"Aku sudah putuskan, aku akan membunuh satu persatu saja."
***
"Pen... ada apa?" Ibunya menjadi terdiam menatap bulpen itu, dia juga terheran heran kenapa Pen mengeluarkan sebuah bulpen, tapi ia melanjutkan kekesalan nya tadi dengan menjadi tidak takut. "Kenapa? Kau ingin apa? Apa hanya karena ibumu ini melarang mu menulis, kau menunjukan pena padaku? Sudahlah Pen, sepertinya kau memang sudah tidak tertolong," tatap Ibunya yang kini merendahkan putrinya membuat Pen semakin kesal dan mengatakan sebuah kenyataan.
"Aku, menggunakan benda ini, untuk membunuh seseorang, sebelum menulis sebuah cerita…" kata Pen, ibunya yang mendengarnya memang sempat terdiam, tapi ia mencoba tidak percaya. "Omong kosong apa yang kau bicarakan?"
"Aku, membunuh Bu Nia," kata Pen sekali lagi, seketika Ibunya terkejut tak percaya.
"Ka-kau pasti bercanda!! Jaga mulutmu!! Kau tidak akan melakukan itu kan!! Pen!!" Ibunya tampak histeris mendengar pernyatan itu.
"Aku, tidak, bercanda…" kata Pen seketika dia membuang Pena itu di lantai dan itu membuat tinta dari pena itu keluar, tapi bukan tinta hitam, melainkan tinta darah merah yang telah hampir menjadi gelap menandakan itu darah manusia.
Melihat hal itu membuat Ibunya terdiam tak percaya, apalagi Pen mengeluarkan pena yang sama yang baru dari sakunya. "Sekarang, aku membutuhkan pena dengan tinta baru," tatapnya dengan tatapan yang penuh sangat hasrat membunuh.
"Tu-tunggu..." Ibunya kini menjadi ketakutan.
Ibunya mundur beberapa langkah, tangannya bergetar saat melihat darah mengalir dari pena yang dibuang Pen ke lantai. Matanya membesar, napasnya memburu, tubuhnya mendadak terasa lemas seolah kehilangan tenaga untuk berdiri tegak.
"Pen… a-apa yang kau lakukan…?" suaranya bergetar, hampir seperti bisikan.
Pen menatapnya dengan senyum kecil yang dingin. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan pena baru. Dengan gerakan perlahan, dia mengklik ujungnya, mengeluarkan mata pena yang tajam. "Aku bilang, aku butuh tinta baru," katanya lirih.
Ibunya menggeleng cepat, kakinya mulai melangkah mundur. "Jangan… jangan lakukan ini, Nak… Aku ini ibumu… Ibumu sendiri…!"
Namun, Pen hanya mencondongkan kepalanya sedikit ke samping, seolah tak memahami ketakutan ibunya. "Dan kau juga orang yang melarangku menulis," suaranya berubah dingin. "Kau pikir aku bisa membiarkan itu begitu saja?"
"Aku minta maaf, Pen! Aku benar-benar minta maaf!" Ibunya berusaha mengulur waktu, tangannya terangkat mencoba menenangkan putrinya. "Aku tidak akan melarangmu lagi! Kau boleh menulis sesuka hatimu! Aku janji, aku janji, Nak!"
Pen melangkah maju. Setiap langkahnya terdengar jelas di ruangan yang kini terasa begitu sunyi. "Tapi kau sudah menghapus banyak ceritaku… membuang catatanku… merobek karyaku…" ujarnya pelan, namun tajam.
Ibunya terisak, air matanya jatuh begitu saja. "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu…"
"Yang terbaik untukku?" Pen tiba-tiba tertawa kecil, suara tawanya menggema seperti sesuatu yang tak wajar. "Kalau kau benar-benar ingin yang terbaik untukku, kau seharusnya tidak pernah menghancurkan mimpiku."
Tiba-tiba, Pen menerjang.
"Akh!! Tidak, MONSTER!!!" Ibunya menjerit dan mencoba berlari ke pintu, tapi Pen lebih cepat. Dengan satu tangan, dia menarik ibunya ke belakang, dan dengan tangan lainnya, dia menancapkan pena itu ke bahu wanita itu.
"AARGHH!!"
Ibunya jatuh ke lantai, mencengkeram bahunya yang kini berdarah. Matanya penuh ketakutan saat melihat Pen berdiri di atasnya, menjilat bibirnya seakan menikmati rasa sakit yang baru saja dia ciptakan.
"Ternyata mudah, ya…" Pen berbisik, menarik pena itu kembali. Darah segar mengalir dari ujung pena, menetes ke lantai.
Ibunya merangkak mundur, tubuhnya gemetar. "Pen… jangan, Nak… aku mohon…!"
"Terlambat." Pen menerjang lagi, kali ini menikam perut ibunya.
"A-AAKHH!!"
Darah menyembur ke pakaian Pen, mengotori wajahnya. Tapi dia tak peduli. Dia menarik pena itu keluar, lalu menusukkannya lagi.
Lagi.
Lagi.
Lagi.
Ibunya tersedak darah, tangannya berusaha menahan luka di perutnya, tapi tubuhnya semakin lemas. Dia masih mencoba berbicara, bibirnya bergerak tanpa suara.
Pen menatapnya dengan puas, lalu membungkuk. Dia menempelkan bibirnya ke telinga ibunya dan berbisik, "Kau tidak akan pernah bisa melarangku lagi."
Dengan satu tusukan terakhir ke jantung, tubuh ibunya berhenti bergerak.
Pen menghela napas puas, melempar pena ke lantai. Dia menatap mayat di depannya dengan kepala miring, seakan menikmati karyanya.
Tapi ada satu masalah.
Pena ini sudah kehabisan tinta lagi.
Dia mendongak, menyadari ada satu orang lain yang bisa jadi penggantinya.
Lucas.
Pen tersenyum dan mengambil pena yang baru dari sakunya.
Sementara itu Lucas berjalan pulang ke rumah Pen di malam itu. Dia akan membuka pintu. "Bibi, aku kembali," kata Lucas sambil membuka pintu dan berjalan masuk. Tapi ia sangat terkejut karena melihat Pen berdiri di samping Ibunya yang tergeletak di bawah. Ibunya meninggal ditempat dengan luka tusukan bulpen beberapa kali di jantungnya dan Pen lah yang membawa bulpen berlumur darah itu di tanganya. Pen menoleh pada Lucas dengan tubuh yang ikut terlumur darah.
"P-pen, apa yang kau lakukan?" Lucas mundur, tubuhnya membeku di ambang pintu. Napasnya tercekat saat melihat Pen berdiri di samping mayat ibunya. Pakaian gadis itu berlumuran darah, tangannya masih menggenggam pena yang meneteskan cairan merah gelap. Matanya yang dulu penuh kehidupan kini kosong, hanya ada satu hal di sana—kegilaan.
"P-Pen…?" Lucas berusaha keras menelan ludahnya, mencoba memahami situasi yang ada di depannya.
Pen menoleh perlahan, wajahnya masih dipenuhi jejak darah. Ia tersenyum kecil. "Lucas… Kau datang di saat yang tepat."
Lucas mundur lagi, tangannya mencari-cari pegangan di belakangnya, tapi tak menemukan apa pun. "A-apa yang kau lakukan…? Apa yang kau lakukan pada ibumu?"
Pen mendongak sedikit, seolah memikirkan jawabannya. Tapi ia tidak menjawab dan bersiap menyerang Lucas.
Lucas merasakan bulu kuduknya berdiri. "T-tunggu, Pen! Ini aku! Lucas! Kau ingat, kan? Kita teman! Kita sudah bersama sejak kecil!"
Tapi dalam sekejap, Pen menerjang.
Lucas berteriak dan mencoba menghindar, tapi Pen lebih cepat. Pena itu menembus bahunya, rasa sakitnya begitu tajam hingga dia terhuyung dan jatuh ke lantai.
"AGH!!"
Lucas mencengkeram lukanya, darah merembes di antara jarinya. Matanya melebar, tak percaya Pen benar-benar melakukannya. "P-Pen… Kumohon…"
Lucas menggeleng keras, air matanya bercampur keringat dan darah.
Dengan satu gerakan cepat, Pen menancapkan pena itu ke leher Lucas.
Lucas berteriak, suaranya tercekat saat darah mengalir dari luka di tenggorokannya. Matanya membesar, tangannya meraih-raih udara, mencoba melepaskan diri. Tapi Pen hanya menekan lebih dalam, memutar pena itu di dalam luka.
Lucas berusaha melawan. Tangannya menampar wajah Pen, mencakar lengannya, bahkan menendang kakinya. Tapi kekuatannya melemah dengan cepat.
Pen menatapnya, menikmati setiap detik Lucas berjuang sia-sia.
Lucas tersedak darah, tubuhnya mulai kehilangan tenaga. Tapi sebelum nyawanya benar-benar hilang, Pen mendekat dan berbisik, "kau selalu membuat ibuku memandangku sebelah mata...."
Dengan satu hentakan kuat, Pen menarik pena itu keluar, menyaksikan darah menyembur ke lantai.
Lucas terjatuh, tubuhnya kejang sebentar, lalu diam.
Pen menarik napas panjang, menikmati aroma besi yang memenuhi udara. Ia bangkit perlahan, menatap dua tubuh tak bernyawa di lantai rumahnya.
Setelah itu senyumnya memudar dan mendadak saja, dia mengalirkan air mata. "Apa yang baru saja, kulakukan..."