Di saat itu juga, Kaori terdiam, matanya sedikit menyipit saat pikirannya mulai mengembara ke masa lalu. Ada sesuatu yang mendadak muncul di kepalanya—sebuah kenangan samar yang kini mulai tersusun dengan jelas. Itu adalah momen di mana dia pernah mengatakan sesuatu pada Pen saat di dalam penjara.
Saat itu, mereka berdua duduk di lantai sel yang dingin dan suram. Cahaya redup dari lampu di lorong luar menembus jeruji, menciptakan bayangan panjang di dinding yang lembap.
"Dengar, Pen," Kaori menghela napas, menatap lurus ke mata sahabatnya. "Ezra itu adalah pria sejati. Dia tidak akan melirik wanita lain kecuali wanita yang ia sukai. Jadi, jika kau bersamanya, kau mungkin sangat beruntung. Menurutku, dia tak pernah bercinta selama sekolah dan hanya fokus pada pelajaran saja. Karena itulah dia bisa menjadi dokter hebat hingga saat ini. Jadi, Pen... kau harus menerima Ezra dengan sadar."
Suasana di sel itu terasa lebih hening setelahnya. Kaori masih ingat bagaimana Pen hanya menunduk tanpa memberi jawaban, matanya berkabut oleh sesuatu yang sulit diartikan.
***
"Hoi... kenapa kau bisa ada di sini?" tatap Ezra dengan kesal, alisnya berkerut tajam.
Suara desiran angin hutan terdengar samar, dedaunan bergesekan menciptakan bisikan-bisikan halus di sekitar mereka. Napas Ezra yang sedikit tersengal akibat berlari terdengar jelas di udara yang mulai mendingin.
"...Hah... apa aku baru saja mengingat sesuatu? Ah, sudahlah... sebenarnya wanita tua itu telah membohongimu, dan aku yang memintanya berbohong padamu," ucap Kaori, nada suaranya datar, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.
"Apa..." Ezra terkejut, bola matanya melebar saat mendengar pengakuan itu.
"Aku memintamu kemari karena ada sesuatu," kata Kaori, kali ini nadanya lebih serius.
"Haiz... Kaori, aku mohon, jika kau tidak suka aku menikah dengan Pen, kenapa kau membuatku hampir mati jatuh di jurang ini? Untungnya, aku belum digigit anjing dalam mimpiku tadi," Ezra menggerutu sambil merapikan pakaian kotor yang penuh dengan bekas tanah dan dedaunan.
"Tenang dululah, aku sama sekali tidak iri... Sebenarnya, Pen sedang bersiap-siap. Karena kupikir nanti kau akan datang duluan dan menghancurkan kejutannya," katanya, bibirnya melengkung membentuk senyum samar.
Ezra menatap Kaori dengan penuh kecurigaan. "Serius? Sekarang dia ada di mana?"
"Di gedung pernikahan," jawab Kaori dengan manis, seolah menikmati kebingungan Ezra.
Seperti disambar petir, tubuh Ezra menegang. "Apa... Dia menikah dengan siapa? Tidak bisa! Dia tak bisa menikah dengan orang lain!" serunya panik, wajahnya berubah drastis dari kesal menjadi penuh kepanikan. Tanpa berpikir panjang, dia langsung berlari keluar dari hutan.
"Heh, kau salah," Kaori mencoba mengejarnya, tetapi langkah Ezra terlalu cepat.
Mobil merah Ezra berhenti dengan keras di depan sebuah gedung besar yang dihiasi bunga-bunga putih dan emas.
Ezra keluar dari mobil dengan tergesa-gesa, wajahnya penuh tekad, sementara Kaori baru saja memarkir mobilnya sendiri di belakang dan mengejarnya dengan kesal.
"Astaga, orang ini... Staminanya seberapa sih!" keluh Kaori sambil menghela napas panjang, mencoba mengejar Ezra yang sudah lebih dulu melangkah mendekati pintu masuk gedung.
Namun, sebelum Ezra bisa masuk, dua penjaga berdiri menghalangi jalannya. "Tuan, kau tidak bisa masuk dengan pakaian seperti itu," salah satu dari mereka berbicara dengan tegas, matanya meneliti pakaian Ezra yang berantakan dan penuh kotoran.
"Cih... memangnya kenapa?!?!" Ezra menatap tajam, nadanya penuh ketidaksabaran.
Dari kejauhan, Kaori mendengar suara itu dan segera berteriak, "Ezra... tunggu! Kau harus lewat sini!"
Namun, Ezra yang sudah terbakar emosi tak mengindahkan peringatan Kaori. "Cih... aku ingin lewat sini! Akan kurebut kembali semuanya!!" Dengan tekad bulat, dia menerobos masuk, membuat dua penjaga itu terkejut dan kehilangan keseimbangan.
"Hiz... orang itu..." gumam Kaori, lalu dengan cepat mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
Di dalam gedung yang luas dan megah, Ezra berjalan dengan langkah cepat, matanya mencari-cari di antara para tamu yang menoleh ke arahnya dengan tatapan penuh keheranan.
"Ezra," panggil seseorang dengan suara familiar.
Ezra menoleh dengan ekspresi tajam, lalu mendapati seorang lelaki berpakaian rapi berjalan ke arahnya. Lelaki itu adalah rekan dokternya di rumah sakit. Tak hanya dia, tetapi banyak wajah familiar lainnya terlihat di sana.
"Apa! Kenapa kalian ada di sini?!!" Ezra semakin bingung, otaknya mencoba mencerna situasi yang semakin tak masuk akal baginya.
"Wanita yang sering datang kemari itu mengirimkan undangan pada kita semua bahwa kau akan menikah dengan gadis manis itu. Semoga berhasil, kawan... Eh, ngomong-ngomong, kenapa kau ada di sini dengan pakaian seperti itu? Di mana gadi—"
Belum sempat lelaki itu menyelesaikan kalimatnya, suara lembut yang tenang dan penuh kehangatan menyela.
"Dokter..."
Ezra terdiam. Suara itu... suara yang sudah sangat ia kenal. Perlahan, ia menoleh, dan seketika tubuhnya membeku.
Di sana, di bawah sorotan cahaya yang lembut, Pen berdiri dengan anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memukau. Wajahnya terlihat lebih tenang, matanya bercahaya dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Di sisinya, Kaori berjalan mendekat dengan ekspresi datar, tetapi ada secercah kebahagiaan yang tersembunyi dalam matanya.
Tanpa peringatan, Kaori langsung mencubit kuping Ezra.
"Ad-uh... hei!" Ezra terkejut, mencoba menghindar, tetapi Kaori menariknya mendekat ke Pen.
"Ini sakit, dasar kau!" gerutu Ezra, tetapi tiba-tiba tangan Pen menyentuh kedua pipinya, menghentikan gerakannya seketika.
"P... Pen?" Ezra tergagap.
"Dokter, aku tahu rasa cintamu padaku sangatlah besar, bukan? Jadi, biarkan aku membalas semuanya di sini," kata Pen dengan suara lembut, lalu tanpa ragu mencium bibir Ezra.
Riuh tepuk tangan memenuhi ruangan, para tamu bersorak senang melihat adegan itu.
"...P-en... aku tak pantas, aku sedang berantakan di sini..."
"Dokter, kau tidak pernah kotor. Kau selalu memakai pakaian putih yang sangat bersih, bukan?" Tatapan Pen sekali lagi, kali ini benar-benar penuh makna dan tak ada kekosongan.
Ezra benar-benar hampir terharu dengan perubahan Pen. "(Selama ini, aku mencoba berusaha untuk mengerti Pen, tapi sepertinya dia memang sudah lebih baik, dan aku sangat senang sekali...)"
"Maafkan aku telah membiarkanmu pergi," kata Pen.
"Apa yang kau maksudkan?" Ezra menatap cemas sambil memegang kedua pundak Pen.
"Kaori bilang kau ingin menikahiku, karena itulah dia membantuku menyiapkan ini semua hanya untuk kita berdua. Juga, aku berhasil direhabilitasi, jadi mungkin aku tidak akan kembali gila. Kau tahu, haha," balas Pen.
Ezra terdiam tak percaya, bahkan bicara Pen juga sangat lancar. Ia lalu menoleh ke Kaori yang tak jauh dari mereka berdiri. Kaori hanya bertingkah cuek, padahal dalam hatinya dia juga tersenyum senang. Lalu, Ezra juga tersenyum senang danmenoleh ke Pen.
"...Ya... aku ingin menikahimu, Pen. Kau mau menjadi pasanganku?"
Ezra menatap, lalu ia berlutut dan menunjukkan kotak kecil berisi cincin cantik, membuat Pen tersenyum senang. Kaori yang ada di samping mereka pun juga ikut tersenyum, meskipun dia sedikit meneteskan air mata bahagia.
"Ya... Aku mau..."
Pen membalas dengan senang lalu memberikan tangannya, dan Ezra memakaikan cincin itu di jarinya.
Cincin itu sangat pas dengan jarinya karena Ezra sebelumnya sudah meminta Kaori untuk mengukur jari Pen.