WebNovelRed & Ink66.67%

Chapter 20 Halusinasi

Sepulang sekolah, Pen berjalan menuju gerbang dengan langkah pelan. Cahaya matahari sore mulai memudar, meninggalkan semburat jingga di langit. Udara terasa sedikit lembap, menandakan bahwa malam akan segera datang. Namun, sebelum ia benar-benar keluar dari area sekolah, ada sesuatu yang mengganggunya dari belakang—perasaan aneh, seolah ada tatapan yang tertuju padanya.

Ia memutuskan untuk berhenti berjalan. Jantungnya berdebar pelan saat ia menoleh ke atas. Tepat di balkon atap sekolah, siluet seseorang terlihat duduk di pagar balkon yang tinggi. Pen menyipitkan mata, mencoba memastikan siapa itu, dan saat matanya menangkap sosok tersebut dengan lebih jelas, tubuhnya seketika menegang.

Di sana, dengan santai, Melda duduk di pagar balkon, kaki-kakinya terayun pelan di udara kosong. Rambutnya tertiup angin, dan senyum tipis menghiasi wajahnya. Cahaya matahari terakhir menerpa dirinya, menciptakan bayangan samar yang membuatnya tampak seperti ilusi.

Tak disangka-sangka, Pen melihat Melda ada di atas sana, dalam posisi yang tampak berbahaya. Seperti akan bunuh diri.

Pen terdiam, tubuhnya membeku di tempat. Matanya melebar, sulit mempercayai apa yang ia lihat.

"Itu... berbahaya," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. Napasnya terasa berat, seolah udara di sekitarnya mendadak menjadi lebih dingin.

Namun, Melda hanya menatapnya dengan senyum tipis, tatapannya kosong, tapi juga seakan menyimpan sesuatu.

"Pen... Aku ini tidak nyata," kata Melda tiba-tiba. Suaranya terdengar begitu jelas, seolah angin sore tak mampu membawanya pergi.

Pen terkejut. Ia melihat sendiri bagaimana bibir Melda bergerak membentuk kata-kata itu, tapi rasanya ada yang aneh. Seperti suara itu tidak benar-benar berasal dari dirinya.

"Apa maksudmu?" Pen bertanya dengan suara yang hampir bergetar. Jantungnya masih berdetak kencang, dan tangannya secara refleks menggenggam tali tasnya lebih erat.

Sekeliling mereka terasa sunyi, tapi hanya bagi Pen. Kenyataannya, halaman sekolah masih dipenuhi oleh siswa-siswi yang hendak pulang. Namun, anehnya, tak ada satu pun dari mereka yang tampak melihat ke arah balkon.

Semua orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing—tertawa, mengobrol, atau berjalan keluar gerbang tanpa menyadari bahwa di atas sana, seseorang tengah duduk di tepi ketinggian yang berbahaya.

Apa mungkin... benar seperti yang Melda katakan? Bahwa ia tidak nyata?

Tiba-tiba, sebuah sentuhan di pundaknya membuat Pen tersentak. Jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya saat ia buru-buru menoleh ke belakang.

"Pen?"

Sosok Ezra berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi bingung.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya lagi.

Pen membuka mulutnya, ingin menjelaskan, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia refleks menoleh kembali ke balkon, dan mendadak rasa dingin menjalari tubuhnya.

Melda... menghilang.

Tak ada siapa pun di sana. Hanya angin yang berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan pohon di sekitar sekolah.

"(Apa yang terjadi? Apa itu tadi hanya halusinasi?)" pikirnya.

Sementara itu, teman-temannya yang melihat interaksi antara Pen dan Ezra mulai berbicara satu sama lain.

"Hei... Siapa itu?" seseorang bertanya dengan nada penasaran.

"Apa itu pria yang tergoda oleh Pen?" bisik yang lain, nadanya penuh dengan gosip.

"Wah, bener-bener deh... Tidak bisa disangka," mereka mulai berbisik-bisik, pandangan mereka melirik ke arah Pen dan Ezra dengan ekspresi penuh arti.

Ezra yang mendengar gumaman itu melirik ke arah mereka, alisnya sedikit berkerut. "(Apa yang sebenarnya mereka bicarakan?)" pikirnya, tak mengerti apa yang sedang terjadi.

Namun, perhatian Pen masih tertuju ke balkon. Tak peduli dengan omongan orang-orang di sekitarnya, pikirannya masih berusaha mencerna apa yang baru saja ia alami.

Ezra menatapnya dengan tatapan serius.

"Hoi, Pen, apa yang terjadi di sini? Kenapa mereka mengatakan hal itu?" tanyanya.

Tapi Pen masih terdiam, pikirannya berputar-putar dalam ketakutan yang mulai menyelimuti dirinya.

Ia menelan ludah, lalu dengan suara pelan, ia bergumam, "Dokter... Bisa kau jelaskan semuanya? Kenapa aku mulai berhalusinasi?"

Ezra terkejut. Ada sesuatu dalam ekspresi Pen yang membuatnya khawatir—mata gadis itu terlihat kosong, tapi sekaligus dipenuhi ketakutan.

"Apa ini dampak dari depresinya?" pikir Ezra.

"Pen... Katakan padaku... Siapa yang kau lihat?" Suaranya lebih serius kali ini, dan ia langsung memegang kedua pundak Pen dengan kuat.

Pen menatapnya, tapi tak benar-benar melihatnya. Pandangannya kosong, seolah terjebak dalam dunianya sendiri.

Orang-orang di sekitar mereka mulai memperhatikan situasi itu dengan lebih serius.

"Pen... Bilang saja padaku, siapa orang yang kau lihat... Depresi itu telah membuat dampak halusinasi untukmu... Dia akan mengganggumu jika kau tidak beri tahu aku siapa yang mengganggu!!" Ezra berbicara lebih keras, berusaha membuat Pen sadar.

Namun, bagi Pen, suara Ezra terasa semakin jauh. Semakin samar.

Di sekelilingnya, bisikan-bisikan semakin nyaring.

"Apa yang terjadi? Pen punya depresi?"

"Jadi, pria itu adalah dokternya?"

"Gadis seperti ini punya depresi."

"Kasihan sekali."

Bisikan-bisikan itu menusuk pikirannya seperti jarum tajam. Mereka terdengar seperti suara orang-orang di sekelilingnya, tapi juga terasa seperti sesuatu yang lebih mengerikan.

"Tidak!!! Hentikan!!!"

Pen tiba-tiba menjerit, menutup telinganya. Ia berlutut di tanah dengan tubuh gemetar. Ketakutan memenuhi wajahnya, dan matanya yang biasanya bersinar kini tampak gelap—kosong, seolah sedang berada di tempat lain.

Pupil matanya bergetar, napasnya memburu.

Ezra yang melihatnya langsung bereaksi.

"Pen?" panggilnya, tapi gadis itu hanya tetap di tempatnya, seolah tak lagi mendengar suara dunia nyata.

Ezra menatapnya dengan ekspresi khawatir yang mendalam. Ia menarik napas dalam, lalu dengan cepat berlutut di depan Pen.

"Aku akan membawamu. Maaf..." katanya pelan, lalu tanpa ragu, ia mengangkat tubuh Pen dan menggendongnya dengan hati-hati.

Pen tidak bereaksi. Ia hanya diam, tubuhnya terasa lemah, seolah kehilangan semua energi.

Orang-orang di sekitar mereka hanya bisa terdiam, menonton dengan tatapan tak percaya.

Mereka semua tahu... Sebuah rumor baru akan segera tersebar.

 

Malamnya, keheningan menyelimuti ruangan luas itu. Cahaya lampu temaram memberikan kesan hangat, tapi bagi Pen, semua terasa asing.

Ia terbangun perlahan di atas ranjang besar. Kelopak matanya terasa berat, pikirannya masih terasa kabur.

Ia duduk perlahan, memegang kepalanya yang terasa pening. "Apa yang terjadi?" pikirnya, matanya melirik ke sekeliling ruangan.

Tiba-tiba, suara pintu terbuka membuatnya tersentak.

Ezra masuk, membawa secangkir teh hangat. Uapnya masih mengepul, memenuhi ruangan dengan aroma yang menenangkan.

"Oh... Kau sudah bangun. Minumlah ini dulu," katanya dengan suara lembut, mendekat ke arahnya.

Pen menatapnya ragu, tubuhnya sedikit menegang.

"Tak apa, Pen. Kau akan lebih baik dengan ini," kata Ezra lagi, meyakinkannya.

Akhirnya, Pen perlahan mengambil cangkir itu dan mulai meminumnya.

Ezra duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh perhatian.

"Sekarang katakan padaku... Bagaimana perasaanmu?"

Pen hanya menggeleng, menolak mengatakan apa pun.

Ezra terdiam. Kekhawatiran masih terpancar dari matanya.