Kamar Kalden Veyl

Aria bergegas bangun dalam panik, mencari tempat untuk bersembunyi dengan gelisah. Namun sebelum ia sempat bergerak, pintu berderit terbuka.

Hatinya tenggelam.

Di hadapannya berdiri sosok yang mengesankan—Grand Master Kalden Veyl. Auranya magnetis namun menindas, memancarkan dominasi yang membuat udara di ruangan terasa lebih berat. Dia melangkah masuk, didampingi oleh kakak tertuanya Medrick dan sekelompok penjilat yang dengan antusias telah menawarkan diri untuk mengantar tuan yang sombong ke kamar beliau, masing-masing berharap untuk mendapatkan kesan baik darinya. Percakapan riang mereka berhenti seketika ketika mereka melewati ambang pintu dan melihat Aria berdiri di sana.

Aria membeku, napasnya tercekat ketika tatapannya bersinggungan dengan mata merah menusuk Kalden. Untuk sesaat, dunia seakan terhenti. Matanya terkunci pada matanya, tidak berkedip dan tidak terbaca, menahan dirinya di tempat seperti rantai tak kasat mata. Namun bobot tatapannya terlalu berat, dan secara naluriah ia menundukkan kepalanya, membungkuk rendah dalam rasa takut dan malu.

Ya Tuhan.

Pikirannya berputar. Apa yang sebenarnya terjadi?

Darahnya membeku ketika sadar menghantamnya seperti sambaran petir. Ini bukan sembarang ruangan. Ini adalah kamar Master Kalden Veyl.

Kenapa? Kenapa dari semua tempat kakinya malah membawanya kesini?

Dia merasakan dorongan luar biasa untuk berteriak atas kesialannya. Sekarang dia sudah melakukannya, ia berpikir pahit. Bukan hanya dia telah menyinggungnya malam sebelumnya, tapi sekarang dia telah masuk ke dalam kamar pribadi beliau. Keberadaannya di sana bukan sesuatu yang bisa diabaikan.

Pikirannya mencari solusi, namun sebelum dia bisa memikirkan apapun, Kalden mulai berjalan melewatinya, langkahnya tenang dan santai. Tatapannya menahan Aria sebentar sebelum dia melewatinya tanpa sepatah kata pun.

Namun sementara Kalden sendiri tidak menunjukkan reaksi segera, yang lain tidak terlalu terkendali.

"Apa artinya ini?" gumam salah satu penjilat, suaranya bergetar dengan rasa jengkel.

"Ini tidak pantas!" seru yang lain, menatap Aria seolah keberadaannya sendiri adalah penghinaan.

Namun suara yang terkeras dan terpahit datang dari kakak tertuanya, Medrick. Ekspresinya beralih ke kemarahan dan jijik saat dia melangkah mendekatinya.

"Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Aria?" dia menuntut, suaranya meninggi dan cukup tajam untuk memotong ketegangan. "Tidak ada rasa malu sama sekali? Apakah kamu benar-benar sudah kehilangan akal, menerobos masuk ke kamar Master Kalden seperti orang bodoh tanpa pikiran?"

Aria tersentak karena sengatan nada suaranya, tapi Medrick belum selesai.

"Kamu kira ini tempat bermainmu?" dia lanjutkan, suaranya sarat dengan rasa hina. "Kamu sudah cukup mempermalukan diri sendiri dan keluarga ini! Apakah kamu sadar masalah apa yang sudah kamu bawa kepada kita? Atau apakah kamu begitu bodoh sampai kamu tidak menyadari beratnya apa yang sudah kamu lakukan?"

Gumaman setuju dari yang lain hanya memperburuk keadaan. Tatapan tidak setuju mereka menusuk ke dalamnya, tiap pandangan adalah sebuah tuduhan diam.

"Dia memang selalu seperti ini," bisik salah satunya, cukup keras untuk dia dengar. "Ceroboh dan egois."

"Dia tidak layak berada di istana ini," sinis yang lain.

"Dia hanya tidak berguna"

Aria merasakan pipinya terbakar oleh rasa malu, dan tangannya mencengkeram di sisi tubuh untuk menghentikan getarannya. Tenggorokannya menegang, dan ketika dia akhirnya berbicara, suaranya hampir tidak lebih dari bisikan.

"Aku... aku tidak bermaksud..." dia tergagap, kata-katanya goyah di bawah bobot penghinaan mereka. "Itu adalah kecelakaan..."

"Kecelakaan?" Medrick memotong, matanya menyempit. "Betapa mudahnya. Apa kau pikir ada yang akan percaya itu?"

Aria menundukkan kepalanya lebih jauh lagi, bibirnya gemetar saat dia berjuang menahan air mata. Ruangan terasa tercekik, suara-suara mengejek dan tuduhan menutupinya seperti badai yang tidak bisa ia hindari.

Namun, di tengah-tengah semuanya, dia merasakan pandangan lain kepadanya—pandangan yang lebih intens dari yang lainnya. Dia beranikan diri untuk menengadah dan menemukan Kalden sedang menatapnya dari tempatnya duduk di tepi ranjang. Ekspresinya tidak terbaca, matanya merah berkilat-kilat dengan sesuatu yang tidak bisa dia tebak.

Amusement? dia berpikir, bingung. Tapi ada juga sedikit kerutan di dahinya, seolah dia sedang merenungkan sesuatu.

Di mana gadis liar dan tak terkendali yang berani untuk melawannya semalam? Kontras antara sosok yang menantang itu dengan sosok yang gemetar dan takut di depannya sekarang sangat jelas.

Situasinya tampak memburuk setiap detik, dan Kalden, yang tidak biasanya, memutuskan untuk turun tangan. Sesuatu yang jarang sekali ia lakukan.

"Cukup."

Suara Kalden tenang namun memancarkan otoritas yang tidak dapat disangkal yang segera menyudutkan ruangan. Ketegangan bergeser saat semua mata beralih kepadanya.

"Pergilah." Nadanya lebih dingin kali ini, membuat jelas bahwa itu bukan permintaan, tetapi perintah.

Medrick ragu-ragu, bibirnya terbuka seolah mau protes, tapi satu tatapan dari Kalden cukup untuk membuatnya menahan kata-katanya. Yang lain cepat-cepat membungkuk dan menggumamkan permintaan maaf sebelum terseok-seok keluar dari ruangan, ekspresi mereka campuran kebingungan dan ketakutan.

Tak lama, pintu tertutup, meninggalkan hanya Aria dan Kalden di kamar.

Keheningan itu menggelegar.

Aria berdiri membeku, pikirannya berpacu saat dia berjuang memahami apa yang baru saja terjadi. Pelan-pelan, dia berbalik menghadap Kalden, gerakannya ragu-ragu dan waspada.

Dia masih duduk di tepi ranjang, posturnya santai tapi tatapannya tajam dan fokus padanya.

Jantungnya berdebar di dada ketika dia menatap matanya lagi, intensitas tatapannya membuatnya merasa seolah dia bisa melihat langsung ke dalam dirinya.

Pikirannya mengarah pada sesuatu yang tidak diinginkannya.

hanya mereka berdua yang tersisa di sini sekarang dan bisa terjadi apa saja...

Bukankah ini situasi yang lebih buruk?

Tunggu dia berada di ruangan yang sama dengan pria ini!! Oh tidak!!