Bab 23

Langkah kaki kuda Alcard menggema di antara reruntuhan yang dulunya adalah desa yang penuh kehidupan. Kini, yang tersisa hanyalah puing-puing yang berserakan, tanah yang menghitam terbakar, dan keheningan yang menusuk. Ia menarik tali kekang kudanya perlahan, membiarkan hewan itu berjalan dengan tenang melewati sisa-sisa bangunan yang tak lagi berbentuk.

Matanya menyapu setiap sudut desa yang kini hanya dihuni oleh bayangan kehancuran. Dinding-dinding yang dulunya berdiri tegak kini retak dan roboh, atap-atap rumah telah hancur menjadi arang, sementara jalanan yang dulu dipenuhi suara tawa anak-anak kini sunyi, hanya menyisakan debu dan abu yang beterbangan ditiup angin.

"Hancur tanpa sisa," gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh bisikan angin yang menerbangkan serpihan arang dari bangunan yang terbakar.

Ia melanjutkan langkahnya, namun mendadak berhenti ketika matanya menangkap sesuatu di kejauhan. Di tengah tanah lapang yang hangus, tumpukan mayat yang telah dibakar masih mengepulkan asap samar. Bau daging yang terbakar menyengat, menyelimuti udara dengan aroma kematian yang menusuk hidung.

Dengan hati-hati, Alcard turun dari kudanya dan berjalan mendekati tumpukan itu. Langkahnya berat, seolah setiap jejak yang ia tinggalkan membawa luka baru di dalam hatinya. Ia berjongkok, mengamati sisa-sisa tubuh yang tak lagi dapat dikenali, hanya tulang-belulang dan serpihan daging yang tersisa.

"Mereka ini bukan prajurit. Bukan musuh. Hanya rakyat biasa," pikirnya, rahangnya mengatup erat, menahan amarah yang perlahan bangkit dari dalam dadanya.

Tangannya terulur, menyentuh abu yang masih hangat, merasakan sisa panas dari api yang telah memusnahkan mereka. Tidak ada kehormatan dalam kematian seperti ini, tidak ada alasan yang dapat membenarkannya. Hanya kekejaman buta yang ditinggalkan oleh perang saudara yang tidak mengenal belas kasihan.

"Rakyat jelata... mereka selalu menjadi korban pertama," gumamnya dengan nada getir, sebelum berdiri kembali. Angin bertiup, membawa abu dan debu yang beterbangan ke udara, seolah menyebarkan kisah penderitaan yang tidak akan pernah diceritakan oleh sejarah.

Ia kembali ke kudanya dan melanjutkan perjalanan, melewati desa-desa lain yang tersebar di wilayah Jovalian. Namun, di setiap tempat yang ia kunjungi, pemandangan yang ia temui tidak pernah berbeda. Desa-desa itu telah menjadi bayangan dari apa yang pernah ada, hanya menyisakan jejak kehancuran yang mencengkeram.

Bangunan yang runtuh, ladang yang terbakar, dan jalanan yang sunyi tanpa kehidupan. Di beberapa sudut, ia melihat mainan anak-anak yang tertinggal di atas tanah, perabotan yang hangus di dalam rumah-rumah yang roboh, dan pakaian yang terserak begitu saja, seakan ditinggalkan dalam pelarian yang panik. Setiap benda itu berbicara dalam kesunyian, menyimpan kisah tragis tentang kehidupan yang dipaksa berakhir terlalu cepat.

"Semua ini akibat dari ambisi buta para bangsawan rakus itu," pikirnya sambil mengepalkan tangannya erat. Ia merasakan kemarahan bercampur dengan kekecewaan menguasai dirinya, sebuah perasaan yang sudah lama ia pendam tetapi kini semakin sulit untuk diabaikan.

Dulu, saat ia masih menjadi komandan tertinggi, ia percaya bahwa perang memiliki aturannya sendiri. Bahwa meskipun darah harus tertumpah, rakyat tetap harus dilindungi. Tapi kini, tanpa pemimpin yang jelas, tanpa kehormatan di medan perang, perang saudara ini telah berubah menjadi pertunjukan kebiadaban, di mana yang kuat memangsa yang lemah tanpa ragu.

"Saat para bangsawan sibuk berebut kekuasaan, rakyat kecil yang menanggung akibatnya," katanya pelan, nada suaranya sarat dengan penyesalan dan kegetiran.

Kenangan masa lalunya kembali menghantuinya. Ia melihat dirinya di medan perang, berdiri di garis depan, mengangkat pedangnya untuk memimpin pasukan. Ia pernah berjuang untuk mempertahankan Jovalian, berperang bukan demi ambisi para bangsawan, tetapi demi orang-orang yang bergantung pada perlindungan pasukannya.

Tapi semua itu kini telah lenyap. Jovalian yang ia kenal sudah tiada. Yang tersisa hanyalah kehancuran dan abu.

"Ambisi yang buta... inilah hasilnya," gumamnya, sebelum memacu kudanya kembali ke jalanan sepi yang terbentang di hadapannya.

Ia meninggalkan desa yang hanya menyisakan reruntuhan dan kepedihan, tetapi beban yang ia bawa di hatinya tidak berkurang sedikit pun. Dengan tatapan yang tetap penuh beban, Alcard terus melangkah maju, membawa luka, kemarahan, dan kesadaran bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah masa lalu. Yang tersisa hanyalah jalan panjang ke depan, yang entah akan membawanya menuju kehancuran atau penebusan.

****

 

Langkah kuda Alcard bergema di atas tanah yang telah kehilangan kehidupannya, melewati hamparan reruntuhan yang dulunya adalah desa-desa makmur di Jovalian. Angin membawa aroma debu dan abu yang bercampur dengan bayangan masa lalu yang tak bisa ia hindari. Kenangan itu menyerangnya tiba-tiba, tanpa peringatan, menyeretnya kembali ke hari-hari terakhirnya sebagai Komandan Tertinggi Jovalian—ke sebuah misi diplomatik yang kini ia sadari sebagai awal dari kehancurannya.

Dalam ingatannya, ia kembali ke pertemuannya dengan Cevral Hamilton, sang Perdana Menteri Edenvila yang lebih dikenal sebagai penguasa sejati kerajaan itu. Pria tua itu memiliki aura yang begitu dingin dan mengintimidasi, matanya tajam dan penuh perhitungan, setiap gerakannya seperti sudah dirancang sejak lama. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar halus dan bersahabat di permukaan, tetapi di baliknya tersembunyi jebakan dan niat tersembunyi yang sulit diuraikan.

"Lelaki itu…" gumam Alcard dengan nada penuh kebencian. "Dia dalang di balik semua kekacauan ini."

Ia mengingat setiap detail pertemuannya dengan Cevral, bagaimana pria itu berbicara seolah menawarkan kerja sama yang menguntungkan bagi kedua kerajaan, padahal sesungguhnya, setiap kata yang ia ucapkan penuh dengan racun politik. Dalam pembicaraan mereka, satu nama terus disebut berulang kali—Drennal Faerwyn, politikus muda yang baru saja diangkat sebagai Perdana Menteri Jovalian, bukan karena kemampuannya, tetapi karena ia adalah boneka sempurna bagi Edenvila.

Drennal, dengan wajahnya yang selalu tersenyum ramah, adalah alat yang digunakan Cevral untuk mengendalikan kerajaan dari balik layar. Tidak butuh waktu lama bagi Alcard untuk memahami bahwa pria muda itu bukanlah pemimpin sejati, melainkan seseorang yang dengan senang hati membiarkan dirinya dimanipulasi. Dan yang lebih buruk lagi, ia mendukung penuh pengangkatan Pangeran Ketiga—seorang anak balita—sebagai raja baru Jovalian. Keputusan yang dengan jelas menguntungkan Edenvila, karena seorang anak tidak mungkin bisa memerintah sendiri tanpa dikendalikan oleh penasihat-penasihat yang telah dipilih dengan cermat.

"Jika saja aku tidak meninggalkan sisi raja..." pikir Alcard, hatinya terasa semakin berat. Ia ingat percakapan terakhirnya dengan Putra Mahkota, seorang pemimpin muda yang penuh dengan visi besar untuk Jovalian. Sang putra mahkota telah merencanakan untuk menyingkirkan Drennal begitu ia naik tahta, memastikan bahwa Jovalian tetap berdiri dengan kekuatan sendiri, bukan sebagai pion bagi kerajaan lain.

Tetapi rencana itu tak pernah terwujud. Raja meninggal dalam keadaan yang mencurigakan, dan tak lama setelahnya, sang putra mahkota dibunuh. Segala sesuatu yang telah dibangun runtuh dalam sekejap, dan Alcard, yang seharusnya berada di sana untuk melindungi mereka, justru terjebak dalam permainan politik di Edenvila. Ia tidak menyaksikan sendiri kejatuhan kerajaannya—ia hanya kembali untuk menemukan kehancuran, pengkhianatan, dan keluarganya yang telah dihancurkan oleh permainan kotor yang tidak ia sadari sejak awal.

Alcard mengepalkan tangannya, kukunya menekan telapak tangannya hingga terasa perih. Kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan adalah mempercayai sistem. Mempercayai bahwa keadilan akan berjalan dengan sendirinya. Bahwa mereka yang berusaha untuk melindungi akan mendapat perlindungan yang sama.

Tetapi dunia ini tidak bekerja seperti itu. Dunia ini hanya peduli pada siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih kejam, dan siapa yang mampu menarik benang di balik layar.

Ia memacu kudanya lebih cepat, melewati desa lain yang telah menjadi abu dan puing-puing, membawa amarah yang semakin membara dalam dadanya. Segala sesuatu yang ia lihat hanya memperjelas satu hal—Jovalian telah menjadi tanah tanpa pemilik, sebuah negeri yang dibiarkan terbakar oleh keserakahan dan ambisi orang-orang yang seharusnya melindunginya.

"Aku tak bisa mengubah apa yang telah terjadi," gumamnya, suaranya pelan, tetapi penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Tapi aku bisa memastikan mereka membayar untuk semua ini."

Matanya menatap lurus ke depan, tajam seperti mata pedang yang telah diasah selama bertahun-tahun. Ia tidak lagi memikirkan tentang keadilan atau apa yang benar dan salah. Semua itu telah lama kehilangan maknanya. Yang tersisa sekarang hanyalah niat untuk mengungkap kebenaran, membongkar dalang di balik semua ini, dan memastikan bahwa mereka yang telah menghancurkan segalanya tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk melakukannya lagi.

Ia terus melaju, meninggalkan reruntuhan di belakangnya, menuju masa depan yang dipenuhi dengan niat untuk menuntut balas atas segala yang telah direnggut darinya.

****

 

Di masa lalu, saat Alcard sedang dalam perjalanan pulang dari Edenvila setelah menjalankan tugas diplomatik—menyerahkan hadiah balasan untuk memperingati perdamaian antara kedua kerajaan—ia teringat percakapan terakhirnya dengan Cevral Hamilton.

Cevral, dengan sikapnya yang selalu penuh perhitungan, tampak kurang senang dengan cara Alcard menangani urusan diplomatik selama kunjungannya. Sikap tegas dan ketidaktertarikan Alcard terhadap politik tampaknya telah mengusik pria tua itu. Sebelum perpisahan mereka, Cevral menatapnya dengan senyum tipis, ekspresinya seakan menyembunyikan sesuatu.

"Semoga kau bisa menjaga rajamu dengan baik, Komandan Alcard. Bagaimanapun juga, dia adalah pilar utama negeri ini," ujar Cevral dengan nada yang terdengar halus, tetapi memiliki tekanan yang sulit diabaikan.

Alcard saat itu hanya menganggapnya sebagai sindiran politik biasa—sebuah ungkapan manipulatif khas seorang negarawan licik. Namun, kata-kata itu terus berputar di dalam kepalanya selama perjalanan kembali ke Jovalian. Ada sesuatu dalam cara Cevral mengatakannya yang membuatnya gelisah, meskipun ia tak bisa menjelaskan alasannya saat itu.

Saat malam menjelang, Alcard dan rombongannya menempuh perjalanan melewati jalur utama menuju istana. Namun, di tengah perjalanan, seorang utusan berkuda mendekat dengan tergesa-gesa, wajahnya pucat dan napasnya tersengal.

"Komandan! Berita buruk!" serunya, hampir kehilangan suaranya karena kelelahan. "Raja… telah meninggal di tempat tidurnya. Penyakitnya semakin memburuk, dan… dia tidak bisa diselamatkan."

Alcard merasakan dadanya menghantam kosong. Seketika, dunia di sekitarnya menjadi sunyi. Matanya menatap utusan itu dengan sorot tak percaya, sementara pikirannya berusaha mencerna kata-kata yang baru saja ia dengar. Namun, nalurinya segera mengambil alih. Tanpa ragu, ia memacu kudanya secepat mungkin, meninggalkan rombongannya tertinggal di belakang.

Sepanjang perjalanan, pikirannya berkecamuk. Raja memang telah sakit dalam beberapa bulan terakhir, tetapi dokter kerajaan terus meyakinkan bahwa kondisinya masih bisa dikendalikan. Kematian mendadak ini terasa janggal. Terlalu mendadak. Terlalu kebetulan.

Begitu tiba di istana, suasana terasa kelam. Seluruh bangunan diselimuti kesunyian yang menekan, dan para pelayan berjalan dengan wajah tertunduk. Tanpa membuang waktu, Alcard melangkah menuju kamar raja, tetapi sebelum ia bisa masuk, seorang pelayan yang tampak gugup menghadangnya di depan pintu.

"Komandan, mohon maaf, tapi… kau tidak diperkenankan masuk ke kamar raja," kata pelayan itu dengan suara gemetar.

Alcard menatapnya dengan tajam, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Apa maksudmu?" suaranya terdengar tajam. "Aku harus melihat sendiri! Di mana Putra Mahkota? Apa dia baik-baik saja?"

Pelayan itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan hati-hati, "Yang Mulia Putra Mahkota sedang menunggumu di ruangannya, Komandan."

Alcard merasa ada sesuatu yang janggal, tetapi ia memilih untuk tidak membuang waktu berdebat. Dengan langkah cepat, ia menuju ruangan sang Putra Mahkota, berharap setidaknya pewaris tahta masih dalam keadaan aman. Namun, saat pintu ruangan terbuka, pemandangan yang menyambutnya membuat napasnya tertahan.

Putra Mahkota tergeletak di lantai, tubuhnya bersimbah darah. Matanya kosong menatap langit-langit, sementara di sampingnya, sebuah pedang berlumuran darah tergeletak. Bukan sembarang pedang—pedang pendek pusaka kerajaan yang diberikan langsung kepada Alcard oleh raja sebagai tanda kepercayaan tertinggi.

Alcard membeku di tempat. Tubuhnya seakan kehilangan kemampuan untuk bergerak, sementara pikirannya bekerja dengan kecepatan tinggi, mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, ia langsung menyadari satu hal—ini adalah jebakan. Seseorang telah merencanakan ini dengan sangat rapi untuk menjadikannya kambing hitam.

"Drennal…" gumamnya lirih, menyebut nama Perdana Menteri muda yang didukung oleh Cevral Hamilton. Drennal adalah orang yang paling diuntungkan dengan kematian sang Putra Mahkota. Ia adalah boneka politik yang bisa dengan mudah dimanipulasi oleh pihak luar, dan jika ia berhasil menyingkirkan Alcard, maka tak akan ada lagi ancaman bagi kekuasaannya.

Namun, sebelum Alcard bisa bergerak atau melakukan sesuatu, suara panik seorang pelayan menggema di ruangan itu.

"Dia pembunuhnya!" teriak pelayan itu, wajahnya penuh kepura-puraan ketakutan. "Tangkap dia! Dia membunuh Putra Mahkota!"

Detik itu juga, derap kaki berat terdengar di koridor. Dalam hitungan detik, para penjaga istana bergegas masuk, mengepungnya dengan senjata terhunus. Mata mereka penuh dengan kemarahan dan kecurigaan.

Alcard berdiri diam di tengah ruangan, dikelilingi oleh penjaga yang bersiap menangkapnya. Ia tahu, seluruh dunia kini akan melihatnya sebagai pengkhianat. Semua jasa dan kesetiaannya selama ini telah dilenyapkan dalam satu malam, digantikan dengan tuduhan keji yang tak bisa ia sangkal tanpa bukti.

"Ini… akhir dari segalanya," pikirnya, merasakan kepedihan yang begitu dalam di dadanya. Namun, di balik keputusasaan itu, sebuah sumpah perlahan terukir di dalam hatinya. Ia tidak akan menerima ini begitu saja. Ia akan menemukan kebenaran, dan ia akan membalas mereka yang telah menghancurkan hidupnya.

Dengan rahang yang mengeras, Alcard mempersiapkan dirinya untuk melawan, karena ia tahu—jalan di depannya tidak akan mudah, tetapi ia tidak akan jatuh tanpa perlawanan.

****

 

Alcard duduk diam di bawah naungan pohon tua yang berdiri kokoh di tengah tanah yang gersang, jauh dari sisa-sisa reruntuhan desa yang telah menjadi abu. Keheningan menyelimuti tempat itu, memberinya kesempatan untuk mengatur napas setelah perjalanan panjang. Namun, bahkan dalam keheningan itu, pikirannya tetap bergejolak, dihantui oleh kenangan yang tak bisa ia usir begitu saja.

Ia menatap langit senja yang berwarna keemasan, berusaha menemukan ketenangan di antara cahaya yang perlahan meredup. "Jovalian bukan urusanku lagi," ucapnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, ia tahu bahwa kata-kata itu hanyalah sebuah kebohongan yang ia ciptakan demi mempertahankan kewarasannya. Seberapa pun ia berusaha menjauh, masa lalu tetap menjeratnya.

Bayangan Drennal Faerwyn kembali menyusup ke dalam pikirannya. Sosok pria itu, dengan senyum halus yang selalu menyembunyikan rencana licik di baliknya, masih menjadi hantu yang sulit ia usir. Seorang politikus cerdas yang tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dalam kekacauan.

Alcard mengakui kehebatan Drennal dalam hatinya, meskipun dengan rasa benci yang mendalam. "Dia seperti ular berbisa," pikirnya dengan getir. "Tak berbeda jauh dari Cevral."

Ia mengingat bagaimana Drennal pernah kehilangan dukungan dari Pangeran Kedua, pewaris tahta yang memiliki kekuatan militer dan pengaruh politik yang jauh lebih besar. Saat itu, banyak yang mengira bahwa hari-hari kejayaan Drennal telah berakhir. Ia digantikan oleh seorang komandan militer yang lebih disegani, dipaksa untuk mundur dari pusat kekuasaan. Namun, dengan kelicikan dan kesabaran yang luar biasa, Drennal tidak hanya kembali ke panggung politik, tetapi juga berhasil mengendalikan kerajaan dengan cara yang tidak pernah diduga siapa pun.

Dengan memanfaatkan Pangeran Ketiga—anak yang masih terlalu muda untuk memahami permainan kekuasaan—Drennal membentuk pemerintahan bayangan di balik kedok sebagai wali raja. Selama sebelas tahun terakhir, ia memastikan bahwa tidak ada satu pun pihak yang cukup kuat untuk merebut tahta dari tangannya. Ia membiarkan perang saudara berkecamuk, memainkan setiap faksi seperti bidak catur yang bisa ia singkirkan kapan saja.

"Dia tidak bisa diremehkan," pikir Alcard, rasa benci dan kekaguman yang tak terelakkan bercampur dalam hatinya. Tak peduli seberapa besar ia membencinya, ia tidak bisa menyangkal bahwa Drennal adalah seorang jenius dalam dunia politik.

Alcard menarik napas panjang, pikirannya kembali ke masa lalu, saat ia masih memiliki kepercayaan bahwa kekuatan dan kehormatan dapat melindungi Jovalian dari orang-orang seperti Drennal. Tapi nyatanya, kehormatan tidak cukup. Ia telah menyaksikan sendiri bagaimana para bangsawan memperjualbelikan kesetiaan mereka, bagaimana rencana yang telah disusun dengan cermat bisa dihancurkan hanya dengan satu pengkhianatan.

"Drennal dan Cevral... mereka seperti dua sisi koin yang sama," gumamnya lirih. "Keduanya tidak bertempur dengan pedang, tapi dengan kata-kata dan intrik, dan mereka lebih berbahaya daripada pasukan mana pun."

Ada bagian kecil dalam dirinya yang bertanya—jika ia memiliki setengah dari kecerdikan Drennal, akankah ia bisa menyelamatkan semua yang telah hilang? Akankah ia bisa mencegah kehancuran Jovalian? Atau setidaknya menyelamatkan istri dan putrinya?

Namun, Alcard tahu bahwa semua itu hanya penyesalan yang tidak ada gunanya. Tidak peduli seberapa dalam ia menyalahkan dirinya sendiri, masa lalu tidak bisa diubah.

"Jovalian sudah menjadi masa lalu," katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas, seolah-olah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia telah benar-benar meninggalkan semua itu. "Aku sekarang hanya seorang outcast, seorang penjaga The Wall. Itu sudah cukup."

Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa luka itu belum sepenuhnya sembuh. Dendam, kemarahan, dan rasa kehilangan masih ada di sana, tersembunyi di dalam bayang-bayang pikirannya, menunggu saat yang tepat untuk dilepaskan.

Saat mentari mulai tenggelam, meninggalkan semburat merah di langit, Alcard tetap duduk di sana, membiarkan angin malam membelai wajahnya. Ia ingin percaya bahwa ia telah meninggalkan masa lalu, tetapi bisikan dalam hatinya berkata sebaliknya—jika semua ini belum berakhir.

****