Bab 18

Dengan langkah tergesa dan napas yang masih berat setelah menyerap semua informasi yang didengarnya di puncak menara, Alcard bergegas kembali ke kamar kecilnya di dalam penginapan benteng. Begitu sampai, ia segera mengunci pintu dan menyalakan lentera kecil, cukup untuk menerangi ruangannya tanpa menarik perhatian dari luar. Tangannya bergerak cepat, mengambil dokumen-dokumen penting yang telah ia curi dari arsip Tanivar, lalu dengan hati-hati memasukkannya ke dalam tas kulit yang tergantung di pelana kudanya. Tidak ada waktu untuk menunda atau mempertimbangkan lebih lama—informasi ini terlalu berharga untuk disimpan lebih lama lagi.

"Ini bukan lagi tentang Tanivar saja," pikirnya dalam hati, matanya tajam menatap dokumen yang tersimpan rapat. "Ini adalah tentang sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang bisa mengancam keseimbangan dunia."

Tanpa menunggu fajar menyingsing, Alcard segera bersiap meninggalkan benteng. Ia memeriksa ulang setiap peralatan yang ia bawa—pedangnya, belati cadangan, persediaan air, dan tentu saja, dokumen yang menjadi bukti kejahatan Tanivar dan rencana The Veil. Setelah memastikan semuanya dalam kondisi siap, ia keluar dari penginapan dengan langkah hati-hati, memastikan tak ada mata-mata atau penjaga yang mungkin mencurigai kepergiannya di tengah malam.

Dengan tenang, ia membawa kudanya keluar dari halaman penginapan, menuntunnya menuju gerbang utama. Ia menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya di balik tudung jubahnya, berjalan melewati para penjaga yang tampaknya lebih tertarik berbincang daripada memeriksa setiap orang yang keluar malam itu. Begitu melewati gerbang tanpa hambatan berarti, ia segera melompat ke punggung kudanya dan, dalam sekejap, melesat ke dalam kegelapan malam, menjauh dari benteng Tanivar.

Langit di atasnya mendung, tanpa bintang atau cahaya bulan yang bisa membimbing jalannya. Satu-satunya suara yang menemani adalah derap langkah kudanya di jalan berbatu dan suara angin dingin yang berdesir melewati pepohonan. Pikiran Alcard terus dipenuhi dengan percakapan yang ia dengar di menara. Nama itu—The Veil—terus terngiang di benaknya, bergema seperti bayangan yang tidak mau pergi.

"The Veil…" gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh hembusan angin malam. "Organisasi yang seharusnya hanya tinggal dalam legenda… ternyata masih ada, masih beroperasi di balik layar, dan lebih berbahaya dari yang pernah dibayangkan."

Ia mengingat kembali cerita-cerita yang pernah ia dengar sewaktu masih bertugas di kerajaan. The Veil selalu disebut sebagai kekuatan tersembunyi yang menggerakkan dunia dari balik bayangan. Mereka dikatakan memiliki tangan di setiap kerajaan, setiap konflik, setiap peperangan, mengatur semuanya seperti permainan catur raksasa. Tapi tak ada yang pernah melihat wajah asli mereka, tak ada yang tahu siapa pemimpin mereka, atau apa tujuan akhir mereka. Dan sekarang, mereka mengejar sesuatu yang bahkan lebih berbahaya—fragment.

Pikirannya berputar kembali ke legenda kuno tentang fragment, artefak yang dikatakan memiliki kekuatan tak terbayangkan. Ia teringat bagaimana Kaisar Pertama Hamongrad dikatakan telah menggunakan kekuatan fragment untuk menyatukan manusia di bawah satu kekaisaran yang besar dan kuat. Tetapi fragment juga memiliki sejarah yang gelap—karena kekuatannya, perang besar pernah meletus di masa lalu, menghancurkan kerajaan-kerajaan yang mencoba menguasainya.

"Jika The Veil mendapatkan fragment, mereka bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan," Alcard bergumam, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Mereka bisa mengendalikan Middle Earth… atau bahkan menghancurkannya jika itu sesuai dengan rencana mereka."

Derap langkah kudanya terus berpacu di jalanan berbatu yang mulai berbaur dengan tanah berlumpur. Ia terus melaju, melewati hutan yang semakin gelap dan sunyi. Setiap kali ia berpikir tentang fragment dan bagaimana Tanivar bisa mengetahui keberadaannya, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.

"Berapa lama mereka telah merencanakan ini?" pikirnya, mencoba menghubungkan titik-titik yang masih belum jelas. "Apakah kita baru mengetahui ini sekarang, ataukah kita sebenarnya sudah terlambat?"

Angin malam semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Ada perasaan aneh yang merayap di dalam dirinya, seolah-olah sesuatu sedang mengintai dari kegelapan. Meskipun tak ada tanda-tanda bahaya, Alcard tak bisa menghilangkan firasat bahwa sesuatu akan segera terjadi.

"Aku harus segera memberi tahu Oldman," pikirnya, menegaskan tekadnya. "Hanya dia yang mungkin bisa menyusun rencana untuk menghentikan ini sebelum semuanya terlambat."

Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasakan kegelisahan yang sulit ia abaikan. Waktu terasa seolah bergerak lebih cepat, dan ia takut bahwa ketika ia sampai di The Wall, semuanya sudah terlanjur hancur. Rencana The Veil jelas telah berlangsung lebih lama dari yang ia kira, dan siapa yang tahu sudah sejauh mana mereka bergerak?

Ia menggenggam kendali kudanya lebih erat, memacu langkah lebih cepat. Ia harus tiba di The Wall secepat mungkin—tidak ada waktu untuk istirahat, tidak ada ruang untuk kesalahan.

"Fragment ini hanyalah awal," gumamnya dengan suara yang nyaris bergetar. "Jika mereka benar-benar berhasil mendapatkannya, dunia ini tidak akan pernah sama lagi."

Dengan tekad membara, Alcard terus menunggangi kudanya, menembus malam yang semakin pekat. Sementara itu, jauh di tempat lain, bayangan kekuatan yang selama ini tersembunyi perlahan mulai bergerak, membawa dunia ke arah yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Angin malam berhembus kencang, seakan menjadi peringatan akan datangnya badai besar yang akan segera mengubah segalanya.

****

 

Begitu Alcard tiba di markas pusat The Wall, ia segera melompat turun dari kudanya, kakinya hampir tidak merasakan tanah yang dipijaknya karena kelelahan yang menyelimuti tubuhnya. Nafasnya berat, tetapi ia tidak memperlambat langkahnya sedikit pun. Dengan cepat, ia bergegas melewati gerbang utama, melewati lorong-lorong kayu tua yang dingin dan sepi, hingga akhirnya sampai di depan pintu ruang Oldman. Tanpa ragu, ia mengetuk keras dan langsung masuk begitu mendengar suara dari dalam yang mengizinkannya.

Di dalam ruangan yang dipenuhi dengan tumpukan dokumen dan peta yang berserakan di meja kayu besar, Oldman tampak sedang meneliti laporan terbaru. Namun, begitu Alcard masuk dengan ekspresi penuh urgensi, lelaki tua itu segera mengangkat wajahnya. Pandangan mereka bertemu sejenak sebelum Alcard dengan cepat membuka tas kecilnya dan meletakkan dokumen-dokumen yang ia bawa dari benteng Tanivar ke atas meja.

"Aku membawa informasi penting," katanya dengan suara yang masih sedikit terengah-engah. Tanpa menunggu Oldman bertanya, ia mulai menjelaskan segala yang telah ia alami sejak menyusup ke benteng Tanivar—dari percakapannya dengan penjaga, penyusupan ke dalam ruang arsip, hingga pembicaraan rahasia di puncak menara kastil. Ia menguraikan detail pertemuan Tanivar dengan sosok misterius yang tampaknya merupakan anggota dari kelompok berbahaya yang selama ini dianggap hanya legenda: The Veil.

Begitu nama itu disebut, Oldman menghentikan semua aktivitasnya. Pena yang sebelumnya ia pegang terhenti di udara, matanya menatap kosong ke arah meja, seakan pikirannya terlempar ke tempat yang jauh. Wajahnya yang biasanya tenang berubah serius, dan ada sekilas keterkejutan dalam sorot matanya.

"The Veil?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Itu hanya legenda… atau setidaknya, aku berharap itu hanya legenda."

Alcard tidak mengendurkan penjelasannya. Ia terus menggambarkan bagaimana Tanivar mengakui kegagalannya dalam membunuh Arwen, serta rencana baru yang ia tawarkan sebagai bentuk penebusan. Ia menjelaskan tentang peta yang ditunjukkan Tanivar, tentang reruntuhan yang disebut menyimpan sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang dapat membuktikan nilai Tanivar di hadapan The Veil.

Ketika ia menyebutkan kata 'fragment', Oldman tiba-tiba tampak kaku. Bibirnya sedikit terbuka, seolah hendak berbicara tetapi tertahan oleh sesuatu. Ekspresinya berubah menjadi penuh perhitungan, seolah sedang memproses informasi yang terlalu besar untuk dihadapi dalam sekejap.

"Fragment..." desisnya hampir tak terdengar.

Alcard menyipitkan matanya, menyadari bahwa kata itu tampaknya memiliki makna lebih dari yang ia duga. "Kau tahu sesuatu tentang fragment ini, bukan?" tanyanya, mencoba membaca reaksi Oldman.

Lelaki tua itu segera menggeleng pelan, berusaha mengendalikan ekspresinya. "Aku hanya… mengingat cerita lama," katanya, berusaha menghindari pembicaraan lebih jauh. "Menurut sejarah, fragment adalah sesuatu yang seharusnya tidak pernah ditemukan. Jika Tanivar dan The Veil mengejarnya, maka situasi ini lebih buruk dari yang kita kira."

Meskipun jawaban itu terdengar seperti kebenaran setengah-setengah, Alcard memilih untuk tidak mendesak lebih jauh. Ia tahu bahwa jika Oldman merahasiakan sesuatu, pasti ada alasan kuat di baliknya.

Oldman bangkit dari kursinya, mulai berjalan mondar-mandir di dalam ruangan, pikirannya jelas sedang bekerja cepat. "Jika The Veil benar-benar masih ada, dan jika mereka mengincar fragment ini, kita tidak bisa hanya duduk dan menunggu. Kita harus bertindak sebelum mereka menemukannya terlebih dahulu," katanya dengan nada serius.

Ia menghentikan langkahnya dan menatap Alcard lurus-lurus. "Kau harus pergi ke reruntuhan itu, Alcard. Kita tidak bisa membiarkan benda itu jatuh ke tangan mereka."

Alcard mengangguk mantap tanpa keraguan sedikit pun. "Aku akan berangkat sendiri," ujarnya, siap menjalankan misi seperti yang biasa ia lakukan.

Namun, Oldman menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Tidak. Ini terlalu berbahaya untuk kau tangani sendirian. Jika fragment itu benar-benar ada, maka The Veil pasti sudah mengirim orang-orang terbaik mereka ke sana. Kau butuh dukungan."

Tanpa menunggu tanggapan, Oldman memanggil sepuluh outcast senior yang telah berpengalaman dalam berbagai misi berbahaya. Mereka adalah para veteran, orang-orang yang telah bertahan dalam berbagai pertempuran di The Wall, dan tidak akan mundur meskipun menghadapi bahaya yang tidak mereka pahami sepenuhnya.

Ketika mereka berkumpul di dalam ruangan, Oldman menyampaikan perintahnya dengan suara yang tegas dan penuh otoritas. "Kalian akan menemani Alcard dalam perjalanan ke reruntuhan di perbatasan elf. Kita tidak tahu apa yang menunggu di sana, tetapi misi kalian jelas: pastikan bahwa apa pun yang dicari Tanivar dan The Veil tidak jatuh ke tangan mereka."

Para outcast mengangguk, menerima tugas itu tanpa pertanyaan. Namun, satu hal yang Oldman tidak sebutkan kepada mereka adalah tentang fragment. Ia tahu bahwa jika terlalu banyak orang mengetahui keberadaannya, risiko semakin besar.

Sebelum Alcard berangkat, Oldman menariknya ke samping untuk berbicara secara pribadi. Suaranya lebih rendah dari sebelumnya, tetapi lebih tajam.

"Ingat ini, Alcard," katanya pelan. "Jika fragment itu benar-benar ada, kau harus memastikan tidak ada satu pun pihak yang bisa memilikinya. Jika perlu, hancurkan."

Alcard menatap Oldman dengan penuh pemahaman, tetapi juga dengan rasa penasaran yang mendalam. "Kau terdengar seolah-olah kau tahu lebih banyak tentang fragment daripada yang kau katakan padaku," ujarnya perlahan.

Oldman menghela napas, lalu menepuk bahu Alcard. "Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui sekarang. Fokus pada misimu."

Meskipun masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab, Alcard akhirnya mengangguk. Tanpa banyak kata lagi, ia melangkah menuju gerbang utama, di mana kesepuluh outcast yang akan menemaninya sudah siap dengan perlengkapan mereka.

Dalam hitungan menit, tim itu berangkat. Kuda-kuda mereka melaju kencang menembus gerbang markas pusat The Wall, menuju selatan. Alcard sesekali menoleh ke belakang, melihat Oldman berdiri di atas tembok The Wall, mengawasi kepergian mereka dengan sorot mata penuh kekhawatiran.

"Aku akan memastikan misi ini selesai," gumam Alcard, seolah berbicara kepada dirinya sendiri dan kepada Oldman yang kini hanya menjadi sosok kecil di kejauhan.

Di tengah malam yang pekat, hanya cahaya bintang yang samar-samar menemani perjalanan mereka. Sementara itu, jauh di selatan, di reruntuhan yang tersembunyi, sesuatu telah menunggu selama berabad-abad untuk ditemukan kembali. Dan kini, perburuan telah dimulai.

****

 

Ketika tim Alcard semakin mendekati lokasi reruntuhan, mereka memperlambat langkah, berhenti di balik semak belukar yang cukup lebat untuk menyembunyikan keberadaan mereka. Di kejauhan, reruntuhan kuno itu menjulang di tengah hamparan tanah liar yang dipenuhi pepohonan kering dan rerumputan yang hampir mati. Lumut dan tanaman merambat melapisi dinding-dinding batu yang telah retak dimakan waktu, menciptakan kesan bahwa tempat ini telah lama ditinggalkan. Namun, meskipun terlihat sunyi, tanda-tanda kehidupan di sekitarnya cukup jelas bagi mereka yang terlatih untuk memperhatikannya.

Alcard mengangkat tangan, memberi isyarat kepada timnya untuk tetap diam dan tidak bergerak. Ia menajamkan pandangan ke arah reruntuhan, memperhatikan beberapa sosok yang tampak bergerak di antara reruntuhan dengan langkah waspada. Mereka tidak bertindak seperti pengelana biasa atau pencuri pemula. Gerakan mereka terlalu disiplin, menunjukkan pengalaman bertempur yang lebih dari cukup.

"Lihat itu," bisiknya sambil menunjuk ke arah kelompok yang berpatroli di sekitar reruntuhan.

Salah satu outcast senior, yang sudah banyak pengalaman dalam mengidentifikasi kelompok musuh, mengamati dengan saksama sebelum berbisik dengan suara rendah, "Bandit."

Namun, Alcard tidak puas dengan kesimpulan itu. Ia mengamati mereka lebih lama, menghitung jumlah mereka, serta memperhatikan pola patroli yang mereka lakukan. Setidaknya ada lebih dari selusin orang yang tampak berjaga, beberapa di antaranya membawa senjata yang tidak biasa untuk ukuran bandit jalanan. Mereka mengenakan perlengkapan yang cukup baik dan tampaknya sangat terorganisir.

"Mereka bukan sekadar bandit biasa," gumam Alcard dengan nada waspada. "Gerakan mereka terlatih, dan formasi patroli mereka terlalu rapi. Mereka terlihat lebih seperti tentara bayaran daripada pencuri kelas bawah. Jika aku harus menebak, mereka pasti disewa untuk menjaga area ini. Kemungkinan besar oleh Tanivar."

Para outcast saling bertukar pandang. Mereka tahu apa artinya ini. Jika Tanivar cukup peduli untuk mengirim pasukan bayaran ke sini, itu berarti tempat ini menyimpan sesuatu yang benar-benar berharga.

Alcard menarik napas dalam-dalam sebelum memberikan perintah dengan suara tegas namun tetap dalam bisikan. "Kita tidak bisa membiarkan mereka tetap hidup. Mereka adalah ancaman langsung bagi misi kita. Mulai sekarang, tidak ada yang boleh dibiarkan melarikan diri."

Tidak ada yang mempertanyakan keputusan itu. Para outcast adalah veteran yang sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Mereka tahu bahwa membiarkan seorang pun lolos berarti mempertaruhkan nyawa mereka di kemudian hari.

Dengan cepat dan tanpa suara, mereka menyebar ke posisi masing-masing, menyusun strategi untuk melumpuhkan lawan tanpa menarik perhatian lebih banyak. Alcard sendiri bergerak di depan, menyelinap melalui bayangan pepohonan, mengamati jalur patroli dengan cermat. Ia menunggu momen yang tepat sebelum memberikan isyarat.

Seorang outcast yang sudah mengambil posisi terbaik melemparkan pisau tajam ke leher salah satu penjaga yang lengah. Tubuh pria itu terhuyung sesaat sebelum jatuh tanpa suara ke tanah. Alcard segera memberikan isyarat untuk melanjutkan. Dalam hitungan detik, panah-panah meluncur dari balik kegelapan, mengenai sasaran dengan presisi mematikan. Beberapa penjaga lainnya tumbang tanpa sempat bersuara.

Namun, meskipun eksekusi mereka hampir sempurna, salah satu bandit sempat menyadari apa yang terjadi dan berteriak sebelum tubuhnya tumbang terkena serangan mendadak.

"Serangan!" suaranya bergema, menyebarkan peringatan kepada seluruh rekan-rekannya.

Teriakan itu mengubah segalanya. Seketika, area reruntuhan menjadi medan pertempuran. Bandit-bandit yang tersisa segera menghunus senjata mereka, bersiap menghadapi musuh yang tak terlihat. Beberapa dari mereka berusaha mundur untuk mencari posisi bertahan, tetapi Alcard tidak memberi mereka kesempatan.

"Jangan biarkan mereka kabur!" teriaknya sambil mengayunkan pedangnya, menangkis serangan seorang bandit yang mencoba menusuknya dari samping. Ia memutar tubuh dengan gesit, menebaskan pedangnya ke arah lawannya, menjatuhkannya dalam satu gerakan cepat.

Para outcast lainnya bergerak dengan efisiensi yang mematikan. Mereka membentuk formasi kecil, saling melindungi dan menyerang dengan koordinasi yang sempurna. Lawan mereka mungkin berpengalaman, tetapi mereka tidak memiliki disiplin dan kekompakan yang dimiliki para outcast.

Darah bercipratan di tanah berbatu. Tubuh demi tubuh jatuh ke tanah, suara senjata beradu menggema di antara reruntuhan. Meski para bandit berusaha melawan, mereka tidak memiliki kesempatan untuk menang. Perbedaan dalam keahlian bertempur dan strategi terlalu besar.

Dalam waktu singkat, pertempuran berakhir. Tidak ada satu pun bandit yang tersisa.

Alcard berdiri di tengah area yang kini dipenuhi tubuh-tubuh tak bernyawa. Pedangnya masih meneteskan darah, tetapi ia tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia hanya mengamati reruntuhan yang berdiri kokoh di kejauhan, seakan tempat itu sendiri sedang menatap kembali ke arahnya.

"Ini baru awal," gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh angin malam yang berhembus pelan.

Salah satu outcast senior mendekatinya, napasnya masih berat setelah pertarungan yang singkat namun brutal. "Kita sudah membersihkan area ini. Tapi kau yakin tidak ada lagi yang bersembunyi di sekitar sini?"

Alcard menggeleng pelan, masih tetap waspada. "Jangan berasumsi. Kita tidak bisa yakin sebelum benar-benar memeriksa. Tetap siaga. Jika ada lebih banyak orang, mereka pasti akan segera muncul. Tapi mulai sekarang, kita tidak akan memberi mereka kesempatan lagi. Tidak ada belas kasihan."

Tanpa banyak bicara, para outcast lainnya segera menyebar, menyisir setiap sudut reruntuhan untuk memastikan tidak ada yang tersisa. Mereka menggeledah tubuh-tubuh bandit, mencari barang bukti atau petunjuk tentang siapa yang mempekerjakan mereka dan apa tujuan utama mereka di tempat ini.

Alcard, sementara itu, tetap berdiri diam di depan reruntuhan yang mulai terlihat semakin besar di hadapannya. Matanya menelusuri setiap detail struktur yang masih berdiri, mencoba menebak misteri yang tersembunyi di dalamnya.

Dalam pikirannya, satu hal semakin jelas. Apa pun yang disembunyikan tempat ini, itu pasti sesuatu yang sangat berharga—sesuatu yang bahkan Tanivar dan The Veil anggap layak untuk dijaga dengan nyawa orang-orang ini.

Dengan pedangnya masih tergenggam erat di tangan, Alcard menarik napas panjang, lalu melangkah maju. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di dalam reruntuhan itu, tetapi satu hal yang pasti: ia tidak akan mundur.

Tidak sekarang.

****

 

Setelah memastikan bahwa area luar reruntuhan sepenuhnya aman dan tidak ada ancaman yang tersisa, Alcard memanggil timnya untuk berkumpul. Cahaya bulan yang redup menyelimuti tempat itu, menciptakan bayangan panjang yang menari di antara reruntuhan batu. Dengan suara tegas dan penuh otoritas, ia mulai membagi tugas secara strategis untuk memastikan bahwa mereka bisa menjelajahi reruntuhan tanpa gangguan dari luar.

"Kita tidak bisa membiarkan tempat ini tanpa penjagaan. Empat dari kalian akan tetap berjaga di luar untuk mengawasi setiap gerakan mencurigakan. Jika ada ancaman yang mendekat, berikan sinyal secepat mungkin," ucap Alcard, matanya menyapu wajah-wajah rekan seperjuangannya yang telah bertempur bersamanya selama bertahun-tahun.

Salah satu outcast senior, seorang pria bertubuh tegap dengan luka lama di pelipisnya, mengangguk dengan penuh keyakinan. "Kami akan memastikan tidak ada satu pun yang bisa mendekat tanpa sepengetahuan kami."

Tanpa membuang waktu, Alcard bersama enam anggota lainnya mulai bergerak memasuki reruntuhan, meninggalkan para penjaga di luar. Mereka melangkah dengan hati-hati melalui lorong sempit yang hampir sepenuhnya tertutup oleh akar pohon raksasa yang merambat di sepanjang dinding. Udara di dalam terasa lembap, bercampur dengan aroma tanah basah dan kayu lapuk yang telah membusuk selama berabad-abad.

Seorang outcast yang berjalan di belakang bergumam dengan nada cemas, "Tempat ini terasa… hidup."

Alcard melirik sekeliling, memperhatikan lumut bercahaya samar yang menyelimuti dinding batu yang retak. Cahaya hijau lembutnya berdenyut perlahan, seolah mengikuti ritme jantung makhluk tak terlihat. "Mungkin memang begitu," jawabnya pendek, meskipun nalurinya mengatakan bahwa tempat ini menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar reruntuhan tua.

Langkah mereka tiba-tiba terhenti ketika suara gemerisik besar menggema dari kegelapan di depan. Bayangan sesuatu yang besar bergerak di dalam lorong, menelan cahaya yang masuk dari celah dinding runtuh. Dalam hitungan detik, sesosok makhluk raksasa muncul dari balik bayangan—sebuah golem yang tersusun dari akar dan batang pohon yang saling melilit erat. Dua mata hijau bersinar menakutkan di wajah kayunya yang kasar, menatap para penyusup dengan penuh ancaman.

"Siap bertarung!" seru Alcard, segera menarik pedangnya dan maju ke depan.

Makhluk raksasa itu menggeram rendah sebelum mengayunkan lengannya yang besar ke arah mereka. Salah satu outcast hampir terkena hantaman mematikan itu, tetapi berhasil melompat mundur tepat waktu. Golem itu bergerak lambat, tetapi setiap pukulannya memiliki kekuatan dahsyat, cukup untuk menghancurkan dinding batu di sekitar mereka dengan mudah.

Serangan demi serangan diluncurkan oleh para outcast, namun golem itu tampaknya tidak terpengaruh. Pedang dan panah hanya mengenai batang kayunya yang tebal tanpa menimbulkan luka berarti.

"Ada sesuatu di dadanya!" teriak salah satu anggota tim yang lebih awas, menunjuk ke balik lapisan batang yang keras. "Kristal hijau! Itu titik lemahnya!"

Mendengar hal itu, Alcard segera merespons. "Fokus pada kristalnya! Serang dengan segala yang kalian punya!"

Dengan strategi yang lebih terarah, mereka mulai mengincar area di sekitar dada golem, mencoba menebas akar yang melindungi kristal tersebut. Akhirnya, setelah beberapa serangan bertubi-tubi, salah satu outcast berhasil menghancurkan pelindungnya. Alcard melihat celah itu dan langsung menerjang maju, mengayunkan pedangnya tepat ke arah kristal hijau yang bersinar di dada golem.

Begitu pedangnya menghantam, kristal itu pecah dengan suara retakan tajam, dan seketika tubuh golem itu mulai runtuh. Akar-akar yang menyusunnya mengering dan terlepas satu per satu, hingga akhirnya hanya menyisakan tumpukan kayu mati di tanah.

"Bagus," ujar Alcard sambil mengatur napasnya, matanya tetap siaga mengamati sekitar. "Tapi ini baru permulaan. Jika ada satu, kemungkinan ada lebih banyak."

Mereka melanjutkan perjalanan lebih dalam ke dalam reruntuhan, hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar. Cahaya dari lumut bercahaya membuat ukiran-ukiran misterius di dinding tampak lebih jelas. Namun yang paling mencolok adalah dua sosok raksasa yang berdiri di depan sebuah gerbang batu besar dengan ukiran rumit.

Dua golem lain, jauh lebih besar dari yang pertama, berdiri diam seperti patung. Namun, kristal hijau di dada mereka berdenyut perlahan, tanda bahwa mereka tidaklah mati—hanya menunggu sesuatu untuk membangunkan mereka.

"Ini akan sulit," kata Alcard, memeriksa medan di sekitarnya. "Tapi kita sudah tahu cara menghadapi mereka."

Dengan cepat, ia membagi tugas. Dua outcast ditugaskan untuk mengalihkan perhatian satu golem, sementara sisanya fokus menyerang yang lain. Begitu langkah pertama mereka menggema di dalam ruangan, kedua golem itu mulai bergerak. Tanah bergetar saat makhluk-makhluk raksasa itu menggerakkan tubuh kayunya yang besar. Dengan raungan serak, mereka menyerang dengan kekuatan yang cukup untuk meremukkan batu.

Pertempuran pecah dengan intensitas tinggi. Setiap gerakan harus dihitung dengan cermat—satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Alcard memimpin serangan terhadap golem pertama, bekerja sama dengan tiga outcast lainnya untuk menargetkan titik lemahnya. Mereka berusaha menghancurkan lapisan kayu yang melindungi kristalnya, tetapi golem ini lebih kuat dan lebih sulit untuk dilumpuhkan.

Namun, melalui kombinasi serangan cepat dan strategi yang disiplin, mereka akhirnya berhasil menciptakan celah. Dengan satu tebasan kuat, Alcard menghancurkan kristal di dada makhluk itu. Seperti sebelumnya, tubuhnya mulai runtuh, menjadi tumpukan kayu mati di lantai batu.

"Satu lagi!" seru Alcard, mengalihkan perhatian ke golem terakhir.

Makhluk itu memberikan perlawanan yang jauh lebih sengit. Dengan kekuatan luar biasa, ia menghancurkan sebagian lantai dengan pukulan besar, memaksa para outcast untuk bergerak lebih cepat dan lebih lincah. Namun, mereka tetap bertahan, bekerja sama untuk melumpuhkan lawan mereka.

Akhirnya, setelah usaha keras, kristal di dada golem terakhir hancur berkeping-keping. Dengan suara gemuruh, makhluk itu runtuh, menciptakan awan debu yang memenuhi ruangan.

Ketika keheningan akhirnya kembali, Alcard berjalan mendekati gerbang batu besar yang dijaga oleh kedua golem tersebut. Ia meneliti ukiran aneh di permukaannya, mencoba memahami maknanya.

"Gerbang ini… pasti ada sesuatu yang penting di baliknya," gumamnya, jari-jarinya menyusuri goresan-goresan kuno di batu itu.

Salah satu outcast yang masih terengah-engah mendekat. "Apakah kita akan membukanya sekarang?" tanyanya, meskipun nada suaranya mengandung keraguan.

Alcard menggeleng perlahan. "Tidak. Kita harus memastikan area ini aman dulu. Kita tidak tahu apa yang menunggu di baliknya. Istirahat dulu, pulihkan tenaga, lalu kita lanjutkan."

Timnya mengangguk, menyadari pentingnya strategi dalam situasi seperti ini. Mereka mulai memeriksa luka-luka ringan, menyusun kembali perlengkapan, dan menjaga kewaspadaan di sekeliling mereka.

Dengan pedang masih tergenggam erat, Alcard menatap gerbang besar itu dengan penuh antisipasi. Ia tahu bahwa mereka telah melangkah terlalu jauh untuk mundur sekarang. Apa pun yang ada di balik pintu itu, ia siap menghadapinya.

****

 

Dengan persiapan yang matang dan kewaspadaan tinggi, Alcard serta keenam outcast berdiri tegak di depan gerbang batu besar yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran kuno. Setiap goresan yang terukir di permukaan gerbang seolah menyimpan cerita lama yang telah terlupakan oleh sejarah. Cahaya hijau redup yang bersumber dari lumut bercahaya di sekitar ruangan memantulkan bayangan samar pada ukiran-ukiran itu, menambah kesan misterius yang semakin menguatkan ketegangan di udara.

Alcard menatap gerbang dengan penuh perhitungan, lalu menoleh ke arah timnya. "Apa pun yang ada di balik gerbang ini, kita tidak boleh lengah," ucapnya tegas. Dengan satu gerakan tangan, ia memberi isyarat kepada dua outcast untuk mulai mendorong daun pintu batu yang besar itu.

Gerbang perlahan terbuka dengan suara gemuruh berat, seakan sudah berabad-abad tidak tersentuh manusia. Di baliknya, terbentang sebuah ruangan luas yang diliputi keheningan mencekam. Dinding-dinding tinggi yang penuh dengan lumut bercahaya menciptakan permainan cahaya hijau yang berkilauan di lantai batu yang telah ditelan waktu. Udara di dalam terasa lebih dingin, seolah mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar kelembapan reruntuhan tua.

Alcard melangkah masuk lebih dahulu, matanya menyapu setiap sudut ruangan. "Sejauh ini tidak ada tanda-tanda bahaya... tapi jangan tertipu oleh kesunyian," katanya, memberi peringatan kepada timnya. "Perhatikan sekeliling, dan jangan sampai terpisah."

Ruangan itu begitu luas, jauh lebih besar dari yang mereka perkirakan dari luar. Akar-akar besar menjalar di sepanjang dinding dan langit-langit, membentuk pola seperti sarang yang telah lama tidak terganggu. Ukiran kuno yang menghiasi tembok-tembok batu tampak seperti simbol-simbol asing, beberapa berbentuk lingkaran yang saling terhubung, sementara lainnya menyerupai tulisan yang tidak bisa mereka pahami.

Salah satu outcast, Garvin, melangkah mendekati dinding dengan ekspresi bingung. "Aku tidak melihat tanda-tanda altar, peti, atau sesuatu yang biasanya digunakan untuk menyimpan sesuatu yang berharga," katanya, suaranya mencerminkan kebingungan.

Alcard tetap waspada. "Tidak mungkin golem sebesar itu hanya menjaga tempat kosong," gumamnya, tangannya tetap dekat dengan gagang pedangnya. Ia mengamati setiap sudut ruangan, mencari sesuatu yang bisa menjelaskan keberadaan tempat ini.

Setelah beberapa menit berlalu tanpa hasil, Alcard akhirnya mengambil keputusan. "Kalian semua keluar dan berjaga di luar. Aku akan memeriksa lebih dalam," perintahnya.

Salah satu outcast menatapnya dengan ragu. "Sendirian? Kau yakin itu keputusan yang tepat?"

Alcard menatapnya dengan tegas. "Aku bisa mengatasi ini. Aku hanya butuh waktu untuk mencari tahu lebih jauh tanpa gangguan. Jangan masuk kecuali aku memanggil."

Enggan membantah, para outcast mulai melangkah keluar, meskipun jelas terlihat keraguan di wajah mereka. Namun, sebelum mereka benar-benar meninggalkan ruangan, suara gemuruh keras mengguncang seluruh tempat itu. Dalam sekejap, gerbang besar yang baru saja mereka buka menutup kembali dengan sendirinya, menciptakan dentuman yang menggema di seluruh ruangan.

"Alcard!" teriak salah satu outcast dari luar, suaranya penuh kekhawatiran. "Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?"

Alcard tetap tenang meskipun situasinya mendadak berubah. Ia menekan keinginan untuk panik dan membalas dengan nada terkendali. "Aku baik-baik saja. Jangan coba membuka gerbang ini. Tunggu instruksiku."

Dengan ruangan kini hanya berisi dirinya dan bayangannya sendiri, Alcard melangkah lebih dalam, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan. Kesunyian kini semakin menekan, seperti sesuatu di dalam tempat ini mulai sadar akan kehadirannya.

Tiba-tiba, lantai di tengah ruangan mulai bergetar pelan. Alcard berhenti sejenak, mengamati perubahan yang terjadi. Dari retakan-retakan di lantai batu, akar-akar besar mulai tumbuh, melilit satu sama lain, menciptakan sebuah formasi yang tampak seperti podium. Perlahan, dari pusat podium itu, sesuatu mulai muncul.

Benda itu berbentuk prisma segi delapan, melayang di udara dengan tenang. Warnanya hijau, bercahaya lembut tetapi memiliki pancaran energi yang kuat. Ujung-ujungnya tampak seperti berdenyut, seolah hidup, memancarkan cahaya yang terasa semakin intens dari detik ke detik.

Alcard menatapnya tanpa berkedip, seakan terpaku oleh pemandangan yang ada di hadapannya. "Ini... fragment?" gumamnya lirih.

Ia pernah mendengar cerita-cerita kuno tentang fragment—benda misterius yang disebut-sebut memiliki kekuatan luar biasa. Namun, ia tidak pernah benar-benar percaya bahwa benda itu nyata. Sekarang, ia berdiri di hadapan salah satunya, merasakan keberadaan energi yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

Seiring dengan munculnya fragment itu, suasana ruangan berubah drastis. Udara menjadi lebih berat, hampir seolah ditekan oleh kekuatan tak terlihat. Akar-akar di dinding mulai bergerak perlahan, seolah memiliki kesadaran sendiri. Cahaya hijau dari prisma itu semakin kuat, menciptakan bayangan yang tampak hidup di dinding-dinding batu.

Alcard menggenggam pedangnya lebih erat, nalurinya memberi tahu bahwa bahaya bisa muncul kapan saja. Namun, yang mengejutkan, tidak ada serangan yang datang. Hanya kehadiran fragment itu sendiri yang menciptakan tekanan luar biasa, seakan-akan tempat ini sedang mengujinya.

"Apa yang sebenarnya kau lindungi...?" bisik Alcard, matanya tetap terkunci pada prisma hijau itu.

Di luar gerbang, timnya masih berjaga dengan cemas, tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Mereka mencoba mencari cara untuk membuka pintu, tetapi setiap upaya mereka sia-sia.

Sementara itu, di dalam ruangan, Alcard tetap berdiri di tempatnya, tidak bergerak sedikit pun. Ia tahu bahwa benda di hadapannya bukan sekadar artefak biasa. Ini adalah sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang berhubungan dengan rahasia dunia yang selama ini tersembunyi. Ia harus memutuskan langkah selanjutnya dengan hati-hati.

Satu hal yang pasti—apa pun yang akan terjadi setelah ini, ia sudah melewati titik tanpa jalan kembali.

****

 

Setelah memastikan bahwa tidak ada ancaman di sekitarnya, Alcard melangkah perlahan mendekati prisma hijau yang melayang di atas podium akar. Cahaya yang dipancarkan benda itu berdenyut dengan ritme yang hampir terasa seperti jantung yang berdetak, seolah fragment ini memiliki kesadaran sendiri. Energi di dalamnya terasa begitu pekat hingga udara di sekitarnya tampak bergetar halus, menambah suasana misterius yang semakin menyelimuti ruangan.

Alcard mengamati prisma itu dengan seksama. Ia tahu bahwa benda ini bukan sekadar artefak biasa. Jika cerita lama yang pernah ia dengar benar, maka fragment ini memiliki kekuatan yang bisa mengubah keseimbangan dunia. Ia tidak bisa membiarkannya jatuh ke tangan yang salah, apalagi jika The Veil sudah mulai mencarinya.

"Jika ini benar-benar fragment, aku tidak punya pilihan selain memastikan benda ini tidak digunakan untuk hal yang salah," gumamnya, suaranya penuh ketegasan.

Dengan napas yang tertahan, Alcard mencabut pedangnya. Ia mengangkat bilah baja itu tinggi-tinggi, lalu mengayunkannya dengan penuh tenaga, menebaskan pedangnya tepat ke permukaan prisma yang bercahaya. Namun, alih-alih terbelah atau pecah, fragment itu justru bereaksi dengan cara yang jauh di luar dugaannya.

Dalam sekejap, prisma itu memancarkan ledakan energi hijau yang begitu kuat hingga seluruh ruangan bergetar. Gelombang kekuatan itu menghantam tubuh Alcard dengan dahsyat, membuatnya terpental ke belakang dan menghantam dinding batu dengan keras. Suara dentuman bergema di seluruh ruangan.

"Sial!" desisnya, merasakan sakit menjalar di punggungnya akibat benturan yang begitu keras. Pandangannya sedikit berputar, tubuhnya terasa berat, tetapi ia memaksakan diri untuk bangkit, menahan rasa nyeri yang menggigit otot-ototnya.

Dari luar gerbang yang masih tertutup, suara salah satu outcast terdengar, penuh dengan kekhawatiran. "Alcard! Apa yang terjadi di dalam? Kau baik-baik saja?"

Alcard menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya meskipun dadanya masih berdebar. "Aku baik-baik saja!" jawabnya, meskipun suara dan tubuhnya mencerminkan kelelahan yang nyata.

Ia kembali menatap fragment itu, menyadari bahwa menghancurkannya bukanlah solusi. Prisma hijau itu masih melayang di tempatnya, tetapi cahayanya kini lebih stabil, seolah menyadari upaya Alcard yang sia-sia untuk merusaknya.

'Jadi kau tidak bisa dihancurkan dengan cara biasa,' pikirnya, menghela napas. 'Kalau begitu, aku tidak bisa meninggalkanmu di sini.'

Dengan tekad bulat, ia perlahan mengulurkan tangannya ke arah prisma, bersiap menghadapi kemungkinan reaksi lain. Begitu ujung jarinya menyentuh permukaan prisma yang dingin namun terasa seperti berdenyut, sesuatu yang aneh terjadi.

Podium akar yang menopang prisma mulai menyusut dengan perlahan, seolah menyerah pada kehadirannya. Cahaya terang yang sebelumnya menyelimuti prisma mulai meredup, tidak lagi berdenyut liar seperti sebelumnya. Udara yang terasa berat di dalam ruangan perlahan kembali normal, tekanan yang sebelumnya menghimpit tubuhnya kini berangsur menghilang.

Saat prisma telah berada dalam genggamannya, sebuah suara gemuruh tiba-tiba menggema. Gerbang besar yang sebelumnya terkunci rapat mulai bergetar, lalu perlahan terbuka dengan sendirinya. Suara batu bergeser memenuhi ruangan, memecah keheningan yang sebelumnya begitu pekat.

Tak butuh waktu lama, para outcast yang berjaga di luar langsung berlari masuk. Salah satu dari mereka segera menghampiri Alcard dengan wajah penuh kekhawatiran. "Apa yang terjadi di sini? Kami mendengar suara ledakan!" tanyanya, matanya menyapu ruangan yang kini tampak lebih tenang.

Alcard menyadari bahwa fragment ini bukan sesuatu yang boleh diketahui oleh siapa pun, bahkan oleh rekan-rekannya sendiri. Jika The Veil menginginkannya, maka siapa pun yang mengetahui keberadaan fragment ini akan menjadi target. Maka, tanpa ragu, ia memutuskan untuk menyembunyikan kebenaran.

"Benda yang dijaga di sini ternyata alat kuno dengan mekanisme pertahanan otomatis," katanya dengan nada meyakinkan. "Aku mencoba menghancurkannya, tetapi efek ledakannya cukup kuat. Setelah itu, gerbang terbuka sendiri."

Para outcast menatapnya dengan campuran kebingungan dan kekaguman. Penjelasan Alcard terdengar masuk akal, terutama melihat kondisinya yang berdebu dan terlihat kelelahan akibat benturan sebelumnya.

Setelah memastikan bahwa tidak ada lagi ancaman di sekitar mereka, Alcard memberikan perintah dengan nada tegas. "Misi selesai. Kita kembali ke The Wall untuk melaporkan apa yang terjadi di sini."

Tanpa banyak bicara lagi, para outcast mulai bersiap untuk perjalanan pulang. Sementara mereka sibuk mengamankan peralatan dan memeriksa keadaan sekitar, Alcard dengan hati-hati menyelipkan prisma hijau itu ke dalam kantong kulit di sabuknya. Ia memastikan tidak ada yang menyadari gerakannya, menyembunyikan fragment itu dengan sangat hati-hati.

Saat mereka mulai bergerak menjauh dari reruntuhan, Alcard membiarkan pikirannya terus bekerja. Ia tahu bahwa benda yang kini ada di tangannya bukan sekadar peninggalan kuno biasa. Ini adalah sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang memiliki dampak terhadap keseimbangan dunia. Dan sekarang, ia adalah satu-satunya yang mengetahui kebenarannya.

"Bagaimana aku akan melaporkan ini kepada Oldman?" pikirnya, menyadari betapa rumit situasi yang sedang ia hadapi. Memberitahu Oldman tentang fragment bisa memicu banyak pertanyaan yang mungkin sulit ia jawab, tetapi menyembunyikannya juga bukan tanpa risiko.

Matahari mulai muncul di ufuk timur ketika mereka bergerak menjauh dari reruntuhan, menandai awal perjalanan mereka kembali ke The Wall. Namun, bagi Alcard, ini bukan sekadar perjalanan pulang. Ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang bisa mengubah nasib Middle Earth selamanya.

****