Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, melewati hutan lebat yang dipenuhi akar raksasa serta jalan berbatu yang menuntut ketahanan fisik luar biasa, Alcard akhirnya tiba di hadapan gerbang besar yang menjadi pintu masuk utama ke Kekaisaran Dwarf. Gerbang itu bukan sekadar pintu masuk biasa, melainkan sebuah monumen megah yang mencerminkan kejayaan dan ketangguhan bangsa Dwarf. Batu-batu raksasa yang membentuknya dipahat dengan detail luar biasa, menampilkan ukiran kuno tentang sejarah pertempuran, kejayaan, serta legenda nenek moyang mereka.
Di depan gerbang yang menjulang tinggi, beberapa prajurit Dwarf berdiri berjaga dalam formasi yang rapi. Mereka mengenakan baju zirah tebal berwarna gelap yang tampak kokoh, dengan helm besar yang menutupi sebagian besar wajah mereka. Setiap dari mereka menggenggam senjata khas Dwarf—palu raksasa dengan gagang besi tebal—yang tampak berat bahkan bagi prajurit manusia biasa. Meskipun terlihat tak bergerak seperti patung, mata mereka awas, memantau setiap gerakan dengan kewaspadaan tinggi.
Alcard perlahan turun dari kudanya, seekor kuda hitam besar yang memiliki aura gagah dan penuh kewibawaan. Dengan tenang, ia menyingkap tudung jubahnya, memperlihatkan wajahnya yang dingin dan sorot mata merah khas seorang outcast. Ia sadar bahwa sebagai seorang outcast, kehadirannya di tanah Dwarf tidak akan disambut dengan tangan terbuka. Namun, ia juga tidak menunjukkan sedikit pun tanda gentar.
Tanpa tergesa-gesa, ia mengangkat kedua tangannya dalam gerakan netral, menunjukkan bahwa ia tidak membawa ancaman. Dengan gerakan yang sudah diperhitungkan, ia merogoh kantong dadanya dan mengeluarkan surat bercap resmi dari Oldman.
"Aku datang atas nama The Wall," suaranya terdengar tegas dan mantap, tanpa sedikit pun keraguan atau ketakutan. "Kedatanganku adalah untuk meminta persediaan plat besi dan senjata dari Kekaisaran Dwarf."
Salah satu prajurit Dwarf yang tampaknya memiliki otoritas lebih tinggi dari yang lain melangkah maju. Gerakannya penuh percaya diri, namun tatapan matanya dipenuhi dengan kewaspadaan dan kecurigaan. Ia menerima surat dari tangan Alcard dan mulai membacanya dengan cermat. Namun, tidak butuh waktu lama sebelum ekspresi sinis menghiasi wajahnya.
Ia mengeluarkan suara dengusan pelan sebelum menggeram dalam bahasa Dwarf, kata-katanya tajam dan penuh penghinaan.
"Outkarn thrû? Kharzul nâr barak, thrakzân thûl-kazral kar-kazad ukh grobin drûkhân ghalûn-rakzân!"
(Outcast lagi? Kalian memang tak pernah berubah, selalu datang ke gerbang kami seperti pengemis yang meminta ini-itu!)
Mendengar kata-kata itu, beberapa prajurit lainnya saling melirik dan mulai tertawa kecil, suara mereka terdengar seperti batu yang bergesekan—kasar dan berat. Ejekan mereka tidak berhenti di situ, salah satu dari mereka menyusul dengan nada mencemooh yang lebih tajam.
"Grûmarz! Tharân nâr kharzul, khadûn narakh dûrin thrûl-karnâk dholnar thrakzûn uth zanak-drûl kar-Dhurzân!"
(Parasit! Kalau bukan karena kalian, kami tidak perlu menghabiskan sumber daya sebanyak ini untuk menghadapi ancaman dari Selatan!)
Alcard tetap berdiri diam di tempatnya, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. Ia tidak memahami bahasa mereka, tetapi dari nada suara dan cara mereka tertawa, ia bisa menebak isi hinaan yang dilontarkan kepadanya. Sebagai seorang outcast, perlakuan seperti ini bukanlah sesuatu yang baru. Baik manusia, Dwarf, maupun Elf telah menganggap outcast sebagai sisa-sisa masyarakat yang tidak berharga. Penghinaan, sikap merendahkan, dan ketidakpercayaan sudah menjadi bagian dari kehidupan yang harus ia hadapi sejak lama. Karena itu, ia hanya berdiri diam, tetap menjaga ketenangan, sementara kudanya yang besar dan gagah berdiri di sisinya dengan postur yang sama kokohnya, menatap para penjaga dengan mata tajam.
Di dalam hatinya, Alcard memahami bahwa ejekan ini hanyalah pelampiasan. Dwarf mungkin membenci para outcast, tetapi mereka juga tahu bahwa The Wall berperan penting dalam menahan ancaman dari Selatan. Tanpa outcast yang bertugas di sana, ancaman itu mungkin sudah menelan banyak wilayah di Middle Earth, termasuk milik mereka. Namun, alih-alih mengakui hal itu, mereka lebih memilih menjadikan outcast sebagai kambing hitam atas segala masalah mereka.
Setelah beberapa saat berlalu, prajurit Dwarf yang membaca surat itu akhirnya menyerah pada tugasnya. Dengan raut wajah tidak senang, ia melambaikan tangan ke arah para penjaga lain, memberi isyarat agar mereka membuka gerbang.
"Baiklah, masuklah," katanya dengan nada dingin dan kasar. "Tapi ingat, outcast, jangan coba-coba menimbulkan masalah di tanah kami!"
Dengan suara gemuruh berat, gerbang batu raksasa itu perlahan mulai terbuka. Debu dan udara dingin dari dalam terowongan raksasa yang mengarah ke jantung kota bawah tanah Kekaisaran Dwarf berembus keluar. Cahaya obor yang berjejer di sepanjang dinding menerangi lorong yang dalam, menampilkan ukiran yang lebih rumit dan megah. Setiap relief batu yang terpahat dengan sempurna adalah bukti keahlian luar biasa yang telah diwariskan oleh para Dwarf selama berabad-abad.
Alcard menuntun kudanya memasuki lorong tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Wajahnya tetap dingin, tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia tahu bahwa meskipun dirinya telah diizinkan masuk, ia tetaplah orang asing di tanah yang penuh dengan keangkuhan dan kebanggaan ini. Tidak ada sambutan hangat, tidak ada rasa hormat—hanya tatapan dingin dan pengawasan ketat.
Saat ia berjalan lebih dalam ke dalam kekaisaran bawah tanah itu, ia bisa merasakan tatapan para Dwarf di sepanjang jalan. Beberapa hanya melihatnya sekilas dengan penuh kecurigaan, sementara yang lain tidak menyembunyikan ekspresi penghinaan mereka. Namun, Alcard tidak terganggu. Ia sudah terbiasa berjalan di tempat di mana ia tidak diinginkan. Apa yang penting baginya saat ini adalah misinya—mendapatkan persediaan untuk The Wall dan menemukan jawaban tentang fragment yang ia bawa.
Dengan langkah tegap dan pikiran yang tetap fokus, ia terus maju, bersiap menghadapi apa pun yang mungkin menunggunya di tanah para Dwarf.
****
Alcard menuntun kudanya perlahan melewati desa kecil para Dwarf yang terletak di dekat tambang utama. Desa ini tidak seperti perkampungan manusia yang ramai dengan hiruk-pikuk pasar atau rumah-rumah kayu yang dibangun seadanya. Setiap bangunan di sini kokoh, berbentuk kotak dengan dinding batu tebal yang dipahat dengan presisi khas bangsa Dwarf. Beberapa rumah memiliki cerobong yang mengepulkan asap tipis, menandakan dapur di dalamnya masih menyala. Lampu-lampu minyak yang tergantung di sepanjang jalan berbatu memberikan cahaya hangat, membentuk bayangan panjang yang menari di antara bangunan.
Meskipun malam sudah mulai turun, suasana desa tetap hidup. Dari sebuah bangunan besar yang tampak seperti tempat peristirahatan, terdengar suara riuh tawa dan percakapan keras. Bar utama desa itu dipenuhi para Dwarf yang berkumpul setelah seharian bekerja di tambang. Beberapa di antara mereka masih mengenakan pakaian kerja yang penuh debu, wajah mereka kotor oleh sisa batu dan tanah, tetapi tidak ada sedikit pun kelelahan dalam cara mereka menenggak minuman atau bersenda gurau dengan sesama. Di sisi lain jalan, terlihat para wanita Dwarf yang sedang duduk di depan rumah mereka, merajut atau memperbaiki peralatan yang digunakan sehari-hari. Mereka berbicara pelan, namun sesekali melirik ke arah Alcard dengan tatapan yang sulit diartikan—antara penasaran dan waspada.
Alcard memutuskan untuk masuk ke bar, tempat paling ideal untuk mengumpulkan informasi. Begitu ia mendorong pintu kayu berat itu dan melangkah masuk, suasana di dalamnya berubah seketika. Percakapan yang tadinya riuh mereda, seolah-olah semua suara ditelan udara dingin. Tatapan tajam langsung tertuju padanya, penuh kewaspadaan dan ketidakpercayaan. Beberapa Dwarf yang duduk di meja panjang saling berbisik dengan nada rendah namun jelas terdengar seperti ejekan.
"Outkarn? Grâk thrân durkhâl kar-azgal?"
(Outcast? Apa yang dilakukan orang buangan di sini?)
Seorang Dwarf bertubuh besar dengan janggut tebal berwarna perak menyipitkan mata ke arahnya. Alcard bisa merasakan aura ketidakramahan yang menyelimuti ruangan, tetapi ia tetap tenang. Ia sudah terbiasa menghadapi tatapan merendahkan, baik dari manusia, Elf, maupun Dwarf. Ia tahu bahwa sebagai seorang outcast, ia tidak akan pernah diterima sepenuhnya di tempat mana pun.
Tanpa menghiraukan atmosfer yang menegang, Alcard berjalan menuju meja bar dan berhenti di depan seorang bartender yang tampaknya menjadi pemilik tempat ini. Bartender itu memiliki bahu lebar dan lengan berotot, dengan bekas luka yang terlihat jelas di salah satu pipinya. Ia mengelap gelas kayu di tangannya sambil menatap Alcard tanpa menyembunyikan ketidaksenangannya.
"Kami tidak melayani monster peminum darah di sini," katanya dingin, suaranya berat dan penuh ketegasan.
Alcard menghela napas panjang, menolak terpancing provokasi. Ia mengambil sebuah kantong kecil dari sakunya dan meletakkannya di atas meja dengan suara yang cukup keras, menarik perhatian beberapa pengunjung yang berada di sekitar bar.
"Aku tidak datang untuk minum," katanya dengan nada datar namun jelas. "Aku hanya mencari informasi, dan aku bisa membayarnya."
Mata bartender langsung tertuju pada kantong yang berisi koin. Meski ekspresi wajahnya tetap keras, ada sedikit kilatan ketertarikan dalam sorot matanya. Ia meraih kantong itu, menimbangnya sebentar sebelum mengangkat alis.
"Baiklah," katanya, nada suaranya kini lebih santai. "Tapi jika kau ingin aku berbicara, kau harus membeli satu putaran minuman untuk semua Dwarf di sini."
Alcard tidak ragu. Ia mengangguk sebagai tanda setuju. Bartender itu segera menuangkan lebih banyak minuman, sementara suasana di dalam bar kembali mencair. Beberapa Dwarf yang tadinya mencemoohnya kini mulai tersenyum tipis, senang karena minuman gratis.
Sambil memesan sepotong roti keras khas Dwarf, Alcard memulai percakapannya dengan nada santai. "Aku sering mendengar kisah tentang kehebatan para Dwarf di masa lalu. Tentang bagaimana kalian membangun kota-kota yang menakjubkan, menciptakan senjata legendaris yang bahkan manusia pun tidak bisa menirunya."
Bartender tertawa kecil sambil mengisi gelas-gelas kosong. "Itu memang masa-masa keemasan kami. Second Era adalah saat kami berdiri sejajar dengan para raja manusia dan Elf. Bahkan, ada banyak rumor, jika teknologi tertinggi dwarf adalah saat awal-awal First Era."
"First Era?" tanya Alcard berekspresi seperti tertarik.
"Ya! Masa-masa di mana dwarf memiliki pengetahuan yang langsung turun dari dewa dan membuat segalanya menjadi mudah untuk menakhlukkan segala tantangan luar biasa saat dunia masih sangat mematikan. Tapi sekarang? Kami tidak lebih dari penjaga tambang, bekerja siang dan malam untuk mempertahankan apa yang tersisa."
Alcard mengangguk pelan, lalu dengan hati-hati mengarahkan pembicaraan ke topik yang lebih spesifik. "Namun, ada satu hal yang selalu membuatku penasaran. Aku mendengar bahwa di masa lalu, Dwarf memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar keahlian menempa besi. Sebuah kekuatan besar yang melampaui semua yang ada sekarang. Apakah itu benar?"
Bartender berhenti menuangkan minuman sejenak, lalu menatap Alcard dengan tatapan yang lebih tajam. "Kekuatan besar?" katanya, suaranya merendah. "Kau pasti sedang membicarakan Fragment."
Alcard tetap tenang, tetapi di dalam pikirannya, informasi ini mengonfirmasi sesuatu yang telah ia duga. "Ya," jawabnya. "Aku penasaran. Apakah cerita itu benar?"
Bartender menyeringai kecil, matanya memancarkan keingintahuan yang tak terbuka lebar. "Cerita itu benar," katanya akhirnya. "Namun, tidak banyak yang tahu detailnya. Jika kau benar-benar ingin menemukan jawabannya, kau harus pergi ke salah satu dari aggota Sepuluh Klan Besar Dwarf atau Council of Ten Clans. Mereka yang menyimpan sejarah kuno, dan beberapa dari mereka mungkin masih memiliki catatan tentang Fragment. Dan jika kau ingin yang terdekat…"
"Steelhammer."
Bartender itu mengangguk kecil, dan tak melanjutkan topik pembicaraan, karena telah menyebutkan salah satu dari klan terkuat di kekaisaran dwarf ini.
Alcard mencatat informasi itu dalam benaknya. Ini adalah petunjuk berharga—Sepuluh Klan Besar Dwarf mungkin menyimpan sesuatu yang bisa membantunya memahami lebih jauh tentang benda yang kini disimpan Oldman di The Wall.
Sebelum ia bangkit dari kursinya, bartender memberikan peringatan dengan suara rendah. "Berhati-hatilah, Outcast. Cerita tentang hal semacam itu biasanya lebih membawa malapetaka daripada jawaban. Kalau kau berniat bertanya pada para pemimpin klan, siapkan banyak koin atau apapun yang menarik perhatian mereka. Mereka tidak murah."
Alcard mengangguk, membayar makanannya, lalu berjalan keluar dari bar dengan langkah mantap. Udara malam terasa dingin saat ia berdiri di depan pintu bar, menatap ke kejauhan. Tambang besar yang menjulang di kejauhan tampak seperti raksasa yang diam, menandakan bahwa pusat kekuatan Dwarf berada lebih dalam di perut gunung. Di sanalah, mungkin, jawabannya menanti.
Dengan satu tarikan napas panjang, Alcard mulai merencanakan langkah berikutnya. Ia kini memiliki tujuan yang lebih jelas—mencari salah satu dari Sepuluh Klan Besar Dwarf dan mengungkap kebenaran tentang Fragment.
****
Pagi itu, Alcard meninggalkan desa kecil Dwarf dengan langkah pasti, mengarahkan kudanya menuju tujuan berikutnya. Perjalanan kali ini membawanya ke wilayah Klan Steelhammer, salah satu dari Sepuluh Klan Besar Dwarf yang dikenal sebagai pengrajin senjata terbaik di seluruh Middle Earth. Di antara para Dwarf, klan ini memiliki reputasi yang luar biasa, tidak hanya karena kualitas tempa baja mereka yang legendaris, tetapi juga karena pengaruh besar mereka dalam pemerintahan Kekaisaran Dwarf. Ketua Klan Steelhammer bahkan memegang posisi penting dalam Council of Ten Clans, menjadikannya sosok yang berkuasa dalam keputusan-keputusan besar bangsa mereka.
Setelah beberapa jam menempuh perjalanan di sepanjang jalur berbatu yang menanjak, Alcard tiba di sebuah gua raksasa yang menjadi pintu masuk ke wilayah Steelhammer. Tidak seperti desa kecil yang ia tinggalkan sebelumnya, tempat ini benar-benar mencerminkan kebesaran Dwarf. Sebuah gerbang baja raksasa berdiri kokoh di mulut gua, dihiasi dengan ukiran rumit yang menggambarkan sejarah panjang klan ini—dari awal berdirinya, peperangan besar yang mereka menangkan, hingga kejayaan mereka dalam menempa senjata-senjata yang pernah mengubah jalannya pertempuran. Setiap pahatan di permukaan gerbang seperti berbicara tentang kejayaan mereka yang tidak bisa diganggu gugat.
Di depan gerbang, dua penjaga bersenjata lengkap berdiri dengan waspada. Mereka mengenakan zirah berat berwarna hitam keperakan, dengan simbol palu dan landasan khas Klan Steelhammer terukir di dada mereka. Wajah mereka hampir seluruhnya tertutup oleh helm besi dengan visor yang hanya memperlihatkan mata tajam yang penuh kewaspadaan. Ketika Alcard mendekat, salah satu dari mereka maju selangkah, mengangkat tombaknya untuk menghentikan langkahnya.
"Outcast?" tanyanya dengan nada sinis. "Apa yang kau cari di sini?"
Alcard tetap tenang, seperti biasa. Ia tidak menunjukkan sedikit pun reaksi terhadap nada meremehkan itu. Dengan gerakan perlahan, ia merogoh kantong dalam jubahnya dan mengeluarkan surat resmi dari Oldman, lalu menyerahkannya pada penjaga itu.
"Aku datang atas nama The Wall," ucapnya dengan suara mantap. "Kami membutuhkan pasokan plat besi dan senjata dari Klan Steelhammer."
Penjaga itu mengambil surat tersebut dan membacanya dengan seksama. Namun, saat selesai membaca, ia tidak segera memberikan jawaban. Sebaliknya, ia berbicara dalam bahasa Dwarf kepada rekannya, yang mendengarkan sambil mengangguk kecil.
"Outkarn thrû. Kharzul nâr gharrûn dholnar kar-dvazûr, ukh? Grûmarz narathûk thrazgrôn!"
(Outcast lagi. Mereka tidak pernah berhenti menyedot sumber daya kita, bukan? Sungguh parasit yang menjengkelkan.)
Meskipun Alcard tidak memahami bahasa Dwarf secara langsung, ia cukup terbiasa dengan nada penghinaan yang kerap diarahkan padanya. Ia tetap diam, tidak menunjukkan ekspresi apa pun, hanya menunggu dengan sabar.
Setelah berdiskusi sejenak, penjaga itu akhirnya menghela napas dan melambaikan tangan kepada rekannya. Dengan gerakan lambat, gerbang baja raksasa itu mulai terbuka, menghasilkan suara gemuruh berat yang menggema di sepanjang dinding gua.
"Baiklah," kata penjaga itu dengan nada enggan. "Kau bisa masuk. Tapi jangan berbuat onar di sini, Outcast. Ini tanah kami, bukan tempat bagi orang sepertimu."
Tanpa membalas, Alcard menuntun kudanya masuk ke dalam wilayah bawah tanah Klan Steelhammer. Begitu melewati gerbang, ia langsung disambut oleh pemandangan yang luar biasa. Wilayah ini bukan sekadar kota bawah tanah biasa—ini adalah sebuah benteng yang sepenuhnya dibangun dengan presisi dan keahlian tinggi.
Di dalamnya, bangunan-bangunan besar yang terbuat dari batu berukir berdiri megah, saling terhubung oleh jembatan kecil yang melintasi jurang dalam yang tampaknya digali untuk tambang. Jalan-jalan utama lebar dan bersih, diterangi oleh lampu kristal bercahaya kuning yang tertanam di dinding gua, memberikan penerangan yang cukup untuk membuat tempat ini terasa seperti siang hari meskipun mereka berada jauh di bawah tanah.
Di setiap sudut, terdengar suara dentingan palu menempa besi. Para Dwarf bekerja tanpa henti di bengkel-bengkel besar mereka, menempa baja menjadi berbagai macam senjata, baju zirah, dan alat-alat lainnya. Percikan api memancar dari tungku besar, menerangi wajah para pekerja yang penuh konsentrasi. Tempat ini tidak hanya sebuah kota—ini adalah jantung dari industri senjata para Dwarf, tempat di mana kekuatan mereka benar-benar ditempa.
Alcard menuntun kudanya perlahan, memperhatikan aktivitas yang berlangsung di sekelilingnya. Ia melihat kelompok-kelompok Dwarf berbicara serius di salah satu sudut, sementara yang lain sibuk menyusun batang-batang baja yang baru dilebur. Setiap orang di sini tampak memiliki tugas masing-masing, bekerja dengan disiplin tinggi, mencerminkan masyarakat yang telah mengasah keterampilan mereka selama berabad-abad.
Setelah beberapa menit berjalan, ia akhirnya tiba di depan balai utama Klan Steelhammer. Bangunan ini lebih besar daripada yang lain, dengan dua patung besar di sisi gerbangnya—patung seorang Dwarf bertubuh kekar yang memegang palu raksasa, simbol kekuatan dan kehormatan klan ini. Gerbangnya sendiri dihiasi dengan ukiran yang lebih rumit daripada gerbang utama kota, menggambarkan kisah kejayaan leluhur klan.
Di depan balai utama, seorang penjaga lain sudah menunggunya. Ia menerima tali kendali kuda Alcard tanpa berkata apa-apa, hanya mengangguk singkat. Alcard, yang sudah terbiasa dengan suasana dingin dan tidak ramah dari para Dwarf, hanya membalas dengan anggukan kecil, lalu berdiri tegak, menunggu izin untuk masuk.
Namun, pikirannya tidak hanya terfokus pada misi utama yang tertulis dalam surat dari Oldman. Ia tahu bahwa kunjungannya ke sini lebih dari sekadar urusan dagang antara The Wall dan Klan Steelhammer. Di balik permintaan supply senjata dan plat besi, ada tujuan lain yang jauh lebih penting—fragment hijau.
Jika ada yang mengetahui lebih banyak tentang fragment ini, itu adalah para Dwarf. Mereka memiliki catatan sejarah yang bahkan manusia dan Elf tidak bisa menandingi. Meskipun ia harus berhati-hati agar tidak mengungkapkan rahasia terlalu dini, ia bertekad untuk menggali informasi sebanyak mungkin.
Dengan keteguhan hati, Alcard menunggu di depan gerbang besar balai utama, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya di tanah para pengrajin senjata terbaik Middle Earth ini.
****
Sesampainya di balai utama, Alcard segera disambut oleh seorang prajurit Dwarf yang mengenakan zirah baja tebal dengan lambang Klan Steelhammer terukir jelas di dada. Sosok Dwarf itu tampak lebih tua dibandingkan penjaga yang ia temui di gerbang, namun sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan dan pengalaman.
"Kau dari The Wall, bukan?" tanya prajurit itu, suaranya berat dan dalam. Ia menatap Alcard dari kepala hingga kaki, matanya menilai setiap detail dengan penuh kehati-hatian. "Ikut aku. Kami akan membawamu ke gudang persediaan. Supply yang kau butuhkan sedang dipersiapkan."
Tanpa membuang waktu, Alcard mengikuti langkahnya, menyusuri lorong panjang yang diterangi cahaya obor. Dinding-dinding batu di sekitar mereka terasa dingin dan kokoh, menunjukkan betapa kuatnya konstruksi benteng bawah tanah ini. Suara langkah kaki berat mereka bergema di sepanjang lorong, berpadu dengan suara samar dentingan logam dari bengkel-bengkel di kejauhan.
Mereka terus berjalan turun melalui jalur sempit yang semakin dalam, menuruni tangga batu yang permukaannya telah mengkilap karena dipijak selama berabad-abad. Semakin dalam mereka masuk, semakin terasa betapa luas dan terorganisirnya benteng ini. Gudang utama yang mereka tuju terletak di lapisan paling bawah wilayah Klan Steelhammer, tempat semua hasil tempa terbaik disimpan dengan ketat.
Ketika mereka akhirnya tiba di depan pintu besar dari baja hitam, dua penjaga Dwarf yang bersenjata kapak raksasa berdiri tegak di sana, ekspresi mereka keras dan tak bersahabat. Mereka tak berkata apa-apa, hanya mengangguk singkat saat prajurit yang mengantar Alcard memberi isyarat.
Dengan suara berat, pintu baja itu mulai terbuka perlahan, mengeluarkan suara gemuruh yang bergema di sepanjang lorong. Begitu pintu itu sepenuhnya terbuka, Alcard melihat pemandangan yang menggambarkan keahlian para Dwarf dalam mengelola sumber daya mereka. Gudang itu lebih luas dari yang ia bayangkan, dengan rak-rak tinggi yang penuh dengan persediaan perang—pedang, kapak, tombak, perisai, serta plat besi dan bahan mentah lainnya. Setiap barang tertata rapi, menunjukkan betapa disiplin dan telitinya para Dwarf dalam menyimpan harta mereka.
Namun, sebelum Alcard sempat berbicara, prajurit yang mengantarnya menoleh padanya dan berkata dengan nada tajam, "Ketua klan kami, Tharvin Steelhammer, bukan tipe yang suka memberi tanpa imbalan. Jika kau datang hanya untuk meminta, tanpa membawa sesuatu yang setara, kau akan pulang dengan tangan kosong."
Alcard, yang sudah memperkirakan hal ini, tetap tenang. Ia tak menunjukkan tanda-tanda terkejut atau tersinggung. Dengan gerakan lambat, ia merogoh ke dalam jubahnya dan mengeluarkan sebuah kantong kecil yang tersembunyi di balik lapisan kainnya. Ia meletakkannya di telapak tangannya, lalu menarik tali pengikatnya, memperlihatkan isi kantong itu—sekumpulan koin emas dan permata berkilauan yang bersinar di bawah cahaya obor.
Mata prajurit Dwarf itu sedikit melebar melihat harta yang ada di hadapannya. Namun, ia dengan cepat mengendalikan ekspresinya, kembali memasang wajah tegasnya. "Kau membawa ini semua dari The Wall?" tanyanya, suaranya terdengar lebih serius daripada sebelumnya.
Alcard mengangguk perlahan. "Kami tidak datang dengan tangan kosong. Kami siap membayar harga yang pantas."
Dwarf itu mengamati koin dan permata itu selama beberapa detik, seolah menimbang sesuatu dalam pikirannya. Kemudian, dengan gerakan cepat, ia menutup kembali kantong tersebut dan menggenggamnya erat.
"Tunggu di sini," katanya dengan nada lebih rendah namun tetap tajam. "Aku akan melaporkan ini langsung kepada Tuan Tharvin Steelhammer."
Tanpa menunggu tanggapan Alcard, prajurit itu berbalik dan berjalan pergi dengan langkah cepat, suaranya menghilang dalam lorong panjang yang semakin gelap. Sementara itu, Alcard tetap berdiri di depan pintu gudang, matanya mengamati sekeliling dengan cermat.
Baginya, ini bukan sekadar pertemuan dagang biasa. Ia memahami bahwa pertemuannya dengan Tharvin Steelhammer akan menjadi penentu, bukan hanya untuk mendapatkan pasokan senjata bagi The Wall, tetapi juga untuk mencari tahu lebih banyak tentang fragment hijau yang masih menjadi misteri. Para Dwarf dikenal memiliki catatan sejarah yang jauh lebih lengkap daripada manusia, dan jika ada yang mengetahui sesuatu tentang fragment, kemungkinan besar mereka adalah salah satu klan yang menyimpan rahasia itu.
Namun, ia juga tahu bahwa para Dwarf bukanlah bangsa yang mudah dibujuk. Jika mereka mengetahui bahwa ia membawa fragment, reaksi mereka bisa saja lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan. Oleh karena itu, ia harus berhati-hati dengan setiap kata yang akan ia ucapkan di hadapan Tharvin.
Sambil menunggu, Alcard tetap berdiri tegak, matanya tetap dingin dan penuh kewaspadaan. Meski di luar ia tampak tenang, pikirannya penuh dengan pertimbangan dan strategi. Ia harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin.
Tidak lama kemudian, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Suara gema dari lorong batu memberi tahu Alcard bahwa prajurit tadi telah kembali, membawa kabar yang akan menentukan arah perjalanannya selanjutnya.
****
Alcard mengikuti langkah prajurit Dwarf yang membawanya semakin dalam ke jantung benteng bawah tanah Klan Steelhammer. Lorong-lorong yang mereka lewati semakin sempit dan berliku, namun tetap dipahat dengan keahlian luar biasa. Setiap dinding dihiasi ukiran kuno yang menceritakan sejarah panjang klan ini, dari kejayaan mereka di era lampau hingga peperangan yang mereka hadapi. Cahaya obor yang redup menciptakan bayangan bergerak di sepanjang dinding batu, menambah kesan bahwa tempat ini bukan hanya benteng, melainkan juga monumen bagi kejayaan para Dwarf.
Di ujung lorong, sebuah pintu kayu besar berdiri kokoh, dihiasi dengan ukiran logam perak yang menggambarkan lambang Klan Steelhammer. Tanpa banyak bicara, prajurit yang mengantar Alcard mengetuk pintu tiga kali dengan ritme tertentu, sebelum mendorongnya perlahan hingga terbuka.
Begitu pintu terbuka, aroma kayu tua bercampur logam menyambut Alcard. Ruangan ini bukan hanya sekadar kantor, melainkan pusat kendali kekuasaan Klan Steelhammer. Di sepanjang dindingnya, rak-rak kayu dipenuhi dengan dokumen, peta, dan model mini tambang yang tertata rapi. Meja besar dari kayu hitam berada di tengah ruangan, penuh dengan gulungan perkamen dan peralatan tulis. Cahaya dari lentera gantung menciptakan suasana serius yang menegaskan bahwa ruangan ini bukan tempat untuk berbasa-basi.
Di belakang meja itu, duduklah Tharvin Steelhammer, pemimpin klan ini. Sosoknya besar, bahkan untuk ukuran Dwarf, dengan bahu lebar dan lengan yang tampak lebih cocok untuk memegang palu tempur daripada pena. Janggut peraknya yang panjang dan lebat menjuntai hingga ke dada, sebagian diikat dengan gelang besi kecil yang dihiasi ukiran. Matanya, yang tajam seperti mata elang, langsung mengunci pandangannya pada Alcard begitu ia masuk.
Di atas meja, kantong kecil berisi koin emas dan permata yang Alcard bawa dari The Wall telah diletakkan mencolok, seakan menjadi inti dari pertemuan ini.
"Jadi, ini yang kau bawa?" suara Tharvin terdengar berat, nadanya mengandung campuran sinisme dan ketertarikan. Matanya melirik kantong itu dengan ekspresi sulit ditebak, antara meremehkan dan mempertimbangkan nilainya.
Tanpa basa-basi, Alcard menatapnya kembali tanpa gentar. "Aku diutus untuk membeli supply tambahan. Katakan seberapa banyak ini bisa memberikannya," jawabnya dengan nada datar namun tegas.
Tharvin menyeringai tipis, senyumnya dipenuhi dengan kelicikan khas para pemimpin dagang. "Harga logam dan senjata sedang melambung tinggi," katanya, suaranya lebih mirip pernyataan yang sudah disiapkan daripada fakta. "Kami tak bisa begitu saja melepas semuanya hanya karena itu untuk The Wall."
Alcard tetap diam sejenak, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Ia tahu permainan seperti ini—bukan sekadar perdagangan biasa, melainkan tawar-menawar kekuasaan terselubung.
Kemudian, dengan suara lebih dingin, ia menjawab, "Dan aku tahu kau ingin memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan sebanyak mungkin, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan keselamatan Middle Earth."
Senyum Tharvin tidak langsung menghilang, tetapi jelas ada perubahan di matanya. Meski nada suaranya tetap terkendali, ucapan Alcard telah mengenai sasaran. Sebelum Tharvin sempat membalas, Alcard melanjutkan.
"Jangan lupa bahwa supply ini bukan untuk permainan politik atau perebutan wilayah," lanjutnya, suaranya kini lebih menekan. "Semua ini untuk mempertahankan The Wall dari ancaman monster selatan. Kau pasti masih ingat kepala Orc yang kami bawa ke rapat tahunan Council of Ten Clans beberapa waktu lalu, bukan?"
"…"
Ruangan itu mendadak sunyi. Alcard melihat bagaimana rahang Tharvin mengencang sedikit. Ia tahu bahwa ingatan akan insiden itu masih segar dalam benak para Dwarf—serangan besar yang hampir saja merobohkan pertahanan mereka, di mana The Wall memainkan peran penting dalam mencegah kehancuran lebih lanjut.
Alcard tidak berhenti di sana. "Atau mungkin kau sudah lupa serangan besar beberapa bulan lalu—enam ogre mutasi, puluhan goblin mutasi, dan seekor ogre kepala dua? Apa yang kau pikir akan terjadi jika The Wall runtuh? Jangan pura-pura kau tak tahu informasi ini. Monster-monster itu tidak akan berhenti di sana. Mereka akan terus maju, melahap Middle Earth, termasuk bentengmu yang kau banggakan ini."
Tharvin menghela napas panjang, akhirnya menanggapi dengan nada lebih serius. "Baiklah," katanya akhirnya, suaranya sedikit melunak. "Aku akan memberikan harga yang sedikit lebih rendah dari harga pasar. Bukan karena kau, tapi karena ini demi kepentingan semua orang."
Kesepakatan harga akhirnya tercapai. Tharvin menyusun beberapa dokumen untuk menyiapkan transaksi, sementara Alcard menambahkan instruksi tambahan. "Transaksi ini harus dipisahkan dari supply reguler yang kami minta. Ini permintaan langsung dari markas pusat kami."
Tharvin mendengus, tampak tidak terlalu senang dengan persyaratan tambahan itu. "Tentu saja, kalian Outcast selalu membuat segalanya lebih rumit," gerutunya sambil menandatangani dokumen dengan cap stempel berbentuk palu. "Baiklah, aku akan memisahkannya. Tapi jangan harap aku akan melupakan ini."
Alcard berdiri, bersiap meninggalkan ruangan. Namun, sebelum ia benar-benar melangkah menuju pintu, ia berhenti sejenak dan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap langsung ke arah Tharvin. Suaranya lebih rendah kali ini, nyaris seperti bisikan. "Ada satu hal lagi yang ingin kubicarakan. Empat mata."
Ekspresi Tharvin langsung berubah, dari kesal menjadi penuh kecurigaan. Matanya menyipit, mempelajari wajah Alcard dengan lebih serius. "Empat mata, ya?" ulangnya pelan, seolah mempertimbangkan apakah ia harus menuruti permintaan itu atau tidak.
Akhirnya, dengan berat hati, ia memberi isyarat dengan satu gerakan tangan. Para prajurit dan pelayan yang berada di ruangan itu segera mundur tanpa bertanya, meninggalkan kedua sosok itu dalam keheningan yang berat.
Pintu kayu besar tertutup perlahan di belakang mereka, dan ruangan itu kini hanya menyisakan Alcard dan Tharvin, dengan ketegangan yang semakin pekat di udara. Tharvin menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menatap Alcard dengan penuh kewaspadaan.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Outcast?"
Suasana ruangan semakin menegang, seolah-olah pembicaraan yang akan terjadi bukan hanya sekadar transaksi biasa, melainkan sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan jauh lebih berbahaya.
****