Sarah menatap bungkusan makanan di tangannya. Aroma hangatnya menggoda, tapi perasaan aneh masih menyelimuti hatinya.
"Jangan pernah buka pintu kalau ada yang mengetuk setelah tengah malam."
Kata-kata Dara masih terngiang di kepalanya. Ada sesuatu tentang cara dia mengatakannya yang membuat bulu kuduk Sarah meremang.
"Ibu, itu makanan apa?"
Sita muncul dari dalam kamar, matanya masih setengah mengantuk. Putra mengintip dari belakangnya.
Sarah tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Makanan dari tetangga. Ayo kita coba."
Dia membawa bungkusan itu ke meja dan perlahan membukanya. Di dalamnya ada seporsi nasi hangat dengan lauk sederhana—tempe goreng, sambal, dan sayur lodeh. Terlihat normal. Tapi sesuatu terasa… ganjil.
Sarah mencoba menepis pikirannya. Mungkin dia hanya terlalu curiga setelah semua yang terjadi.
Mereka mulai makan dalam keheningan. Rasanya enak, seperti masakan rumahan.
Tapi, di suapan ketiga, Sarah berhenti.
Dia merasakan sesuatu yang aneh di lidahnya. Ada tekstur yang tidak seharusnya ada di dalam sayur lodeh itu. Perlahan, dia mengeluarkannya dari mulutnya.
Sebuah helai rambut panjang dan hitam.
Jantungnya berdebar. Rambut itu bukan miliknya, bukan milik Sita, dan bukan milik Putra.
Sita menatapnya bingung. "Kenapa, Bu?"
Sarah memaksakan senyum. "Tidak apa-apa. Makan yang banyak, ya."
Dia menelan ludah, lalu menatap piringnya lagi. Perasaannya semakin tidak enak. Apa ini kebetulan, atau… ada maksud di baliknya?
Ketukan di pintu terdengar lagi.
Tok… tok… tok…
Sarah tersentak, begitu juga anak-anaknya. Mereka saling bertukar pandang.
Masih pagi. Bukan tengah malam.
Sarah bangkit dengan hati-hati dan berjalan menuju pintu. Dia mengintip melalui lubang kecil.
Tidak ada siapa-siapa.
Namun, tepat saat dia hendak berbalik—
TOK! TOK! TOK!
Ketukan itu lebih keras, lebih mendesak.
Sarah menarik napas dalam dan membuka pintu perlahan.
Kosong. Tidak ada siapa-siapa di lorong.
Namun, saat dia menunduk, ada sesuatu yang diletakkan di depan pintunya.
Sebuah bungkusan kecil.
Jantungnya berdebar saat dia memungutnya. Kertas pembungkusnya kuning kusam, diikat dengan benang merah yang sudah usang. Tidak ada nama, tidak ada catatan.
Sarah melangkah mundur, menutup pintu, lalu membuka bungkusan itu dengan hati-hati.
Di dalamnya ada sepotong kertas tua dengan tulisan tangan yang nyaris pudar.
"Kau sudah terlambat. Dia sudah memilihmu."
Sarah menahan napas. Jari-jarinya gemetar.
Siapa yang menulis ini? Siapa yang memilihnya?
Dari belakang, suara Sita terdengar pelan.
"Bu… siapa yang mengetuk?"
Sarah tidak menjawab.
Karena saat dia menatap kertas itu lagi, tulisan di sana perlahan berubah. Seolah-olah tinta hitamnya bergerak sendiri, merangkai kata-kata baru.
"Jangan percayai Dara."
Bersambung…