Perasaan yang Tak Terduga

Ruangan itu terasa sunyi setelah Baskara tersenyum tipis.

Anisa masih terpaku, memproses kenyataan bahwa pengirim surat misterius adalah sahabatnya sendiri—Baskara Aditya.

Bayu yang pertama kali memecah keheningan. "Gila… Jadi selama ini lo, Bas?"

Baskara tidak menjawab, hanya menatap Anisa dengan ekspresi tenang, seperti menunggu reaksinya.

Dimas menghela napas.

"Kenapa lo gak bilang langsung aja?"

Baskara menunduk sedikit, mengusap tengkuknya. "Gue gak tahu caranya."

Anisa menggigit bibirnya. Jujur, ia tidak pernah membayangkan kemungkinan Baskara menyukainya. Selama ini, di matanya, Baskara adalah sosok yang tenang, pendiam, dan sulit ditebak.

Baskara selalu ada, tapi ia tidak pernah menyadari cara Baskara memperhatikannya.

"Kenapa… gue?" tanya Anisa akhirnya.

Baskara menatapnya.

"Karena lo selalu bersinar, bahkan saat lo sendiri gak menyadarinya."

Kata-kata itu membuat jantung Anisa berdetak lebih kencang.

Dari samping, Rizky yang sejak tadi diam tiba-tiba berdiri.

"Kayaknya kita harus pulang," katanya datar.

Dimas meliriknya sekilas, lalu mengangguk.

"Iya. Gue ada PR."

Bayu ikut berdiri.

"Gue gak ada PR sih, tapi… suasana udah mulai aneh."

Mereka bertiga cepat-cepat mengambil tas mereka dan meninggalkan rumah Baskara, meninggalkan Anisa dan Baskara berdua.

Anisa menghela napas, masih menggenggam surat itu.

"Gue gak tahu harus ngomong apa, Bas."

Baskara mengangguk pelan.

"Gak apa-apa."

Anisa menatapnya.

"Lo udah suka sama gue sejak kapan?"

Baskara tersenyum kecil.

"Sejak lama."

Ruangan itu kembali sunyi. Anisa tahu perasaannya masih kacau, tapi ada satu hal yang ia sadari: Baskara selalu ada di sana, lebih lama daripada yang pernah ia sadari.

Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri—bagaimana perasaannya terhadap Baskara?