi besar dalam pemulihan monarki. Keluarga Winston hanya kehilangan gelar Count mereka. Mereka masih mampu mempertahankan kedudukan serta kekayaan mereka sebagai tuan tanah berpengaruh di wilayah Camden.
Keluarga kerajaan pernah berjanji kepada ayahnya, yang saat itu masih muda. Mereka mengatakan bahwa gelar Count akan dikembalikan jika ia berhasil menumpas sisa-sisa pemberontak. Konon, ayahnya yang awalnya merupakan anjing setia kerajaan justru menjadi semakin loyal setelah itu.
Dan, di sekitar waktu itu, seorang Count yang hanya punya gelar tetapi tak memiliki kekayaan menyerahkan putrinya untuk menjadi Nyonya Winston, menganggapnya sebagai investasi untuk masa depan.
'…Semua orang begitu bodoh.'
Karena janji itu hingga kini belum juga ditepati.