Bab 22

Beberapa hari telah berlalu sejak Alcard kembali ke The Wall, tetapi pikirannya tidak pernah benar-benar beristirahat. Rutinitasnya sebagai seorang outcast tetap berjalan seperti biasa—melatih rekrutan baru, memimpin patroli di sekitar perbatasan, serta memastikan persenjataan dan perlengkapan mereka tetap dalam kondisi terbaik. Namun, di balik semua itu, pikirannya terus dihantui oleh peristiwa di benteng Steelhammer dan fragment hijau yang kini berada di tangan para Dwarf.

Setiap kali ia mengangkat pedang dalam latihan atau berpatroli di sepanjang The Wall, ia selalu merasa ada sesuatu yang mengawasinya. Penyergapan yang ia alami di hutan masih terpatri jelas dalam ingatannya, seperti peringatan bahwa seseorang sedang mengincarnya. Mereka yang menginginkannya mati bukanlah sekadar kelompok bandit atau tentara bayaran biasa—mereka memiliki tujuan, strategi, dan informasi yang terlalu tepat untuk dianggap sebagai kebetulan.

Suatu pagi, saat matahari baru saja naik di cakrawala, seorang utusan datang memanggilnya. Oldman ingin bertemu dengannya segera. Tanpa banyak tanya, Alcard langsung menuju ruang kerja pemimpin The Wall, melewati lorong-lorong kayu yang tua dan rapuh.

Begitu ia masuk ke dalam ruangan, ia menemukan Oldman duduk di belakang mejanya yang dipenuhi dengan tumpukan surat, dokumen, dan laporan dari berbagai wilayah Middle Earth. Oldman tidak langsung menoleh, matanya masih terpaku pada selembar surat yang dipegangnya. Wajahnya menunjukkan ekspresi serius, seperti seseorang yang baru saja membaca kabar buruk.

"Kau datang di saat yang tepat," kata Oldman akhirnya, suaranya terdengar berat. Ia meletakkan surat itu di atas meja sebelum menatap Alcard. "Situasi di Jovalian semakin memburuk."

Mata Alcard sedikit menyipit, mendengar nama kerajaan yang telah lama ingin ia lupakan. "Apa yang sedang terjadi sekarang?" tanyanya dengan nada tenang, meskipun ada ketegangan yang samar dalam suaranya.

Oldman menarik napas dalam sebelum menjelaskan, "Perang saudara antara dua pangeran yang berebut takhta telah memasuki tahap baru. Kini, ada kelompok baru yang muncul, menamakan diri mereka 'Revolusioner'."

Alcard mendengar dengan saksama, tetap mempertahankan ekspresinya yang dingin. "Revolusioner?" ulangnya. "Apa tujuan mereka?"

"Mereka tampaknya bukan sekadar pemberontak biasa," lanjut Oldman. "Kelompok ini terdiri dari rakyat biasa yang sudah muak dengan perang, bangsawan rendah yang kecewa, serta mantan tentara yang merasa dikhianati oleh sistem kerajaan. Mereka tidak berpihak pada salah satu pangeran, melainkan ingin menggulingkan sistem monarki sepenuhnya."

Alcard tetap diam, tetapi pikirannya mulai menghubungkan potongan-potongan informasi. Revolusioner yang ingin menggulingkan monarki? Itu adalah perkembangan yang cukup mengejutkan, mengingat Jovalian telah berdiri selama berabad-abad dengan sistem kerajaan yang begitu kokoh. Namun, sebelum ia sempat mengutarakan pendapatnya, Oldman melanjutkan dengan nada yang lebih serius.

"Yang lebih mengkhawatirkan," kata Oldman, tatapannya semakin tajam, "informan kita melaporkan bahwa The Veil mungkin terlibat dalam kekacauan ini."

Ucapan itu membuat mata Alcard sedikit menyipit. Ia mengepalkan tangannya secara refleks. "The Veil?" gumamnya, suaranya hampir seperti geraman. Pikirannya langsung melayang kembali ke pertemuannya dengan Tanivar di menara kastil, ketika ia mendengar tentang bagaimana organisasi bayangan itu sedang mengincar fragment.

"Kalau benar The Veil terlibat," lanjutnya dengan nada lebih rendah namun penuh kewaspadaan, "maka ini bukan sekadar perang saudara biasa. Mereka pasti punya tujuan yang lebih besar daripada sekadar menggulingkan monarki."

Oldman mengangguk, ekspresinya semakin tegang. "Itulah yang menjadi kekhawatiranku. The Veil tidak pernah bertindak tanpa alasan. Mereka bekerja dalam bayangan, menarik tali dari kejauhan. Jika mereka benar-benar ada di balik Revolusioner, maka ini bukan hanya tentang takhta. Mereka mungkin memanfaatkan kekacauan ini untuk mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya."

Alcard tetap diam untuk beberapa saat, lalu akhirnya berkata dengan suara pelan namun mengandung kemarahan yang jelas, "Kerajaan itu layak runtuh."

Oldman menatapnya, membaca ekspresi dingin di wajah Alcard yang meskipun tampak tenang, menyimpan kebencian yang mendalam. Ia tahu bahwa dendam Alcard terhadap Jovalian lebih dari sekadar kebencian biasa—itu adalah luka yang belum pernah sembuh. Itu adalah ingatan tentang keluarganya yang dihancurkan oleh fitnah, tentang pengkhianatan yang mengubahnya menjadi seorang Outcast, dan tentang kehidupan yang direnggut darinya tanpa keadilan.

Namun, Oldman tidak ingin membahas itu lebih jauh. Dengan suara tenang namun tegas, ia berkata, "Aku mengerti perasaanmu, Alcard. Tapi perang ini bisa mengubah keseimbangan kekuatan tidak hanya di Middle Earth, namun seluruh ras manusia. Jika Jovalian jatuh dalam kekacauan, konsekuensinya akan meluas. Dampaknya akan terasa hingga ke The Wall."

Alcard tidak segera menjawab, hanya menatap ke arah jendela kecil di ruangan itu, di mana langit mulai terlihat lebih gelap, seolah mencerminkan gejolak di dalam dirinya.

Ia akhirnya mengangguk perlahan, tanda bahwa ia mengerti. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang perang sipil atau tentang The Veil. Ini juga tentang masa lalunya yang terus membayanginya, tentang dendam yang belum terselesaikan, dan tentang pertanyaan apakah ia bisa tetap berada di luar konflik ini tanpa terlibat lebih jauh.

Tanpa menambahkan kata lain, Alcard berbalik dan meninggalkan ruangan. Di luar, udara dingin menyambutnya, seakan mengingatkan bahwa ancaman yang lebih besar sedang menunggu di cakrawala.

***

 

Malam yang panjang telah berlalu, tetapi pikiran Alcard masih terus dipenuhi dengan bayangan masa lalu dan kekhawatiran akan masa depan. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan rutinitas harian, tetapi kegelisahan tetap menyelimutinya seperti bayangan yang tak bisa ia enyahkan. Saat seorang utusan datang mengantarkan panggilan dari Oldman, Alcard tahu bahwa perbincangan kali ini akan membawa sesuatu yang berat.

Tanpa banyak kata, ia melangkah menuju ruang kerja Oldman. Begitu pintu terbuka, suara berat Oldman langsung menyambutnya. "Aku sudah memikirkannya," katanya dengan nada yang tidak bisa disangkal—nada seorang pemimpin yang telah mengambil keputusan yang tak bisa diubah. "Sudah saatnya kau kembali ke Jovalian."

Langkah Alcard langsung terhenti. Matanya menatap Oldman, ekspresi wajahnya berubah dari datar menjadi tegang dalam sekejap. Ada campuran keterkejutan, penolakan, dan mungkin sedikit kemarahan dalam sorot matanya.

"Apa?" suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya, tetapi tekanan di balik kata-katanya begitu jelas. "Aku tidak mungkin kembali ke tempat itu."

Oldman tetap duduk dengan tenang, matanya tetap tertuju pada Alcard, memahami reaksi yang sudah ia perkirakan. "Aku tahu ini sulit," lanjutnya dengan suara lebih lembut. "Tapi kita tidak punya pilihan. Jika benar The Veil telah menyusup ke dalam perang ini, kita harus mengetahui apa rencana mereka sebelum segalanya terlambat."

Alcard tidak segera merespons, tetapi tangannya mengepal erat, menahan gejolak emosi yang mulai bangkit dalam dirinya. Ia telah menghabiskan bertahun-tahun mencoba melupakan tanah itu, tanah yang telah merenggut segalanya darinya. Namun kini, Oldman memintanya untuk kembali ke tempat yang telah mengubah hidupnya menjadi neraka.

"Kita sudah lama menjaga netralitas terhadap perang saudara di Jovalian," lanjut Oldman, suaranya tetap tegas. "Kita hanya mengambil misi yang berhubungan dengan pembasmian monster, tidak lebih. Tapi ini bukan lagi soal perebutan takhta antara dua pangeran yang haus kekuasaan. Jika The Veil berhasil mengendalikan kerajaan itu, mereka akan mendapatkan pijakan yang cukup kuat untuk mengancam seluruh Middle Earth yang sangat luas ini."

Alcard menghembuskan napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. "Jadi, kau ingin aku menyusup ke sana?" tanyanya akhirnya, suaranya penuh ketegangan. "Mencari tahu apa yang mereka lakukan?"

Oldman mengangguk mantap. "Ya. Ini bukan sekadar misi biasa. Informasi yang kau bawa dari sana bisa menjadi kunci untuk menyelamatkan kita semua."

Sejenak, keheningan memenuhi ruangan. Alcard menatap Oldman, menimbang segala kemungkinan. Ia tahu bahwa Oldman tidak akan meminta hal ini jika tidak benar-benar perlu. Dan jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa jika ia menolak, tidak ada orang lain yang bisa melakukan tugas ini sebaik dirinya.

Setelah beberapa saat yang terasa panjang, Alcard akhirnya berbicara dengan nada yang dingin namun penuh kepastian. "Baiklah. Aku akan pergi ke Jovalian. Tapi jangan berharap aku akan melupakan apa yang terjadi di sana."

Oldman tidak langsung menjawab, hanya menatapnya dengan sorot mata yang mencerminkan pemahaman mendalam. "Aku tidak meminta kau untuk melupakan," katanya akhirnya. "Aku hanya meminta kau melakukan apa yang perlu dilakukan, agar kita bisa bertahan."

Alcard tidak mengatakan apa-apa lagi. Dengan langkah berat, ia berbalik dan meninggalkan ruangan. Di sepanjang lorong, beberapa outcast yang berpapasan dengannya melirik penuh rasa ingin tahu, tetapi tak satu pun berani bertanya. Mereka tahu bahwa jika Alcard menunjukkan ekspresi sekeras itu, sesuatu yang serius pasti sedang terjadi.

Ia menuju kandang, tempat kuda hitamnya telah menunggu. Saat ia memasang pelana, pikirannya kembali dipenuhi dengan kenangan buruk tentang Jovalian. Ia ingat pengkhianatan yang menghancurkan segalanya, bagaimana ia difitnah atas pembunuhan putra mahkota, bagaimana keluarganya dihukum mati tanpa perlawanan, dan bagaimana ia menjadi buronan dalam satu malam.

"Tempat terkutuk itu," gumamnya, suaranya penuh kebencian saat ia menarik tali kendali kudanya dengan kasar.

Tanpa menoleh ke belakang, ia menaiki kudanya dan meninggalkan markas pusat The Wall. Angin dingin menerpa wajahnya saat ia melaju ke arah timur, menuju kerajaan yang paling ingin ia hindari—kerajaan yang telah merenggut segalanya darinya.

Langit tampak mendung, seolah mencerminkan beratnya beban yang ia bawa dalam perjalanannya. Alcard tidak tahu apa yang akan ia temui di Jovalian, tetapi satu hal yang pasti: ia tidak akan kembali sebagai orang yang sama seperti dulu.

****

 

Langkah kuda hitam Alcard berderap mantap di atas tanah yang mulai diselimuti embun malam. Perjalanan panjang melintasi Middle Earth telah membawanya ke jalanan sunyi yang dipenuhi bayangan pepohonan besar, dengan ranting-rantingnya yang seakan mengulurkan tangan di bawah cahaya remang bulan. Angin berbisik pelan, memainkan dedaunan yang berguguran, menciptakan irama melankolis yang berpadu dengan keheningan.

Di tengah ketenangan yang semu itu, pikirannya mulai dipenuhi oleh sesuatu yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Kenangan yang telah lama ia hindari kini kembali menghantui seperti bayangan yang tak bisa ia enyahkan.

"Jovalian," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan yang ditelan angin malam. Nama itu membawa gelombang perasaan yang bertabrakan di dalam dadanya—rasa sakit, amarah, kerinduan, dan kepedihan yang tak berujung.

Dulu, tempat itu adalah rumahnya. Tempat ia pernah berdiri dengan bangga sebagai komandan tertinggi, tempat ia mengabdikan hidupnya untuk melindungi rakyat dan rajanya. Ia masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana dirinya memimpin pasukan di garis depan, menghadapi ancaman demi ancaman demi memastikan keamanan kerajaan yang kini telah mengkhianatinya.

Salah satu kenangan yang muncul adalah misi besar di perbatasan Jovalian dan Kekaisaran Elf. Saat itu, hubungan antara manusia dan elf masih terjalin dengan kehormatan. Alcard memimpin pasukannya untuk menghancurkan sarang bandit yang selama ini mengganggu jalur perdagangan antara dua peradaban itu. Misi itu adalah bukti dari keahlian dan kejeniusannya dalam medan perang.

"Mereka seperti bayangan yang mematikan," gumamnya, mengingat bagaimana para elf bertarung di sisinya dengan keanggunan yang berbahaya. Kecepatan mereka, ketangkasan mereka, serta kemampuan mereka menari di antara musuh tanpa terdengar atau terlihat sebelum serangan terakhir mereka mendarat. Alcard selalu menghormati mereka—dan mereka pun menghormatinya.

Namun, kenangan itu hanyalah bagian kecil dari masa lalunya yang kini telah hancur. Ada sesuatu yang jauh lebih berharga yang pernah ia miliki di Jovalian, sesuatu yang lebih dari sekadar kejayaan militer atau kemenangan di medan perang.

Ia teringat saat kembali dari misi panjang, menemukan keluarganya menunggunya di depan rumahnya dengan senyum yang hangat. Putri kecilnya, dengan langkah kecilnya yang cepat, berlari ke arahnya, tertawa riang sambil melompat ke pelukannya.

"Ayah hebat!" suara kecil itu kembali bergema di benaknya, seperti hantu yang enggan pergi. Ia dapat merasakan kembali pelukan kecilnya yang penuh kehangatan, sesuatu yang telah lama hilang darinya.

Lalu ada istrinya—wanita yang selalu setia menunggunya pulang, yang selalu menyambutnya dengan kecupan lembut di pipi dan kata-kata yang menenangkan.

"Kau selalu membuat kami bangga, Alcard," suara itu terasa begitu nyata, seakan wanita itu masih berada di sisinya.

Tapi semua itu telah lama lenyap.

Alcard menghentikan kudanya, membiarkan angin malam menyelimuti dirinya dalam kesunyian. Ia menatap ke depan, tetapi matanya tidak benar-benar melihat jalanan di depannya. Yang ia lihat hanyalah bayangan-bayangan masa lalu yang kini terasa begitu dekat, begitu nyata, tetapi tak dapat ia sentuh.

"Dunia ini... telah menghancurkan segalanya," gumamnya dengan suara rendah, nyaris berbisik.

Tangannya mengepal di atas pelana, berusaha menahan gejolak yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia telah kehilangan terlalu banyak, dan tidak ada yang bisa mengembalikan apa yang telah diambil darinya.

"Aku harus melupakan ini," katanya, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Namun, ia tahu bahwa kenangan-kenangan itu tidak akan pernah benar-benar pergi. Mereka akan selalu ada di sana, bersembunyi di sudut pikirannya, menunggu untuk kembali menghantuinya di saat ia lengah.

Ia menarik napas panjang, berusaha mengendalikan dirinya. Tidak peduli seberapa dalam luka yang ia bawa, ia harus tetap maju. Ia masih memiliki misi yang harus diselesaikan, dan tidak ada ruang untuk kelemahan.

Dengan gerakan tegas, Alcard kembali menarik tali kendali kudanya, membuat hewan itu bergerak maju. Di tengah kegelapan hutan yang semakin dalam, ia terus melaju, membawa luka yang tak terlihat, membawa kenangan yang tak bisa ia hapus, dan membawa tekad yang semakin mengeras di dalam dirinya.

"Aku harus menyelesaikan ini," bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada dunia di sekitarnya.

Malam semakin pekat, dan Alcard terus melangkah ke dalamnya, menuju tanah yang telah menghancurkannya, tanah yang mungkin akan kembali menelan dirinya sekali lagi.

****

 

Langit kelam menggantung di atas Middle Earth, menyelimuti perjalanan panjang Alcard dengan suasana suram yang seolah mencerminkan hatinya yang dipenuhi bayangan masa lalu. Langkah kudanya menyusuri jalan berbatu yang sepi, hanya diiringi suara dedaunan kering yang berbisik diterpa angin malam. Namun, bukan keheningan yang mengganggunya—melainkan ingatan yang terus berputar dalam benaknya, membawa dirinya kembali ke masa ketika ia masih berada di puncak kejayaan.

Ia mengingat pertempuran besar antara Jovalian dan Edenvila—perang yang dipicu oleh perebutan wilayah strategis di perbatasan kedua kerajaan. Sebuah perang yang tak hanya menguji strategi dan kekuatan militer, tetapi juga kesetiaan dan pengorbanan mereka yang bertempur di garis depan.

"Perang itu adalah salah satu yang paling sulit," gumamnya pelan, membiarkan pikirannya mengembara ke masa lampau.

Dalam ingatannya, ia kembali melihat pasukannya yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan tentara Edenvila. Namun, ia tidak gentar. Dengan kecerdikan taktik yang telah ia asah selama bertahun-tahun, ia berhasil membalikkan keadaan. Ia menggunakan jebakan medan, serangan tak terduga, serta pengalihan strategi yang membuat musuh kehilangan arah.

Ketika kemenangan akhirnya diraih, ia berdiri di tengah medan perang yang berlumuran darah, menyaksikan bagaimana panji Jovalian masih tegak berkibar. Saat itu, Raja Jovalian sendiri yang datang ke hadapannya, membawa sebilah pedang pusaka yang diwariskan turun-temurun di keluarga kerajaan.

"Alcard, pedang ini bukan sekadar senjata. Ini adalah simbol kepercayaan kerajaan kepadamu," suara sang raja masih terngiang di telinganya, seolah waktu tak pernah berlalu.

Ia menerima pedang itu dengan penuh kebanggaan, merasa bahwa dirinya benar-benar telah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar kemenangan di medan perang. Dengan pedang itu pula, ia di kemudian hari juga memimpin delegasi Jovalian dalam perundingan damai dengan Edenvila.

"Kita telah melewati perang. Mari kita ciptakan perdamaian yang abadi," ucapnya saat itu kepada pemimpin militer Edenvila. Kata-kata yang ia ucapkan dengan harapan besar akan masa depan yang lebih baik.

Namun, kini kata-kata itu terasa seperti lelucon kejam.

"Perdamaian yang abadi? Dunia ini tidak pernah mengenal hal semacam itu," pikirnya getir.

Ia mengalihkan pandangannya ke langit malam, membiarkan pikirannya kembali ke sosok yang pernah menjadi sahabat terdekatnya—Kaelion Eryndor.

Kaelion adalah seorang elf tangguh dengan sikap percaya diri yang tak tergoyahkan, namun memiliki hati selembut sutra. Seorang pemanah ulung, cepat, dan nyaris tak terkalahkan dalam pertempuran. Ia bukan hanya sekutu, tetapi juga seorang sahabat yang setia.

Alcard teringat bagaimana Kaelion selalu hadir dalam pertempuran di perbatasan, membantu pasukannya di saat-saat paling genting. Kecepatan dan ketepatan panahnya sering kali menjadi penentu kemenangan, dan kehadirannya di medan perang membawa harapan bagi pasukan Jovalian.

Namun, lebih dari itu, Kaelion juga memiliki hubungan yang erat dengan keluarganya. Setiap kali Alcard kembali dari perang, Kaelion sering membawa hadiah kecil untuk putri Alcard—bunga langka dari hutan elf, perhiasan kecil yang dibuat dengan seni khas kaum elf, atau sekadar kisah-kisah dongeng yang selalu membuat putrinya tertawa.

"Kaelion bahkan lebih baik sebagai bibi untuk putriku, dibanding aku sebagai ayahnya," pikir Alcard dengan senyum getir.

Namun, seperti semua hal dalam hidupnya, kebahagiaan itu juga direnggut darinya.

Setelah kematian raja Jovalian, setelah putra mahkota tewas dalam konspirasi yang menghancurkan segalanya, hubungan antara manusia dan elf mulai retak kembali. Kaelion, yang merasa dikhianati oleh kejatuhan kerajaan yang ia hormati, memilih untuk menarik diri sepenuhnya. Ia kembali ke wilayah elf dan menutup pintu diplomasi dengan manusia.

Alcard tahu bahwa pengkhianatan di dalam istana telah merusak segalanya, termasuk kepercayaan yang dulu ia bangun dengan para elf. Ia tahu bahwa ia telah gagal menjaga apa yang pernah ia perjuangkan.

"Mereka sudah tidak percaya lagi kepada kita," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam angin malam.

Ia menarik napas panjang, mencoba menekan gejolak emosi yang terus membuncah dalam dirinya. Semua yang pernah ia banggakan, semua yang pernah ia lindungi, kini hanya menjadi serpihan kenangan yang berserakan di masa lalu.

"Semua yang aku perjuangkan telah hilang," katanya dalam hati, matanya menatap kosong ke depan.

Ia menggenggam tali kendali kudanya lebih erat, lalu tanpa ragu, memacu hewan itu lebih cepat. Seolah-olah dengan kecepatan itu, ia bisa melarikan diri dari semua bayangan yang terus menghantuinya.

Namun, ia tahu bahwa kenangan dan penyesalan itu tidak akan pernah bisa ditinggalkan. Mereka adalah bagian dari dirinya, beban yang harus ia pikul seumur hidup.

Langit yang semakin pekat menjadi saksi dari perjalanan Alcard yang tak hanya membawa tubuhnya ke tanah yang ia benci, tetapi juga membawa hatinya kembali ke luka lama yang belum sembuh. Ia hanya bisa berharap, ketika saatnya tiba, ia memiliki kekuatan untuk menghadapi segalanya.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya, ia akan menemukan jawaban atas semua yang telah ia kehilangan.

****