Chapter 54

"Aku harap kau belum lupa siapa pemilik sejati keluarga ini."

"Ya, Kapten. Saya akan diam."

Nyonya Belmore, kepala pelayan yang setia, menjalankan perintahnya tanpa cela.

Tidak dapat dihindari untuk menyembunyikan dari Nyonya Belmore bahwa ada seorang wanita tak dikenal yang dikurung di ruang bawah tanah paviliun. Jika makanan terus dikirim ke ruang penyiksaan yang katanya telah ditutup, dan pakaian wanita mulai tercampur dalam cucian, maka hanya tinggal menunggu waktu hingga bisik-bisik tersebar di antara para pelayan.

"Kalau begitu, mengapa masih ada tentara di paviliun?"

Elizabeth menduga para prajurit menyeramkan itu akan turut lenyap dari kediaman ini. Namun tak disangka, para tentara itu tetap berjaga di paviliun, bahkan ketika Leon hampir sepenuhnya menetap di sana dan menyelesaikan urusan-urusannya dari tempat itu.

"Ini urusan militer. Sebaiknya Ibu tidak ikut campur."

Jawaban putranya tajam bagai sebilah pisau. Elizabeth menatapnya dengan sorot mata tajam yang tak kalah menusuk.

"Ini kediaman milikku, tapi seolah-olah bukan urusanku."

"Keluarga Winston adalah urusanku."

Akulah kepala keluarga sekarang. Jangan ikut campur.

Harga diri Elizabeth yang terusik membuat suaranya merendah, dan ia berbicara dengan nada penuh makna, menyadari bahwa ada tamu di rumah ini.

"Seandainya kau selalu bijak, aku pasti sudah mempercayakan segala urusan keluarga ini padamu, seperti dahulu kala."

Ucapan itu merujuk pada satu-satunya kesalahan yang pernah dilakukan putranya yang selama ini selalu tampak bijak—desas-desus yang telah lama beredar bahwa Kapten Leon Winston memiliki hubungan dengan seorang pelayan rumah tangga.

Leon, yang tentu saja tak buta akan gosip itu, akhirnya mengucapkan kata-kata yang sangat dinanti oleh ibunya.

"Wanita itu… Ibu takkan pernah melihatnya lagi. Tak hanya Ibu, tak seorang pun akan melihatnya."

"Aku percaya padamu."

Elizabeth menahan lidahnya. Ia enggan mengorek lebih jauh.

"Semoga semuanya cocok dengan selera Rosalyn, tentu saja."

Grand Lady, yang duduk anggun di seberang meja teh berhiaskan porselen dan renda, tersenyum lembut menanggapi sapaan hangat Elizabeth.

"Merupakan sopan santun seorang wanita untuk menolak hidangan penutup, tetapi sungguh, saya tak sanggup menolak kue ini."

Elizabeth tersenyum puas. Ia menyukai cara bicara Rosalyn yang lembut dan berwibawa, sekaligus jenaka dalam kadar yang pas.

"Saya sempat khawatir jamuan ini mungkin terlalu kuno menurut selera Anda, tapi syukurlah jika Anda menyukainya."

"Apa maksudnya kuno? Justru saya senang. Saya dengar Ibu memang terkenal akan selera yang tinggi."

Sungguh… Terlalu klise—selera mereka, dan juga percakapan ini.

Leon hanya menyesap tehnya perlahan sambil menyimak percakapan palsu nan sopan antara ibunya dan calon tunangannya.

"Winsford Herald kali ini pun…"

Grand Duke, yang duduk mendengarkan cerita di balik laporan investigasi terbaru dari salah satu media milik Jerome, tampak seperti seseorang yang ingin segera pergi dari tempat itu.

Padahal bukan ibunya, melainkan Leon sendirilah yang memanggil Jerome untuk hadir dalam pertemuan ini. Ia memiliki firasat kuat bahwa Grand Duke akan memulai topik-topik menyebalkan yang hendak dihindarinya, sehingga Jerome sengaja dijadikan pengalih perhatian. Namun, percakapan mulai mengalir ke arah yang diinginkan Grand Duke.

"Dr. Winston."

Itulah gelar resmi bagi Jerome, yang memiliki gelar doktor dalam bidang humaniora.

"Artikel analisis yang kau terbitkan tempo hari di majalah bisnismu sangat bermanfaat."

"Suatu kehormatan, Grand Duke. Jika boleh tahu, artikel yang mana yang Anda maksud?"

"Tentang pengembangan tambang berlian di Bria."

Sudah jelas bahwa Grand Duke tengah berusaha memutar arah pembicaraan demi menyampaikan maksudnya.

Leon mengejek dalam diam dari balik cangkir tehnya.

Tambang Berlian Bria—tambang yang baru saja memulai pengembangan di luar negeri itu tengah menjadi buah bibir, dikabarkan mengandung cadangan berlian terbesar yang pernah ditemukan.

Pemerintah Republik Bria, yang tengah dilanda kesulitan finansial, baru-baru ini mengumumkan akan mengadakan lelang terbuka atas hak penambangannya. Maka, persaingan paling besar sepanjang sejarah pun mulai dipersiapkan.

Grand Duke berniat untuk turut serta dalam lelang tersebut.

Apa pun yang dilakukan Grand Duke tak ada sangkut pautnya dengan Leon. Namun, permintaan untuk berinvestasi bersamanya adalah gangguan yang tak diinginkan.

Keluarga Winston sendiri telah memiliki tambang berlian, meski dalam skala lebih kecil daripada tambang di Bria. Sekalipun tambang Bria menjanjikan skala paling besar dalam sejarah, Leon sama sekali tidak berniat menggandakan investasinya dalam barang mewah sejenis.

Ia memang memiliki dana lebih, tetapi sejak lama telah memutuskan untuk menanamkan modal pada industri penerbangan dan properti dunia baru—dua bidang yang kelak akan menggantikan dominasi industri pelayaran.

Namun demikian, Grand Duke Aldrich berkali-kali menawarkan kerjasama pengembangan tambang Bria secara patungan.

"Baron Chapman pun telah setuju bergabung. Kau tahu maksudku."

Tentu saja, maksudnya jelas: keluarga kerajaan akan mengisap manisnya keuntungan dari keluarga Winston, lalu membuang sisanya.

Baron Chapman adalah paman dari pihak ibu Raja. Dengan kata lain, Baron hanya meminjamkan nama; investor sejatinya adalah sang raja sendiri.

Jika keluarga kerajaan secara langsung ikut serta dalam lelang tambang di Republik Bria, kontroversi pasti mencuat. Setelah sejarah kelam keruntuhan akibat revolusi rakyat, dan baru beberapa dekade sejak monarki dipulihkan, posisi kerajaan yang masih rapuh sangat menjaga citra di mata publik.

Oleh karena itu, kerajaan berinvestasi lewat kerabat jauh—termasuk Grand Duke dan Baron—dan kini mereka mengajak keluarga Winston untuk ikut serta… Seseorang yang bodoh mungkin akan mengira ini suatu kehormatan, lalu menunduk dan mengulurkan tangan.

Namun Leon bukan orang bodoh.

Keuangan kerajaan sedang tidak sehat. Grand Duchy memang kaya aset, namun juga sarat utang. Stabilitas aset keluarga Winston jauh berada di atas keduanya.

'…Artinya, hanya uang keluarga Winston yang akan dibuang seperti air untuk memenangkan lelang, sementara keuntungan dibagi antara kerajaan dan Grand Duchy.'

Sudah bisa diduga ibunya, yang begitu menginginkan gelar bangsawan, akan memaksanya ikut serta. Namun Grand Duke tidak pernah menyinggung soal kerjasama itu di hadapan sang ibu, seolah ia tak berniat berdiskusi bisnis dengan seorang wanita.

"Kapten Winston, kau bisa memilih berlian terbaik dari sana untuk dijadikan cincin tunangan Rosalyn."

Akhirnya, setelah berdalih panjang soal nilai investasi tambang Bria bersama Jerome, Grand Duke menyampaikan niat sebenarnya kepada Leon, yang sejak tadi lebih banyak diam.

"Sayangnya, pengembangan tambang Bria akan memakan waktu dua hingga tiga tahun lagi."

Keputusan menghadirkan Jerome dalam pertemuan ini sungguh tepat. Bahkan, ibunya yang biasanya kurang peka pun kali ini berpihak padanya.

"Seorang gadis cantik tak sepatutnya dibiarkan menunggu selama itu tanpa ikatan. Jangan khawatir, Grand Duke. Saya telah menyiapkan cincin untuk Rosalyn. Beberapa waktu lalu, dari salah satu tambang milik keluarga kami…"

Sementara keluarga Winston lainnya sibuk menjamu tamu-tamu menyebalkan, Leon tak bisa menahan pikirannya berkelana pada wanita yang ditinggalkannya terikat di ruang bawah tanah paviliun.

'Apakah dia masih bertahan?'

Bagaimana jika dia tak sanggup lagi? Tatapan sinis Leon berhenti pada meja teh yang penuh dengan kue-kue manis yang dipesan dari kafe dekat kediaman.

'Omong-omong…'

Ia mengangkat jarinya pelan, menyadari sesuatu yang tiba-tiba terlintas di benaknya.

Pelayan wanita yang berdiri di pintu konservatori segera menghampiri dengan langkah cepat. Tanpa berkata apa-apa, Leon menyerahkan ranting lilac yang semula ia petik untuk sang Grand Lady kepada pelayan itu.

Elizabeth, yang tadinya tersenyum lembut saat melihat putranya memetik lilac—mengira bahwa dalam dirinya masih tersisa sisi polos seperti anak kecil—mendadak mengernyitkan dahi.

"Sampaikan pada Nyonya Belmore agar dikirimkan ke paviliun pukul enam. Jangan sampai terlambat."

Ia tak menyukai kenyataan bahwa putranya berencana makan malam seorang diri di paviliun lagi hari ini.

"Kapten, akhir-akhir ini beredar kabar yang cukup menarik."

Grand Duke membuka suara, pandangannya mengikuti pelayan yang baru saja meninggalkan konservatori sambil membawa ranting lilac. Senyumannya menyiratkan maksud tersembunyi—jelas bahwa ia sengaja menyentil topik tersebut setelah Leon memberikan bunga itu kepada pelayan.

"Rumor ditutupi oleh rumor lain."

Leon meletakkan cangkir tehnya, menyunggingkan senyum santai. Tak ada secuil pun kegugupan dalam sikapnya, seolah ia bukan pihak yang sedang diselidiki terkait dugaan hubungan dengan pelayan.

"Saya sudah menepis semua fitnah buruk tentang diri saya..."

Bahkan Grand Duke pun tahu bahwa pembicaraan soal pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepakatan politik. Tekanan ini hanya permainan, ekspresi ketidaksenangan atas sikap Leon yang sulit diatur. Bagaimanapun juga, jika desas-desus tak terhormat soal impotensi Leon bisa dibungkam lewat skandal dengan seorang pelayan, bukankah itu malah menguntungkan?

"Tak perlu khawatir, Anda bisa bicarakan langsung pada Ibu."

Elizabeth tidak menyembunyikan senyumnya, jelas bahwa ia bangga pada kecerdikan putranya. Skandal dengan pelayan membuatnya seolah berjalan di atas tali tipis, namun semua mengalir dengan wajar, seakan-akan tindakan Leon adalah strategi yang dirancang dengan sengaja untuk meredam gosip.

Dalam situasi seperti ini, Elizabeth merasa puas karena putranya mampu bersiasat dengan lihai.

"Kalau begitu…"

Mencari celah untuk meninggalkan tempat itu bersama Grand Duke, Elizabeth melipat serbetnya perlahan dan meletakkannya di atas meja.

"Sebagai wanita tua, sudah waktunya saya undur diri dan membiarkan kaum muda menghabiskan waktu. Oh, omong-omong, saya membeli lukisan baru di pelelangan terakhir di ibu kota kerajaan. Saya ingin menunjukkan pada Anda terlebih dahulu."

Tentu saja itu hanyalah alasan. Alasan untuk membiarkan Grand Duke mengagumi lukisan dengan cara yang elegan, sementara sebenarnya mereka akan membicarakan syarat-syarat pertunangan yang sarat kepentingan.

"Grand Lady."

Begitu Grand Duke menghilang dari pandangan, Jerome menanggalkan topeng kesopanannya dan menampakkan wajah aslinya di hadapan Elizabeth.