Bab 24

Setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan, Alcard akhirnya tiba di sebuah desa kecil yang tampak berbeda dari tempat-tempat lain yang telah ia lewati. Tidak ada bekas kehancuran, tidak ada bangunan yang runtuh atau terbakar, dan tidak ada bau kematian yang menyengat udara. Penduduk desa menjalani kehidupan mereka seolah-olah perang saudara yang telah melanda Jovalian tidak pernah menyentuh tempat ini.

Saat ia menuntun kuda hitamnya melewati jalan berbatu desa itu, beberapa penduduk melirik ke arahnya dengan tatapan penuh kehati-hatian. Mata mereka mengamati setiap gerakannya dengan waspada, seakan berusaha menilai apakah ia seorang ancaman atau hanya seorang pengelana biasa. Alcard, yang sudah terbiasa dengan kecurigaan seperti itu, tidak menghiraukannya dan terus berjalan menuju pusat desa, di mana sebuah pub kecil berdiri di antara rumah-rumah batu yang tampak masih kokoh.

Begitu ia mendorong pintu kayu pub itu, suara riuh para penduduk yang bercengkerama langsung memenuhi telinganya. Berbeda dengan tempat lain yang dipenuhi dengan aura putus asa, desa ini masih memiliki kehidupan yang normal. Para pria duduk mengelilingi meja-meja kayu, tertawa dan berbincang, sementara seorang musisi tua memainkan alat musik petik dengan nada lembut. Aroma bir dan roti hangat memenuhi udara, mengingatkan Alcard pada masa-masa sebelum perang mengubah segalanya.

Ia berjalan mendekati bar dan meletakkan beberapa koin emas di atas meja untuk menarik perhatian bartender, seorang pria paruh baya yang sibuk menuangkan minuman untuk pelanggannya. Bartender itu melirik koin dengan cepat sebelum menatap Alcard dengan penuh selidik.

"Aku butuh informasi," ujar Alcard dengan nada rendah namun tegas. "Kenapa desa ini tetap utuh, sementara desa-desa lain telah hancur?"

Bartender berhenti sejenak, lalu mengusap dagunya dengan ekspresi berpikir. Ia menatap Alcard lebih lama sebelum akhirnya berbicara, suaranya sedikit lebih pelan dari sebelumnya. "Desa ini berada di pinggiran Jovalian, dekat dengan perbatasan elf. Itu sebabnya tempat ini tetap aman."

Alcard menyipitkan mata, tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu. "Apa maksudmu?" tanyanya, mencoba menggali lebih dalam.

Bartender menghela napas sebelum melanjutkan. "Prajurit dari kedua belah pihak tahu lebih baik daripada mencari masalah dengan para elf. Mereka selalu mencari alasan untuk tidak memancing kemarahan kaum elf. Itu sebabnya tidak ada yang berani menyentuh desa ini," jelasnya.

Alcard mendengarkan dengan saksama, lalu mengambil beberapa koin tambahan dan meletakkannya di atas meja. Bartender, yang sudah terbiasa dengan sistem barter informasi semacam ini, tersenyum tipis sebelum melanjutkan.

"Kau mungkin melihat desa ini damai sekarang, tetapi ketenangan ini tidak akan bertahan lama," katanya dengan nada lebih serius. "Ada kelompok revolusioner yang mulai bergerak di sekitar wilayah ini. Mereka menjadikan desa-desa seperti ini sebagai tempat persembunyian mereka."

Alcard mengangkat alis. "Revolusioner?" ulangnya, tertarik dengan informasi baru ini. "Apa tujuan mereka?"

Bartender mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat dan berbicara dengan suara pelan. "Mereka berusaha mendapatkan dukungan rakyat," katanya. "Mereka berbicara tentang menggulingkan sistem lama dan membangun pemerintahan baru. Tetapi mereka cukup pintar untuk tidak terlibat langsung dalam perang saudara antara pangeran-pangeran itu dan bergerak di wilayah pinggiran seperti ini. Mereka bergerak di bawah bayangan."

Alcard terdiam sejenak, membiarkan informasi itu meresap dalam pikirannya. Kelompok ini bisa menjadi ancaman, tetapi juga sebuah peluang—sebuah celah untuk menghancurkan tatanan lama yang selama ini telah ia benci. Jika mereka benar-benar memiliki kekuatan yang cukup untuk menggulingkan rezim, mungkin mereka bisa menjadi alat yang tepat untuk menjungkirbalikkan Jovalian yang telah mengkhianatinya.

Setelah menghabiskan minumannya dengan tenang, Alcard bangkit dari kursinya. Ia meninggalkan pub tanpa berkata apa pun lagi, tetapi tatapan penuh curiga dari beberapa penduduk masih mengikutinya saat ia berjalan kembali ke kudanya. Mereka mungkin tidak tahu siapa dia, tetapi kehadirannya saja sudah cukup untuk menimbulkan kegelisahan di antara mereka.

Ia menaiki kudanya dengan sikap tak acuh, tidak memperdulikan tatapan penduduk yang masih tertuju padanya. Di dalam pikirannya, berbagai pertimbangan terus berputar.

"Aku harus memutuskan," gumamnya pada dirinya sendiri. "Apakah aku tetap tinggal untuk menyelidiki lebih jauh tentang revolusi ini, atau terus mencari jejak The Veil."

Dengan beban pikiran yang semakin berat, Alcard menarik tali kendali kudanya dan meninggalkan desa kecil itu. Jalanan sunyi yang membentang di hadapannya kembali membawanya menuju bahaya yang belum sepenuhnya ia pahami. Kini, ia membawa informasi baru—tentang revolusi yang sedang membara di tengah kekacauan Jovalian, sebuah kekuatan yang mungkin bisa menjadi sekutu atau justru musuh yang lebih berbahaya.

****

 

Setelah mendapatkan informasi dari bartender, Alcard mengambil keputusan untuk tidak terlibat langsung dalam konflik antara pangeran-pangeran Jovalian. Ia sadar bahwa memasuki lingkaran politik mereka hanya akan membawanya ke dalam perangkap penuh intrik dan pengkhianatan. Sebagai gantinya, ia memilih jalur yang lebih masuk akal—mendekati kelompok revolusioner yang disebut-sebut bersembunyi di hutan dekat perbatasan elf. Jika ada pihak yang memiliki perspektif berbeda mengenai kekacauan di Jovalian, maka kelompok ini adalah kandidat terbaik.

"Lebih baik bertemu mereka di hutan daripada terjebak dalam permainan para bangsawan rakus itu," gumamnya pelan.

Dengan hati-hati, ia menuntun kudanya keluar dari desa, menyusuri jalan setapak yang semakin tertutup oleh lebatnya pepohonan. Semakin dalam ia memasuki hutan, suasana berubah drastis. Udara menjadi lebih dingin, kabut tipis menyelimuti tanah, dan hanya suara dedaunan yang bergemerisik di tiup angin. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sekitarnya, hanya keheningan yang terasa mencurigakan.

Berjam-jam berlalu tanpa hasil. Alcard berkeliling, mencari jejak yang mungkin ditinggalkan oleh kelompok revolusioner. Namun, ia tidak menemukan jejak perkemahan, bekas api unggun, atau tanda-tanda aktivitas manusia lainnya. Jika kelompok ini memang ada, mereka benar-benar terlatih dalam menyembunyikan keberadaan mereka.

"Mereka jauh lebih berhati-hati dibandingkan pasukan pangeran kedua atau ketiga," pikirnya. "Setidaknya mereka tidak meninggalkan jejak perkemahan dan jejak kuda sembarangan."

Saat senja mulai menjelang, sebuah tanda akhirnya muncul. Asap tipis membubung dari balik pepohonan di kejauhan, nyaris tak terlihat di antara dedaunan lebat. Alcard memperlambat langkah kudanya, menajamkan pendengarannya. Tak lama, suara samar percakapan terdengar di kejauhan, menandakan keberadaan sekelompok orang.

Dengan langkah hati-hati, ia mendekati sumber suara. Begitu melewati semak-semak, ia melihat sekelompok orang berkumpul di sebuah area terbuka kecil. Beberapa dari mereka duduk mengelilingi api unggun, sementara yang lain tampak sedang mengasah senjata atau mengatur perlengkapan mereka. Dari cara mereka bergerak dan cara mereka berjaga, jelas bahwa ini bukan sekadar kelompok biasa—mereka adalah orang-orang yang telah terbiasa hidup di bawah ancaman.

Alcard menarik napas dalam, lalu memacu kudanya perlahan agar keberadaannya terlihat. Ia tahu bahwa mendekati mereka secara diam-diam hanya akan dianggap sebagai ancaman. Seperti yang ia duga, beberapa orang dalam kelompok itu langsung bereaksi begitu melihatnya. Mereka berdiri dengan cepat, mengangkat busur dan tombak, mengarahkan senjata mereka ke arahnya dengan kewaspadaan tinggi.

"Berhenti di sana!" teriak salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh tegap dengan janggut lebat. "Siapa kau?!"

Alcard berhenti, lalu dengan tenang membuka tudung kepalanya, memperlihatkan wajahnya. Mata merahnya yang khas sebagai Outcast segera menarik reaksi dari mereka—tatapan yang dipenuhi kebencian dan ketidakpercayaan. Namun, ia tetap menjaga ekspresinya tetap dingin dan terkendali.

"Aku Alcard, seorang Outcast dari The Wall," katanya dengan nada tenang. "Aku tidak datang untuk bertarung, hanya ingin berbicara."

Dari dalam kelompok, seorang pria dengan bekas luka panjang di wajahnya melangkah maju. Matanya penuh kecurigaan saat menatap Alcard. "Kami tidak butuh bantuan dari Outcast," katanya dingin. "Pergi dari sini."

Alcard tetap tenang, menepuk leher kudanya perlahan, mencoba menenangkan suasana. "Aku datang bukan sebagai musuh. Aku tahu kalian membenciku, dan aku tidak peduli. Aku hanya ingin informasi. Perang saudara di Jovalian semakin memburuk, dan aku pikir kalian perlu tahu apa yang terjadi dari sudut pandang pihak luar."

Beberapa orang dalam kelompok itu bertukar pandang, berdiskusi singkat dalam suara rendah. Ketegangan masih terasa di udara, tetapi Alcard bisa melihat bahwa mereka mulai mempertimbangkan kata-katanya. Mereka tahu bahwa seorang Outcast jarang terlibat dalam urusan kerajaan, dan jika Alcard benar-benar memiliki informasi, itu bisa berguna bagi perjuangan mereka.

Pria dengan bekas luka akhirnya berbicara lagi. "Kau mau apa di sini, Outcast?"

Alcard menatapnya tajam sebelum menjawab, "Aku hanya ingin informasi. Aku tidak peduli dengan perang antar pangeran. Aku hanya ingin tahu perkembangan terbaru di Jovalian, dan mungkin aku bisa memberikan perspektif yang berbeda."

Keheningan kembali menyelimuti kelompok itu. Beberapa orang masih menatapnya dengan penuh kecurigaan, tetapi sebagian lain tampaknya mulai mempertimbangkan kata-katanya.

Pria dengan bekas luka itu mendekat sedikit, matanya meneliti setiap gerak-gerik Alcard. "Tidak ada jaminan kau tidak akan membocorkan ini kepada salah satu pangeran," katanya, masih dengan nada tajam.

Alcard menghela napas panjang sebelum menjawab, "Percaya atau tidak, Outcast tidak bermain dalam politik seperti itu. Jika kalian tidak ingin bicara, aku akan pergi. Tapi menolak setiap peluang untuk mendapatkan sekutu mungkin bukan keputusan terbaik, terutama dalam situasi seperti ini."

Ia perlahan memutar kudanya, bersiap untuk pergi. Beberapa anggota kelompok itu tampak ragu, seakan ingin menahannya, tetapi pria dengan bekas luka memberi isyarat agar mereka membiarkannya.

"Biarkan dia pergi," katanya kepada rekan-rekannya. "Kalau dia berkhianat, kita tahu apa yang harus dilakukan."

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, Alcard mengarahkan kudanya menjauh dari perkemahan revolusioner itu. Ia bisa merasakan tatapan mereka masih mengikuti setiap langkahnya, penuh dengan kewaspadaan dan kecurigaan.

Saat ia meninggalkan area itu, pikirannya tetap dipenuhi pertimbangan. Meskipun tidak mendapatkan banyak informasi hari itu, setidaknya ia telah menemukan keberadaan kelompok revolusioner ini—dan itu sendiri sudah merupakan petunjuk berharga untuk langkah berikutnya.

"Setidaknya mereka tidak langsung menyerangku," gumamnya pelan, sambil menuntun kudanya melewati jalan setapak yang semakin gelap. "Mungkin aku bisa belajar lebih banyak tentang situasi ini tanpa harus terlalu dalam terlibat."

Dengan langkah yang mantap, Alcard meninggalkan perkemahan itu. Ia tahu bahwa perang di Jovalian bukan hanya tentang perebutan tahta. Di balik bayangan, kekuatan baru sedang berkembang, dan ia harus memahami di mana posisinya dalam semua ini—tanpa terperangkap dalam permainan politik yang ia benci.

****

 

Tanpa diduga, kelompok revolusioner yang awalnya menolak kehadiran Alcard kini kembali menyusulnya. Mereka tampaknya telah mempertimbangkan ulang keputusannya, atau mungkin mereka mulai menyadari siapa Alcard sebenarnya sebelum ia menjadi seorang Outcast. Meskipun dikelilingi oleh para prajurit yang menjaga jarak darinya dengan kewaspadaan tinggi, Alcard tidak memberikan perlawanan. Ia membiarkan dirinya dituntun melewati jalur hutan yang semakin dalam, tanpa bertanya, tanpa menunjukkan tanda-tanda perlawanan.

Seiring perjalanan, ia mulai menyadari sesuatu yang berbeda dari kelompok ini. Tidak seperti pasukan militer biasa yang sering ia temui, para revolusioner bergerak dengan senyap, menyatu dengan lingkungan mereka seolah-olah mereka adalah bagian dari hutan itu sendiri. Setiap langkah yang mereka ambil tidak meninggalkan jejak, dan bahkan suara mereka pun seperti tertelan oleh angin yang berhembus perlahan. Alcard memperhatikan bagaimana mereka menghindari ranting-ranting kering dan tanah yang berpasir untuk menghindari suara yang tidak perlu. Mereka bukan prajurit biasa—mereka memiliki keterampilan yang hampir menyerupai para elf yang ia kenal dalam legenda lama.

Setelah perjalanan yang terasa begitu panjang, mereka akhirnya tiba di sebuah markas tersembunyi di jantung hutan. Tidak ada tembok tinggi atau bangunan besar yang mencolok seperti benteng para pangeran, tidak ada menara pengawas atau bendera kerajaan. Sebaliknya, kamp ini seperti bagian dari hutan itu sendiri, menyatu dengan alam. Tenda-tenda dari kain kasar menyatu dengan pepohonan, dan jebakan-jebakan tersembunyi dipasang di sekeliling area untuk mencegah serangan mendadak. Semua itu menunjukkan betapa berhati-hatinya kelompok ini dalam menjaga keberadaan mereka.

Saat Alcard melangkah ke dalam kamp, ia mengamati bagaimana semuanya berjalan dengan efisiensi tinggi. Beberapa orang tampak membawa persediaan makanan dan air, yang lain merawat senjata dan peralatan mereka, sementara sekelompok kecil berlatih bertarung dalam keheningan, tanpa aba-aba keras seperti pasukan biasa. Namun, meskipun aktivitas mereka terorganisir dengan baik, ada ketegangan yang menggantung di udara—dan ketegangan itu semakin terasa saat mereka menyadari siapa yang baru saja dibawa masuk ke markas mereka.

Tatapan penuh kebencian langsung tertuju pada Alcard. Bisik-bisik merendahkan mulai terdengar di antara para prajurit, dan suasana yang tadinya hanya tegang kini berubah menjadi penuh permusuhan.

"Outcast," kata itu terlontar dari mulut mereka seperti racun, disertai dengan sorot mata yang tidak menyembunyikan penghinaan. Bagi mereka, Alcard bukan sekadar orang asing, tetapi simbol dari sesuatu yang mereka benci—seorang pengkhianat, manusia buangan yang tak pantas dihormati, bahkan oleh mereka yang melawan sistem yang sama.

Langkahnya terasa semakin berat saat tatapan itu terus menghujamnya. Beberapa prajurit bahkan berdiri, tangan mereka sudah berada di gagang senjata masing-masing, seolah hanya menunggu alasan untuk menghunusnya. Alcard tidak memberikan reaksi apa pun. Ia tetap berjalan dengan tenang, meskipun di dalam dirinya, kemarahan mulai menggelegak. Ini bukan pertama kalinya ia diperlakukan seperti ini. Tidak peduli apa yang telah ia lakukan, tidak peduli siapa dirinya dulu, dunia luar selalu melihatnya sebagai Outcast, manusia yang tidak memiliki tempat di mana pun.

"Tendang dia keluar dari sini!" suara lantang seorang pria mendominasi keributan. Seorang prajurit bertubuh kekar melangkah maju, wajahnya memerah karena kemarahan yang jelas. "Dia tidak pantas ada di sini! Kita tidak butuh bantuan dari manusia yang sudah menyerahkan dirinya pada monster!"

Alcard tetap diam, meskipun kata-kata itu menggores harga dirinya. Ia sudah terbiasa mendengar hinaan seperti ini. Ia tahu bahwa dalam situasi seperti ini, setiap respons yang salah hanya akan memperburuk keadaan. Namun, sebelum suasana semakin memanas, suara langkah kaki lembut menghentikan segala perdebatan.

Dari sisi lain kamp, seorang wanita muncul. Rambut hitam pekatnya terurai hingga pinggang, kontras dengan mata birunya yang tajam dan penuh wibawa. Ia mengenakan pakaian perang sederhana, tanpa hiasan atau tanda pangkat mencolok, namun cara dirinya membawa diri sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ia bukan prajurit biasa. Seiring langkahnya mendekat, bisik-bisik di antara para pasukan mulai mereda, dan para prajurit yang tadinya bersikap agresif terhadap Alcard perlahan menurunkan ketegangan mereka.

Alcard menatap wanita itu, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, keterkejutan melintas di wajahnya. Meski hanya sekejap, ia tidak bisa menyembunyikannya.

"…!"

Itu adalah Anna Vaelia—mantan wakil komandan yang dulu pernah bertugas di bawahnya saat ia masih menjadi Komandan Tertinggi Jovalian. Salah satu orang yang paling ia percayai. Seorang prajurit yang cerdas dan setia, yang pernah berdiri di sampingnya dalam pertempuran besar, dan yang ia anggap sebagai salah satu rekan terdekatnya. Namun, setelah dirinya dijebak dan diasingkan, kabar terakhir yang ia dengar adalah bahwa Anna mengundurkan diri dari posisinya, meninggalkan dunia militer setelah pertikaian besar antara Pangeran Kedua dan Perdana Menteri Drennal terjadi.

Anna melangkah semakin dekat, mengabaikan tatapan curiga dan bisik-bisik di sekelilingnya. Matanya tetap tertuju pada Alcard, tidak ada kemarahan di sana, tidak ada penghinaan seperti yang ditunjukkan para prajurit lain. Hanya keheranan, dan mungkin—sedikit nostalgia yang tersimpan di dalamnya.

"Alcard," katanya akhirnya, suaranya tenang namun cukup kuat untuk menghentikan semua suara di sekitar mereka. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Alcard tidak segera menjawab. Ia hanya menatap balik, membaca ekspresi wanita itu dengan hati-hati. Bagi orang lain, ini mungkin hanya pertemuan biasa, tetapi bagi Alcard, ini lebih dari sekadar pertemuan tak terduga. Ini adalah bagian dari masa lalunya yang kembali menghampirinya, sesuatu yang selama ini ia coba lupakan.

Di dalam dirinya, ia merasa sedikit kelegaan di tengah kebencian yang selalu mengejarnya. Namun, ia juga tahu bahwa pertemuan ini hanya akan membawa lebih banyak pertanyaan—pertanyaan yang bahkan mungkin ia sendiri tidak siap untuk menjawabnya.

****

 

Alcard duduk di salah satu kursi kayu yang sederhana di dalam ruang kerja Anna, matanya dengan tenang menyapu sekeliling ruangan. Tenda ini lebih kecil dari yang ia bayangkan, tetapi sangat terorganisir. Meja kerja yang kokoh terbuat dari kayu tua dipenuhi dengan berbagai dokumen dan peta yang digelar, sementara lilin-lilin kecil yang menyala redup menambahkan suasana temaram di dalamnya. Di salah satu dinding tenda, tergantung selembar kain kasar yang tampaknya menjadi lambang pasukan revolusi. Tidak ada hiasan yang berlebihan, tidak ada kemewahan, hanya tempat kerja seorang pemimpin yang terbiasa hidup dalam keadaan perang.

Anna berdiri di dekat meja, tangannya bertumpu pada permukaan kayunya yang kokoh, matanya yang tajam mengamati Alcard dengan sorot yang sulit diartikan. Ada campuran berbagai emosi dalam pandangannya—rasa ingin tahu, ketegasan, dan sesuatu yang tampak seperti kesedihan yang dalam.

"Dia bukan hanya anggota biasa di sini," pikir Alcard. "Dia pemimpin mereka, atau setidaknya salah satu tokoh terpenting dalam kelompok ini."

Anna menarik napas panjang sebelum berbicara, suaranya tetap tenang namun ada ketegangan yang tersembunyi di baliknya. "Kau tahu, Alcard," katanya akhirnya, "aku selalu menyayangkan keputusanmu di masa lalu. Kau terlalu setia pada rajamu. Kesetiaan itu, meskipun mengagumkan, adalah apa yang menghancurkanmu. Kesetiaanmu dab loyalitasmu pada kerajaan membiarkan dirimu dimanfaatkan oleh Drennal, dan akhirnya, mereka menjebakmu sebagai pembunuh Putra Mahkota… Althar Jovalian."

Alcard tidak segera merespons. Ia hanya menatap Anna dengan mata yang tampak lelah, seolah kata-kata itu sudah terlalu sering ia dengar, terlalu sering ia pikirkan sendiri di dalam pikirannya yang terus dihantui masa lalu. Ia tahu, tidak ada yang salah dalam pernyataan itu. Itu adalah kebenaran yang ia coba lupakan, tetapi tidak pernah bisa benar-benar hilang.

"Aku sudah selesai dengan politik busuk Jovalian," katanya akhirnya, suaranya datar, tanpa emosi, tetapi tetap dingin seperti es.

Anna menghela napas, matanya melunak sedikit, tetapi tetap membawa kesan penuh penyesalan. "Aku tahu," katanya pelan. "Dan aku tidak menyalahkanmu. Tapi kau harus tahu ini, karena meskipun aku menyayangkan keputusan-keputusanmu, aku tidak pernah berhenti menghormatimu."

Alcard mengerutkan kening mendengar kata-kata itu. Ia tidak mengerti maksud Anna, dan sebelum ia sempat bertanya, wanita itu sudah melanjutkan.

"Aku menyukaimu, Alcard," katanya, lebih lembut dari sebelumnya, tetapi dengan keteguhan yang tidak dapat disangkal. "Selalu begitu. Dan aku bersyukur kau tidak dijatuhi hukuman mati saat itu. Jika mereka membunuhmu... aku tidak tahu apa yang akan kulakukan lagi."

Alcard terdiam. Kata-kata itu membuatnya kehilangan kata-kata, sesuatu yang jarang terjadi padanya. Ia tidak terbiasa mendengar hal semacam ini, terutama setelah bertahun-tahun hidup sebagai Outcast yang hanya menerima kebencian dan hinaan dari semua orang. Untuk pertama kalinya, ia merasa sesuatu yang mirip dengan kehangatan menyelinap masuk ke dalam dadanya, tetapi ia tidak tahu bagaimana menanggapinya.

Anna tersenyum tipis, tetapi itu bukan senyum bahagia, melainkan getir. "Itulah alasan aku mundur dari jabatan wakil komandan tertinggi setelah kau diasingkan ke The Wall," katanya, suaranya nyaris seperti bisikan. "Aku tidak bisa lagi berdiri di sisi Drennal, atau melayani raja yang sudah menjadi terbutakan karena dendamnya. Aku tidak bisa berpura-pura tidak melihat apa yang terjadi."

Alcard masih diam, membiarkan Anna melanjutkan.

"Jadi aku pergi," lanjutnya. "Sejak saat itu, aku mencurahkan segalanya untuk mencari cara menghancurkan Drennal."

Alcard menatap Anna dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada sesuatu dalam dirinya yang mengapresiasi keputusan wanita itu, tetapi pada saat yang sama, ia merasa lelah mendengar cerita tentang politik dan perebutan kekuasaan yang tiada habisnya. Ia pernah terjebak dalam dunia itu, dan ia tahu bagaimana semuanya berakhir.

"Dan?" Alcard akhirnya berbicara, meskipun suaranya terdengar lebih seperti gumaman. "Apa kau berhasil?"

Anna menggeleng pelan. "Belum," jawabnya jujur. "Tapi aku tahu apa yang sedang terjadi. Drennal kini sepenuhnya mengendalikan Pangeran Ketiga, Calren Jovalian. Anak itu masih muda, mudah dipengaruhi, dan hanya menjadi alat bagi Drennal untuk mempertahankan kekuasaannya."

Alcard mendengus kecil, sama sekali tidak terkejut dengan apa yang ia dengar. "Jadi tidak ada yang berubah," katanya sinis. "Drennal tetap ular berbisa seperti biasanya."

Anna tidak membantahnya. Namun, sorot matanya sedikit berbinar dengan semangat ketika ia berkata, "Tapi ada harapan kecil."

Alcard menaikkan alisnya. "Harapan?" tanyanya skeptis.

"Pangeran Kedua, Rhegar Jovalian," kata Anna. "Dia mungkin bisa menjadi jalan untuk menggulingkan Drennal. Dan yang lebih penting, Jenderal Gael Draven—orang yang dulu diangkat oleh Drennal untuk menggantikanmu—kini telah berbalik mendukung Pangeran Kedua."

Alcard langsung merasakan kepahitan menjalar di hatinya saat mendengar nama itu. Gael Draven. Pria yang pernah ia bimbing, ia latih, seseorang yang dulu ia percaya, tetapi pada akhirnya dipilih oleh Drennal untuk mengambil alih posisinya sebagai komandan tertinggi. Kepercayaan yang pernah ia miliki terhadap Gael lenyap sejak pengkhianatan itu.

"Gael?" Alcard bertanya dengan nada penuh skeptisisme. "Apa dia tidak akan berkhianat lagi seperti yang dia lakukan padaku?"

Ya, alcard mengetahui hal itu juga dari Anna, pasca ia telah dijebloskan ke penjara. Dan juga, alasan kenapa ketiga murid terbaiknya ini tak bergerak, karena mereka terpengaruh oleh tipu daya Gael, yang malah menjadikan orang itu mendapatkan posisinya dahulu.

Anna menatapnya dengan serius. "Aku tidak tahu pasti," katanya jujur. "Tapi sejauh ini, dia tampaknya memiliki niat yang tulus untuk mendukung Pangeran Kedua. Drennal telah membuat banyak kesalahan, dan Gael menyadari itu."

Hening sejenak mengisi ruangan. Hanya suara lilin yang berderak kecil yang terdengar, sementara Alcard merenungkan semuanya. Ia menundukkan kepalanya, menatap kosong pada permukaan meja kayu di depannya.

"Aku tidak yakin ini akan berhasil, Anna," katanya akhirnya, suaranya terdengar letih. "Politik Jovalian sudah hancur. Segala yang pernah aku bangun sudah lenyap. Tidak ada yang tersisa untuk diperjuangkan."

Anna melangkah mendekat, meletakkan tangannya di atas meja, mencoba menarik perhatian Alcard. "Tapi kau masih bisa membuat perbedaan, Alcard," katanya dengan penuh keyakinan. "Mungkin kau tidak peduli lagi dengan Jovalian, tapi kau tahu betapa besar dampak kehancuran kerajaan ini terhadap seluruh Middle Earth, yang selalu menopang ekonomi, politik, dan persebaran kekuatan The Wall. Jika Drennal dan para bangsawan tidak dihentikan, dunia akan jatuh dalam kekacauan yang lebih besar."

Alcard menghela napas panjang, matanya bertemu dengan milik Anna, yang kini dipenuhi dengan keteguhan. Untuk sesaat, ia merasakan keraguan menyusup ke dalam dirinya, tetapi ia juga tahu bahwa kata-kata Anna memiliki kebenaran di dalamnya.

"Aku tidak berjanji apa-apa, Anna," katanya akhirnya. "Tapi aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan. Bukan untuk Jovalian, bukan untuk para pangeran. Tapi untuk memastikan bahwa Drennal tidak menyebarkan racunnya lebih jauh."

Anna mengangguk, dan kali ini, ada kelegaan di wajahnya. "Itu sudah cukup bagiku," katanya, suaranya lebih lembut, saat matanya mentap kedinginan yang tak mendasar di mata merah Alcard.

Lalu, ciuman membara Anna luncurkan untuk mengakhiri percakapan serius mereka, membuka lagi perasaan yang telah terkubur begitu lama.

"Maafkan aku, karena tak pernah mengunjungimu," ujar Anna lirih, menatap penuh arti.

"Aku tak membutuhkan itu."

Senyuman manis itu berlanjut dengan ciuman mesra yang kembali terjadi untuk menghangatkan malam yang dingin di tengah hutan ini. Sesuatu yang lebih besar telah dimulai di malam yang penuh gariah itu.

****

 

Malam semakin larut, menyelimuti markas pasukan revolusi dalam keheningan yang hampir total. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah langkah-langkah para penjaga yang berpatroli di kejauhan, mengawasi kegelapan yang mungkin menyembunyikan ancaman. Di dalam tenda Anna, cahaya lilin yang redup menari di dinding, menciptakan bayangan yang bergerak perlahan seiring dengan kobaran api kecil yang berkelip-kelip. Aroma kayu bakar dan embusan angin malam yang masuk dari celah kain tenda menambah suasana tenang namun sarat dengan ketegangan yang tersembunyi.

Alcard yang bertelanjang dada tengah duduk di tepi ranjang kayu sederhana yang ada di sudut ruangan, lengannya bersandar pada lututnya sementara tatapannya terpaku pada cahaya lilin yang bergetar di meja. Pikirannya mengembara jauh, namun tetap tak bisa lepas dari kenyataan yang menunggunya. Di sisi lain ruangan, Anna berdiri diam di dekat jendela tenda yang terbuka, menatap ke luar dengan sorot mata yang sulit diartikan. Gaun tipisnya yang sederhana berayun perlahan mengikuti pergerakan tubuhnya, siluetnya tampak kuat namun rapuh dalam keheningan malam.

"Seandainya aku bisa," suara Anna akhirnya terdengar, nyaris seperti bisikan yang menyatu dengan hembusan angin. "Aku ingin berada di sisimu, Alcard. Menjadi seorang outcast, hidup di The Wall, menghadapi apa pun yang ada di sana bersamamu. Tapi aku tahu... aku tidak bisa."

Alcard menoleh perlahan, menatap punggung Anna dengan sorot mata yang menyimpan banyak hal—keraguan, kelelahan, dan mungkin sedikit penyesalan yang tak terungkap. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebelum kata-kata itu bisa keluar, Anna mengangkat satu tangan, memberi isyarat agar ia tidak menyela.

"Kau tahu kenapa aku tidak bisa, bukan?" lanjutnya, suaranya kali ini lebih tenang namun masih mengandung beban emosi yang mendalam. "Drennal. Dia mencengkram Jovalian lebih erat dari yang pernah kubayangkan. Sebelas tahun, Alcard... Sebelas tahun sejak kau pergi. Singasana kosong itu, dia kendalikan dengan sempurna, tanpa rasa takut, tanpa ada yang bisa menantangnya secara langsung. Jika aku menyerah, jika aku memilih meninggalkan semua ini demi keinginanku untuk mengikuti jejakmu... maka tidak akan ada yang tersisa untuk melawan dia. Tidak akan ada yang bisa menghentikannya."

Alcard menundukkan kepalanya. Ia tahu betul bahwa apa yang dikatakan Anna benar. Ia telah mencoba menghindari kenyataan ini, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang terjadi di Jovalian bukan lagi urusannya. Namun, kenyataan itu terus mengejarnya, tak peduli seberapa jauh ia mencoba melarikan diri.

Anna akhirnya berbalik, berjalan mendekatinya, lalu duduk di sampingnya. Jarak mereka begitu dekat hingga Alcard bisa merasakan hangatnya kehadiran wanita itu. Dengan gerakan lembut, Anna mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Alcard, memaksa pria itu untuk menatap langsung ke dalam matanya. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang telah lama ia pendam, sesuatu yang mungkin tidak pernah benar-benar bisa diungkapkan sepenuhnya.

"Aku ingin kau tahu," bisiknya, nadanya begitu lembut, nyaris rapuh. "Aku tidak pernah berhenti mencintaimu, meskipun aku tahu kau tidak akan pernah bisa benar-benar kembali padaku."

Alcard tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Anna dalam-dalam, membiarkan keheningan berbicara lebih dari kata-kata. Dalam momen itu, ia tidak lagi seorang outcast, tidak lagi seorang prajurit yang dikhianati, atau seseorang yang membawa beban masa lalu yang tak tertahankan. Dalam momen itu, ia hanya Alcard—seseorang yang juga pernah memiliki tempat untuk pulang, seseorang yang pernah dicintai.

Perlahan, tanpa kata-kata, ia menarik Anna ke dalam pelukannya. Tidak ada yang perlu dijelaskan, tidak ada yang perlu dibicarakan. Mereka hanya duduk di sana, berbagi kehangatan dalam keheningan, membiarkan dunia yang kejam ini untuk sesaat saja menghilang dari pikiran mereka. Dalam sekejap itu, luka-luka lama seolah tak terasa, pengkhianatan dan peperangan seolah lenyap. Yang tersisa hanyalah keintiman yang begitu langka di antara dua orang yang pernah dipisahkan oleh keadaan.

Setelah malam yang panjang dalam kebersamaan yang tak terungkapkan, Anna berbaring di samping Alcard, wajahnya tenang namun pikirannya masih jauh mengembara. Ia menghela napas perlahan, lalu berbicara dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya, hampir seperti sebuah pengakuan yang telah lama ingin ia sampaikan.

"Perang sipil ini, Alcard... perang ini telah menghancurkan begitu banyak kehidupan," suaranya terdengar berat, penuh kepedihan yang nyata. "Aku melihat desa-desa yang terbakar, anak-anak yang kehilangan orang tua mereka, rakyat yang menderita tanpa pilihan. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Itulah sebabnya aku memimpin pasukan ini."

Anna berbalik, menatap wajah Alcard yang kini tampak tenang di bawah redupnya cahaya lilin. "Feren Dalryn membantuku," lanjutnya. "Dia mengikuti jejakmu, kau tahu? Dia mengagumimu lebih dari siapa pun. Bahkan setelah kau diasingkan ke The Wall, dia tetap percaya padamu. Bersamanya, aku mulai mengumpulkan orang-orang, melatih mereka, memberi mereka harapan bahwa kita bisa menghancurkan kedua belah pihak ini—Pangeran Kedua maupun Pangeran Ketiga. Tidak ada di antara mereka yang layak untuk memimpin Jovalian."

Alcard menghela napas panjang. Ia menatap langit-langit tenda dengan ekspresi kosong, pikirannya berkelana ke arah yang sulit ditebak. "Aku tidak bisa berkomentar tentang itu, Anna," katanya akhirnya, suaranya terdengar datar. "Atau bertindak apa pun. Aku sudah terikat dengan The Wall, dengan sumpahku sebagai outcast. Misi yang kubawa ke sini bukanlah untuk menghancurkan Drennal, atau untuk ikut campur dalam perang ini. Aku hanya mencari jejak The Veil."

Anna terdiam. Sorot matanya menunjukkan sedikit kekecewaan, meskipun ia sudah menduganya. Ia tahu, apa pun yang ia harapkan dari Alcard, pria itu telah berubah. Luka-luka yang ia bawa terlalu dalam, dan ia kini adalah orang yang berbeda dari pria yang dulu ia kenal. Meski begitu, ada sesuatu yang masih ingin ia tanyakan.

"Aku mengerti," katanya akhirnya, meskipun suaranya terdengar sedikit berat. "Tapi jika waktunya tiba, aku harap kau akan berpihak pada rakyat, Alcard. Setidaknya sekali lagi."

Alcard tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Anna dengan ekspresi yang sulit diartikan, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya kembali ke lilin yang hampir padam di meja.

Di dalam keheningan itu, mereka berdua tahu bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Akan ada pertempuran yang lebih besar, keputusan yang lebih sulit, dan jalan yang harus mereka pilih. Tetapi untuk malam ini, mereka hanya dua jiwa yang saling memahami, berbagi waktu di tengah dunia yang terus berubah tanpa ampun.

****