Dalam suasana yang tegang dan dipenuhi keheningan, Alcard tidak membuang waktu untuk berbasa-basi. Matanya yang tajam menatap langsung ke arah Tharvin, menyelidik dengan ketegasan yang tak tergoyahkan. "Aku ingin tahu," katanya dengan suara rendah namun tegas, "apakah legenda tentang fragment itu benar? Benarkah ada benda yang memiliki kekuatan luar biasa, yang hanya bisa digunakan oleh mereka yang dianggap layak?"
Tharvin tidak segera menjawab. Ia menatap Alcard dengan penuh kewaspadaan, seolah mempertimbangkan apakah ia harus membuka mulutnya atau tidak. Keraguan itu jelas terlihat di wajahnya, tetapi semuanya berubah dalam sekejap ketika Alcard mengeluarkan sebuah kantong kecil dari balik jubahnya. Dengan perlahan, ia membuka kantong itu dan memperlihatkan prisma hijau berbentuk segi delapan yang memancarkan cahaya samar di bawah penerangan redup ruangan.
Tatapan Tharvin berubah drastis. Mata Dwarf tua itu melebar, napasnya tertahan, dan ekspresi ketus yang sebelumnya ada di wajahnya kini berganti dengan keterkejutan dan rasa ingin tahu yang mendalam. Untuk beberapa saat, ia hanya menatap prisma itu, seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Dari mana kau mendapatkan ini?" suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan yang ditelan oleh atmosfer berat di dalam ruangan.
Alih-alih langsung menjawab, Alcard tetap menatapnya dalam diam, mencari tanda-tanda reaksi lebih lanjut dari Tharvin. "Pertanyaannya seharusnya bukan dari mana aku mendapatkannya," katanya akhirnya. "Tapi apa kau tahu apa ini?"
Tharvin menarik napas panjang, lalu bersandar ke kursinya dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya. "Ya," katanya, suara beratnya terdengar lebih lambat, seolah-olah setiap kata yang keluar harus dipertimbangkan dengan hati-hati. "Jika apa yang tertulis dalam sejarah klan kami benar, maka benda ini adalah nyata. Fragment adalah pecahan dari bola kristal primordial yang diciptakan oleh The Creator One. Benda ini memiliki kekuatan yang melampaui pemahaman kita."
Ia menatap prisma itu dengan penuh pertimbangan sebelum melanjutkan, suaranya kini lebih rendah dan rahasia. "Legenda kami menyebutkan bahwa fragment dapat memberikan kekuatan luar biasa kepada pemiliknya, tetapi bukan tanpa konsekuensi. Benda ini memilih siapa yang dianggap layak, namun bahkan mereka yang terpilih pun tidak bisa menghindari dampaknya."
Mendengar ini, mata Alcard menyipit. "Dampak?" tanyanya, nada suaranya semakin serius. "Seperti apa?"
Tharvin mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak sedang bercanda. "Setiap fragment memiliki efek samping yang berbeda," katanya. "Beberapa membawa kegilaan bagi pemiliknya, yang lain memberikan mimpi buruk yang begitu nyata hingga bisa menghancurkan mental seseorang. Ada pula yang perlahan-lahan mengubah tubuh pemiliknya, menjadikannya sesuatu yang bukan lagi manusia, Elf, atau bahkan Dwarf."
Alcard terdiam, pikirannya langsung melayang kembali pada saat pertama kali ia menyentuh prisma itu. Ia ingat perasaan aneh yang merayap di tubuhnya—sebuah ketenangan yang tidak biasa, hampir seperti dorongan halus yang menenangkan jiwanya. Saat itu, ia tidak berpikir terlalu dalam tentangnya, tetapi sekarang, setelah mendengar penjelasan Tharvin, ia mulai bertanya-tanya. Apakah itu efek dari fragment? Apakah ia telah mengalami tanda-tanda awal dari sesuatu yang lebih besar?
Tharvin tampaknya menyadari kegelisahan dalam pikiran Alcard dan melanjutkan, "Dalam catatan sejarah kami, hanya tujuh fragment yang pernah diketahui keberadaan terakhirnya di Second Era. Mereka digunakan oleh raja-raja, pemimpin perang, dan individu yang memiliki ambisi besar. Tapi setelah perang besar yang dikenal sebagai Battle of Last Hope, satu fragment menghilang, menyisakan hanya enam dan dibagikan ke ketiga ras, namun menghilang untuk waktu yang lama. Sejak awal Third Era, tidak ada lagi yang pernah ditemukan. Semua catatan tentangnya perlahan-lahan menghilang, dan ras lain mulai menganggapnya sebagai mitos. Tapi, kabar terakhir munculnya fargment adalah saat Olkan Hamongrad yang menggunakan fragment emas untuk memulai penakhlukkan middle earth. Setelah itu, tak ada lagi kabar tentang fragment, seolah benda sihir itu tiba-tiba menghilang dari dunia ini."
Alcard mendengarkan setiap kata dengan penuh perhatian, semakin menyadari bahwa apa yang ia bawa bukan sekadar artefak biasa. Jika fragment ini benar-benar nyata dan kini berada di tangannya, konsekuensinya tidak bisa dianggap enteng. Keberadaan benda ini saja sudah cukup untuk membuat dunia bergejolak, terutama jika sampai jatuh ke tangan yang salah—entah itu The Veil, Council of Shadow, atau kelompok-kelompok lain yang mengincar kekuatan.
"Jadi," kata Alcard akhirnya, suaranya terdengar lebih berat dari sebelumnya, "hanya keberadaan benda ini saja sudah cukup untuk menempatkan Middle Earth dalam bahaya besar."
Tharvin mengangguk, ekspresinya semakin serius. "Kau benar," katanya. "Fragment ini bukan sekadar sumber kekuatan, tetapi juga sumber kehancuran. Mereka yang memilikinya akan diburu. Mereka yang menginginkannya akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Dan jika fragment ini sampai jatuh ke tangan yang salah... kehancuran Middle Earth tak akan terhindarkan."
Alcard diam sejenak, lalu dengan hati-hati mengembalikan prisma itu ke dalam kantongnya, menyimpannya kembali di tempat yang aman. Tatapannya dingin namun penuh tekad. Ia berdiri, mengakhiri diskusi ini dengan kesimpulan yang jelas di pikirannya. "Aku akan memastikan benda ini tetap jauh dari tangan siapa pun yang berniat menyalahgunakannya."
Tharvin menatapnya dengan tajam, lalu mengangguk pelan. Namun, sebelum Alcard berbalik untuk pergi, Tharvin berbicara sekali lagi, suaranya dipenuhi dengan peringatan yang jelas. "Berhati-hatilah, Outcast," katanya dengan nada yang lebih gelap. "Banyak yang akan memburumu jika mereka tahu kau memiliki fragment ini. Dan lebih dari itu... fragment itu sendiri mungkin akan menguji dirimu."
Alcard tidak menjawab, tetapi ia memahami maksud dari peringatan itu. Dengan langkah tegas, ia meninggalkan ruangan Tharvin, pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan tadi. Langkahnya mantap, tetapi ada ketegangan yang kini membebani pundaknya—sebuah kesadaran bahwa ia kini membawa lebih dari sekadar misi diplomasi.
Ia membawa sesuatu yang bisa menentukan nasib seluruh Middle Earth.
****
Setelah memastikan semua urusan dengan Tharvin selesai, Alcard menyesuaikan tali kekang kudanya, bersiap meninggalkan benteng bawah tanah Klan Steelhammer. Sebelum pergi, ia berhenti sejenak di dekat gerbang utama untuk berbicara dengan salah satu penjaga, memastikan bahwa supply senjata dan plat besi yang telah dibeli akan dikirim ke The Wall dalam waktu tiga hari sesuai perjanjian.
Namun, baru saja ia hendak memacu kudanya keluar, sesuatu yang aneh terjadi. Dari berbagai sudut lorong yang mengarah ke gerbang, sekelompok penjaga Dwarf muncul dengan gerakan yang terkoordinasi. Mereka mengenakan baju zirah penuh, masing-masing bersenjata dengan kapak berat dan palu perang. Dalam hitungan detik, Alcard mendapati dirinya dikepung dari segala arah. Suasana yang sebelumnya damai berubah menjadi tegang, dan tatapan para Dwarf di sekelilingnya penuh dengan kewaspadaan.
Alcard menegang, tangannya perlahan meraih gagang pedangnya. Matanya menyapu sekeliling, mencari celah untuk keluar, namun ia segera menyadari bahwa lingkaran penjaga semakin menyempit, membatasi ruang geraknya. Dengan ekspresi penuh kemarahan, ia menatap tajam ke arah mereka.
"Apa maksud semua ini?" suaranya menggelegar dengan membara. Ia menghunus pedangnya, bersiap menghadapi ancaman apa pun yang mungkin datang.
Para penjaga tetap diam, tetapi gerakan mereka cukup jelas menunjukkan bahwa ini bukan sekadar kesalahpahaman. Alcard semakin waspada, otot-ototnya menegang, siap bertarung jika perlu. Namun, sebelum sesuatu terjadi, langkah berat terdengar bergema di sepanjang lorong. Dari balik barisan penjaga, sosok yang sangat dikenalnya muncul dengan sikap santai namun penuh dominasi—Tharvin Steelhammer.
Tharvin berhenti beberapa langkah di depan Alcard, menyilangkan tangannya di dada, dan memberikan senyum tipis yang penuh perhitungan. Tatapannya langsung tertuju pada Alcard, penuh keyakinan bahwa ia memiliki kendali atas situasi ini.
"Benda itu terlalu berharga untuk dibiarkan pergi begitu saja," katanya akhirnya, suaranya tenang tetapi memiliki ketegasan yang tak bisa diabaikan. "Bayangkan apa yang bisa dilakukan Klan Steelhammer—bahkan seluruh kekaisaran Dwarf—jika kami memilikinya dan menemukan penggunanya."
Alcard mengepalkan tangannya, rasa marah mulai menguasainya. Ia sudah menduga bahwa Tharvin tidak akan begitu saja mengabaikan fragment, tetapi mendengar pernyataan itu secara langsung tetap membuat darahnya mendidih. "Kau bahkan tidak tahu bahayanya!" serunya dengan nada tajam. "Benda itu bukan benda yang bisa diperebutkan atau dimanfaatkan sesuka hati!"
Tharvin tetap tersenyum kecil, kali ini dengan nada mencemooh. "Mungkin aku tidak tahu segalanya," katanya sambil mengangkat bahu dengan santai. "Tapi aku tahu satu hal yang selalu berlaku di dunia ini: kekuatan selalu membawa keuntungan besar. Bahkan, aku bisa mengalahkan para lord yang terus menanggu perbatasan kami. Dan kau, Outcast, tidak punya hak untuk menentukan apa yang harus kami lakukan."
Alcard semakin marah mendengar kata-kata itu. "Kau dan keserakahanmu, Tharvin!" suaranya terdengar penuh kebencian. "Kau ingin mengendalikan sesuatu yang tidak kau pahami. Kau hanya melihat benda itu sebagai alat kekuatan, tanpa peduli dampaknya."
Melihat Alcard yang mulai kehilangan kesabaran, Tharvin memanfaatkan situasi itu untuk menekannya lebih jauh. Dengan nada lebih rendah, ia memberikan ancaman terselubung, "Berani membuat keributan di sini, di tanah kami? Apa kau sudah lupa dampaknya pada The Wall dan seluruh Outcast? Kau tahu Dwarf tidak akan memaafkan pengkhianatan sekecil apa pun."
Alcard mengertakkan giginya. Ia tahu Tharvin tidak hanya menggertak—jika ia bertindak gegabah dan menciptakan konflik di wilayah Dwarf, hubungan antara The Wall dan kekaisaran Dwarf bisa hancur. Itu bukan risiko yang bisa ia ambil. Meskipun amarah membakar dalam dadanya, ia menarik napas panjang dan mencoba mengendalikan emosinya.
"Kau licik, Tharvin," ujarnya dengan suara yang lebih rendah namun tak kalah tajam. "Tapi ingat ini: benda itu tidak akan membawa apa pun selain kehancuran," sambungnya melemparkan kantong kecilnya langsung pada Tharvin.
"Ucapan bodohmu, lebih baik kau telan sendiri," balas Tharvin tersenyum puas.
Tharvin tidak terganggu oleh peringatan itu. Ia hanya mengangkat bahu dengan sikap acuh tak acuh. "Kami akan tetap mengirim supply seperti yang dijanjikan," katanya dengan nada santai. "Anggap saja ini sebagai tanda itikad baik kami untuk menjaga hubungan. Tetapi benda itu, kau tahu di mana tempatnya."
Sebagai isyarat untuk mengakhiri konfrontasi ini, Tharvin melambaikan tangannya. Para penjaga, meskipun tetap berjaga-jaga, mulai membuka jalan bagi Alcard untuk pergi. Namun, tatapan mereka masih penuh dengan kecurigaan, seolah menandakan bahwa mereka tidak akan melupakan peristiwa ini begitu saja.
Tharvin berdiri di tengah lorong, menatap Alcard dengan senyum tipis yang penuh arti. Sebelum Alcard benar-benar pergi, ia mengucapkan kata-kata terakhirnya, dengan nada mengejek yang dingin. "Pergilah, Outcast. Pastikan ini terakhir kalinya kau menginjakkan kaki di sini. Kami tidak butuh masalah baru."
Alcard hanya menatap tajam ke arah Tharvin tanpa mengatakan apa-apa. Setelah beberapa detik, ia akhirnya menyarungkan pedangnya kembali dan menaiki kudanya. Tanpa sepatah kata pun, ia memacu kudanya melewati gerbang utama benteng, meninggalkan wilayah Klan Steelhammer.
Di belakangnya, Tharvin hanya tertawa kecil dan melambaikan tangan seolah melepas tamu yang tak diinginkan. "Sampaikan salamku pada Oldman," katanya dengan nada penuh ejekan. "Katakan bahwa kami selalu mendukung The Wall... dengan cara kami sendiri."
Alcard tidak menoleh ke belakang, tetapi dalam hati, kemarahan dan kekecewaan bercampur menjadi satu. Ia tahu bahwa bentrokan lebih lanjut dengan Tharvin hanya akan memperburuk situasi, tetapi ia juga sadar bahwa keserakahan pemimpin Dwarf itu suatu hari nanti akan membawa konsekuensi yang jauh lebih besar. Tidak hanya bagi para Dwarf, tetapi bagi seluruh Middle Earth.
Sambil mempercepat langkah kudanya, ia memfokuskan pikirannya pada misi yang lebih besar. Fragment harus tetap dijaga, dan ancaman yang datang dari Tharvin hanyalah satu dari sekian banyak bahaya yang mengintai di balik bayang-bayang. Dengan tekad yang semakin kuat, Alcard terus melaju, menyusun strategi untuk menghadapi tantangan berikutnya.
****
Begitu meninggalkan benteng Steelhammer, Alcard langsung memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, membiarkan angin malam menghantam wajahnya. Namun, meskipun ia semakin menjauh dari tanah Dwarf, amarahnya terus berkobar seperti api yang tak bisa dipadamkan. Rahangnya mengeras, matanya menyala penuh kebencian saat pikirannya kembali pada pertemuan dengan Tharvin.
Fragment hijau yang telah ia amankan dengan segala risiko kini berada di tangan seorang penguasa Dwarf yang hanya melihatnya sebagai alat kekuatan. "Benda itu... tidak seharusnya jatuh ke tangan makhluk serakah seperti dia. Jika benar itu fragment, ia akan menjadi ancaman besar bagi semua orang!" gumamnya dengan suara yang hampir seperti geraman.
Sepanjang perjalanan meninggalkan wilayah Dwarf, setiap kali melewati desa atau pos penjagaan, Alcard tidak berusaha menyembunyikan emosinya. Tatapan tajamnya menyapu setiap prajurit yang ia temui, membuat beberapa dari mereka berpaling atau berbisik di belakangnya. Namun, sebagian lainnya tetap berani melontarkan hinaan seperti yang biasa mereka lakukan terhadap seorang outcast.
"Oi, grûmarz Thrak-Khâzad, thrâg ukh barûn dholrak thrûn nar kar-azgal!" seru seorang penjaga dari atas menara kayu.
(Hei, parasit The Wall, pergi sana sebelum bau busukmu menempel di sini!)
Biasanya, Alcard akan mengabaikan hinaan seperti itu. Namun, kali ini, ia menarik tali kekang kudanya dengan keras, membuat hewan itu berhenti mendadak. Dengan gerakan cepat, ia menoleh dan menatap lurus ke arah penjaga yang berbicara. Sorot matanya dingin, nyaris mematikan. Langkahnya mantap saat ia turun dari kuda, mendekati pos penjagaan itu dengan aura yang semakin menekan.
"Diam kalian, cacing tambang!" bentaknya tajam, suaranya rendah tetapi penuh bahaya. "Jangan pikir aku tak akan menghabisi kalian di sini!"
Para penjaga terkejut, tidak menyangka Alcard akan bereaksi dengan begitu agresif. Beberapa di antara mereka saling bertukar pandang, ragu apakah harus membalas atau tetap diam. Salah satu dari mereka bahkan bergumam pelan dalam bahasa Dwarf, nyaris tak terdengar.
"Zâr thrâkul barz..."
(Dia benar-benar gila...)
Namun, Alcard tak peduli. Ia melompat kembali ke pelana kudanya dan melanjutkan perjalanan tanpa menoleh ke belakang, membiarkan penjaga-penjaga itu berdiri dalam diam, tak berani melontarkan hinaan lebih lanjut.
Saat malam tiba dan ia berhenti di pinggir jalan untuk beristirahat, pikirannya terus dipenuhi dengan amarah. Ia duduk di bawah pohon besar, satu tangan menggenggam gagang pedangnya dengan erat. Matanya menatap kosong ke dalam kegelapan, tetapi pikirannya melayang jauh ke masa lalu—ke saat segalanya berubah.
Ia teringat bagaimana dirinya dijebak, dijadikan kambing hitam atas pembunuhan putra mahkota Jovalian, tidak lama setelah kematian mendadak raja yang selama ini ia lindungi. Ia telah mengabdikan hidupnya kepada kerajaan, hanya untuk dihianati dan dicampakkan seperti sampah.
Bibirnya mengerut dalam kemarahan saat ingatan yang lebih menyakitkan muncul—hukuman mati bagi istri dan putrinya. Bagaimana mereka diperlakukan dengan kejam, dihukum tanpa pengampunan, hanya karena mereka adalah keluarga seorang yang dituduh sebagai pengkhianat.
"Aku bisa menerima hinaan, bahkan cacian," bisiknya dengan suara bergetar karena amarah yang ia tahan. "Tapi saat aku dijadikan alata tau tumbal... saat aku harus menyaksikan istri dan putriku dihukum mati karena kebohongan yang dibuat oleh orang-orang licik seperti Tharvin... itu sesuatu yang tak akan pernah kulupakan!"
Bayangan wajah Perdana Menteri Cevral Hamilton melintas dalam pikirannya—pria yang ia yakini sebagai dalang utama di balik kehancuran hidupnya. Alcard menggeram keras, lalu tanpa sadar tinjunya menghantam batang pohon di belakangnya dengan kekuatan penuh. Kulit kayu pecah di bawah pukulannya, mengeluarkan serpihan kecil yang beterbangan di udara.
Saat fajar mulai menyingsing, Alcard kembali menunggangi kudanya dan menuju gerbang perbatasan terakhir yang memisahkan wilayah Dwarf dari Middle Earth. Di sana, sekelompok penjaga Dwarf telah bersiap, tampaknya menunggu kesempatan untuk mengejeknya sekali lagi.
"Kazâk thrân thrâl! Grûmarz Thrak-Khâzad!"
(Lihat siapa yang kembali! Parasit dari The Wall!)
Namun, kali ini Alcard tidak memberi mereka kesempatan untuk melanjutkan. Ia menarik tali kudanya hingga hewan itu berhenti tiba-tiba, lalu turun dengan gerakan cepat. Tatapannya yang penuh ancaman membuat para penjaga itu seketika terdiam, tidak lagi penuh percaya diri seperti sebelumnya.
Tanpa berkata-kata, Alcard berjalan mendekati mereka, langkahnya tenang namun membawa tekanan yang berat. Ia berhenti hanya beberapa langkah dari salah satu penjaga yang berbicara paling keras. Dengan suara rendah namun tajam seperti pisau, ia berbicara.
"Aku sudah cukup mendengar ocehan kalian," katanya, setiap kata sarat dengan ancaman terselubung. "Jika kalian tidak bisa menjaga mulut, aku bersumpah gerbang ini akan menjadi tempat terakhir kalian berdiri."
Para penjaga itu membeku. Tidak ada satu pun yang berani menjawab. Tatapan Alcard seperti pedang yang siap menebas mereka kapan saja, dan mereka cukup cerdas untuk menyadari bahwa pria ini bukan orang yang bisa diajak bermain-main. Dalam diam, mereka mundur dan membuka jalan, membiarkan Alcard melanjutkan perjalanannya tanpa perlawanan.
Saat akhirnya melewati gerbang terakhir dan meninggalkan wilayah Dwarf sepenuhnya, Alcard berhenti sejenak, memandang jauh ke arah selatan. Di kejauhan, The Wall berdiri megah di cakrawala, benteng terakhir bagi mereka yang telah dibuang oleh dunia.
Dalam hatinya, ia bersumpah.
"Aku mungkin tak bisa mengalahkan permainan licik para bangsawan seperti Tharvin hari ini. Tapi suatu hari, aku akan memastikan keserakahan mereka membawa kehancuran pada diri mereka sendiri."
Dengan tekad yang semakin kuat, Alcard kembali memacu kudanya, meninggalkan tanah Dwarf dengan amarah yang masih membara. Namun, di balik kemarahan itu, ada kesadaran bahwa ini belum berakhir. Ancaman yang lebih besar telah menunggu di depan, dan ia harus bersiap menghadapi semuanya.
****
Dalam perjalanan pulangnya melalui hutan lebat yang membentang luas di Middle Earth, Alcard mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Udara malam terasa lebih berat dari biasanya, seakan membawa ketegangan yang tak kasat mata. Langkah kudanya yang biasanya disertai oleh suara gemerisik dedaunan kini terdengar terlalu jelas di tengah keheningan yang mencekam. Tidak ada kicauan burung malam, tidak ada suara binatang hutan yang bergerak di antara semak-semak—hanya keheningan yang terasa ganjil dan tidak alami.
Alcard memperlambat langkah kudanya, menajamkan pendengarannya sambil menyapu pandangannya ke sekeliling hutan. Setiap pohon yang menjulang tampak seperti bayangan gelap yang menyembunyikan sesuatu. Nalurinya sebagai seorang pejuang segera memberi peringatan. Ia menghentikan kudanya sepenuhnya, tangannya perlahan bergerak ke gagang pedangnya.
Kemudian, tanpa peringatan, dari bayangan pepohonan di sekelilingnya, sosok-sosok bersenjata mulai bermunculan. Awalnya hanya beberapa, tetapi dalam hitungan detik, jumlah mereka terus bertambah, hingga lebih dari dua puluh orang dengan perlengkapan tempur yang lengkap. Mereka bergerak dalam formasi yang rapi, menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar bandit biasa.
Salah satu dari mereka, yang tampaknya adalah pemimpin kelompok, melangkah maju. Ia mengenakan jubah gelap dengan armor ringan di dalamnya, wajahnya sebagian tertutup oleh tudung yang ia kenakan. Dalam genggamannya, sebuah pedang panjang yang tampaknya telah sering digunakan dalam banyak pertempuran. Suaranya dingin ketika ia berbicara.
"Serahkan benda itu," katanya tanpa basa-basi. "Jika tidak, kami tak akan segan membunuhmu di tempat ini."
Alcard tetap berdiri di atas kudanya, tubuhnya tetap tenang meskipun matanya waspada mengamati setiap gerakan lawan-lawannya. Ia tidak merespons dengan segera, membiarkan keheningan yang menegangkan menyelimuti mereka sejenak. Kemudian, dengan suara rendah, ia berbicara.
"Kalian bukan bandit biasa," gumamnya sambil menyapu pandangannya ke seluruh kelompok itu. "Siapa yang mengirim kalian? Apakah ini ulah Tharvin? Atau seseorang yang lebih besar dari dia?"
Tidak ada jawaban. Pemimpin kelompok itu hanya menatapnya tajam, kemudian mengangkat tangannya sebagai isyarat bagi anak buahnya untuk bersiap menyerang.
"Benda itu bukan milikmu, Outcast."
Ucapan itu seketika menyulut bara dalam hati Alcard. Wajahnya mengeras, ekspresinya berubah menjadi penuh kemarahan yang dingin. Dengan gerakan perlahan, ia turun dari kudanya, gerakannya penuh percaya diri, seakan tidak menganggap jumlah mereka sebagai ancaman. Jari-jarinya melingkar erat pada gagang pedang besarnya, cahaya bulan memantulkan kilatan tajam di bilah senjatanya.
"Kalian semua datang ke sini…" katanya dengan suara yang lebih rendah, hampir seperti bisikan mematikan. "Hanya untuk menjadi pelampiasan amarahku. Sungguh nasib yang malang."
Tanpa menunggu aba-aba, Alcard melesat lebih dulu. Dalam hitungan detik, tubuhnya bergerak cepat, menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Pedangnya menebas salah satu prajurit pertama yang mencoba menghunuskan senjatanya—armornya yang tebal tidak mampu menahan serangan itu. Darah menyembur, dan tubuhnya jatuh tanpa suara.
Kekacauan pun dimulai.
Para tentara bayaran berusaha mengepungnya, tetapi Alcard bergerak seperti bayangan—cepat, presisi, dan tanpa ampun. Setiap tebasannya membawa kematian, setiap langkahnya membawa kehancuran bagi lawan-lawannya.
"Kalian hanyalah pion-pion kecil dalam permainan orang-orang serakah," serunya di tengah pertempuran, suaranya bergema di antara pohon-pohon. "Bahkan kalian tidak tahu siapa yang kalian lawan."
Satu per satu, para penyerang mulai tumbang. Beberapa mencoba menyerangnya dari belakang, tetapi Alcard sudah memperhitungkan semua gerakan mereka. Dalam sekejap, ia berputar, menebas pedang seorang tentara bayaran hingga patah sebelum menendangnya dengan keras ke tanah.
Pemimpin kelompok itu tampaknya menyadari bahwa anak buahnya mulai kehilangan keberanian. "Bertahan!" ia berteriak, mencoba mengembalikan fokus pasukannya. Namun, ketakutan sudah menjalar di antara mereka.
Dengan gerakan cepat, Alcard berlari langsung ke arah pemimpin mereka. Pedangnya menghantam perisai besar yang dipegang pria itu, tetapi tidak berhenti di sana. Dengan cekatan, ia memanfaatkan momentumnya untuk menghantamkan lututnya ke perisai itu, menghancurkannya menjadi serpihan kayu dan logam. Pemimpin itu terjatuh ke tanah, luka parah di tubuhnya.
Alcard menatapnya dengan ekspresi dingin. "Katakan, siapa yang mengutus kalian?" desisnya. "Mungkin aku akan membiarkanmu hidup."
Pemimpin itu, meskipun terluka, hanya tersenyum tipis, seolah menyimpan rahasia yang tidak akan pernah ia ungkapkan. "Kau tidak akan pernah bisa melarikan diri dari bayang-bayang ini… Outcast," katanya dengan nada penuh teka-teki.
Dan sebelum Alcard sempat bereaksi, pria itu menarik belati kecil dari balik jubahnya dan tanpa ragu, menggorok lehernya sendiri. Darahnya mengalir di tanah, meninggalkan kebisuan yang lebih menegangkan dari sebelumnya.
Alcard berdiri di tengah medan yang dipenuhi mayat, menghela napas panjang. Hatinya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. "Siapa yang berada di balik semua ini? Dan seberapa jauh mereka akan pergi untuk mendapatkan fragment itu?" pikirnya.
Dengan ekspresi penuh tekad, ia menaiki kudanya kembali. Ia menatap medan pertempuran di belakangnya, membiarkan keheningan menyelimuti pemandangan berdarah itu.
"Kalau ini peringatan," gumamnya dingin, "aku akan menunggu langkah kalian berikutnya."
Tanpa membuang waktu lebih lama, ia memacu kudanya menuju The Wall. Ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai. Ancaman yang lebih besar telah muncul dari bayang-bayang, dan ia harus bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.
****
Setelah menempuh perjalanan panjang melintasi Middle Earth, Alcard akhirnya mencapai gerbang besar markas pusat The Wall. Debu perjalanan masih melekat di jubahnya, dan tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena jauhnya perjalanan, tetapi juga karena beban mental yang terus menghantui pikirannya sejak meninggalkan benteng Steelhammer. Namun, meski tubuhnya terasa berat, langkahnya tetap tegas saat ia melangkah melewati penjaga dan langsung menuju ke ruang kerja Oldman.
Oldman sudah menunggunya di sana, duduk di balik meja kayu yang kini dipenuhi dengan dokumen dan peta yang berserakan. Sorot matanya tajam, tetapi ada bayangan kekhawatiran yang jelas tergambar di wajahnya. Begitu Alcard masuk, tanpa membuang waktu, ia langsung mulai melaporkan apa yang terjadi di benteng Steelhammer.
Dengan nada dingin dan penuh kemarahan yang tertahan, Alcard menjelaskan bagaimana Tharvin Steelhammer, pemimpin Klan Steelhammer, telah menggunakan posisinya sebagai pemasok utama suplai logam dan senjata untuk The Wall sebagai alat pemerasan. Dengan ancaman memutus suplai, Tharvin memaksa Alcard untuk menyerahkan fragment hijau yang telah ia bawa sejauh ini.
"Dia tahu betapa kita bergantung pada suplai mereka," ujar Alcard, suaranya mengandung nada frustrasi yang jelas. "Dan dia tidak ragu menggunakan itu untuk memojokkanku."
Mendengar itu, Oldman langsung bereaksi. Tangannya mengepal kuat di atas meja sebelum akhirnya menghantam permukaannya dengan keras, membuat retakan kecil di kayu yang sudah tua. Matanya menyala dengan amarah yang jarang terlihat.
"Para Dwarf itu!" geramnya, suaranya bergema di ruangan. "Keserakahan mereka memang tak pernah berubah! Kita sudah terlalu lama berusaha menjaga hubungan baik dengan mereka, dan ini balasan yang kita dapatkan!"
Untuk beberapa saat, suasana di ruangan itu terasa berat. Oldman menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, sebelum memberi isyarat agar Alcard melanjutkan laporannya.
Tanpa ragu, Alcard mulai menceritakan apa yang terjadi dalam perjalanan pulangnya. Ia menjelaskan tentang penyergapan yang terjadi di tengah hutan, bagaimana ia dikepung oleh lebih dari dua puluh tentara bayaran yang tampaknya sudah menunggu di jalurnya. Mereka bukan sekadar bandit biasa—dari cara mereka bertempur, disiplin mereka, dan perlengkapan yang mereka bawa, jelas mereka berasal dari kelompok yang jauh lebih terorganisir.
"Yang tidak kita tahu adalah siapa yang mengirim mereka," lanjut Alcard. "Bisa saja Tharvin, Tanivar, atau mungkin seseorang yang bahkan lebih berbahaya daripada mereka."
Oldman terdiam sejenak, berjalan mondar-mandir di dalam ruangan sambil mencoba mencerna informasi yang baru saja ia terima. Wajahnya mengeras, menunjukkan bahwa pikirannya sedang bekerja keras untuk menghubungkan semua petunjuk. Setelah beberapa saat, ia berhenti dan menatap Alcard dengan tajam.
"Jika mereka sampai menyerangmu secara langsung, satu hal yang pasti," katanya dengan suara yang tegas. "Informasi tentang fragment sudah bocor. Seseorang di luar sana tahu bahwa kita memilikinya."
Alcard mengangguk perlahan, menyadari kebenaran dari kata-kata Oldman. "Mereka tahu fragment hijau itu ada. Mereka tahu kita ada di tengah permainan ini. Dan aku yakin, ini baru permulaan."
Oldman menarik napas dalam, menghela dengan berat seolah mencoba mempersiapkan dirinya untuk konsekuensi dari situasi ini. Wajahnya yang sudah dihiasi kerutan bertambah gelap, mencerminkan kekhawatiran yang kini semakin bertumpuk.
"Kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi lagi," katanya akhirnya. "Fragment bukan hanya ancaman bagi kita, tapi bagi seluruh dunia. Dan jika The Wall runtuh, tidak ada yang akan menghentikan kekacauan yang akan datang."
Ia mengusap wajahnya, tampak lelah bukan hanya karena beban tugasnya, tetapi juga karena menyadari betapa rumitnya situasi yang kini mereka hadapi. "Aku hanya bisa berharap Tharvin tak cukup bodoh untuk mencoba menggunakan fragment hijau itu."
Alcard tetap diam, tetapi dalam hatinya, ia tidak yakin dengan harapan itu. Jika ada satu hal yang ia pelajari selama ini, keserakahan selalu mendorong orang untuk melakukan hal-hal bodoh yang berujung pada kehancuran. Dan jika Tharvin benar-benar memiliki fragment sekarang, maka bencana hanyalah masalah waktu.
Tanpa banyak bicara lagi, Oldman kembali duduk, mulai menyusun rencana baru untuk mengatasi situasi ini. Sementara itu, Alcard berbalik, melangkah keluar dari ruangan. Saat ia membuka pintu, angin dingin malam menyambutnya, meniup jubahnya dengan lembut seakan menjadi peringatan bahwa ancaman yang lebih besar sedang mendekat.
Dalam hatinya, Alcard membuat sumpah. Tidak peduli seberapa besar kekuatan yang sedang bergerak di balik bayangan, ia tidak akan membiarkan mereka menghancurkan The Wall. Ia tidak akan membiarkan mereka mengambil apa yang masih bisa ia lindungi.
Dan ia akan melakukan apa pun untuk memastikan itu.
****