ADA DAN TIADA 2: (Lanjutan)
Malam turun dengan sunyi yang menyesakkan. Angin malam berdesir lembut, menerobos celah-celah jendela rusun yang tua. Sarah tertidur dengan perasaan tak menentu, sementara Sita dan Putra sudah lebih dulu terlelap di kamar mereka.
Namun, di dalam tidurnya, sesuatu terjadi.
Sarah berdiri di sebuah tempat yang asing. Sebuah aula besar, gelap, dengan lantai batu yang dingin. Di sekelilingnya, banyak sosok berdiri dalam diam.
Pocong.
Puluhan… tidak, mungkin ratusan. Mereka berbaris dalam formasi yang rapi, tubuh terbungkus kain kafan kotor, kepala tertunduk seperti sedang menghormat.
Dan di tengah aula, berdiri seorang wanita.
Sarah menahan napas.
Wanita itu mengenakan jubah hitam dengan corak merah darah. Rambut panjangnya tergerai, matanya redup namun penuh kekuatan. Dia tersenyum, lalu tertawa pelan.
Dara.
Sarah mundur selangkah, berusaha menahan jeritan.
Di hadapan Dara, pocong-pocong itu serempak membungkuk dalam kesunyian yang menakutkan.
Dara mengangkat tangannya, lalu berbisik dalam bahasa yang tidak Sarah mengerti. Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa berat, seolah menekan udara di sekelilingnya.
Dan tiba-tiba—
Dara menoleh.
Matanya langsung mengunci pandangan dengan Sarah.
Sarah tersentak, tubuhnya gemetar. Dara melihatnya.
Dara tersenyum lebar. "Sarah… kau datang juga."
Sarah mundur lebih jauh, tapi kakinya terasa berat. Sesuatu menariknya ke bawah, seolah akar-akar tak terlihat mulai menjalar di tubuhnya.
Dara perlahan melangkah mendekat, matanya semakin tajam. "Kenapa kau bersembunyi? Ini… takdirmu juga."
Sarah mencoba berteriak, tapi suaranya tertahan.
Dara mengangkat tangannya, dan semua pocong serempak menoleh ke arah Sarah.
Mata mereka hitam. Kosong.
Sarah menjerit—
Dan terbangun dengan napas memburu.
Ruangan gelap.
Jam di meja kecil di samping ranjangnya menunjukkan angka 02:00 dini hari.
Sarah duduk dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Dadanya naik turun, sementara mimpi tadi masih terasa begitu nyata.
Namun, sebelum dia bisa menenangkan diri—
Tok. Tok. Tok.
Ketukan terdengar dari pintu.
Sarah menegang. Kata-kata Dara dari pagi tadi kembali terngiang di kepalanya:
"Jangan pernah buka pintu kalau ada yang mengetuk setelah tengah malam."
Tok. Tok. Tok.
Ketukan itu semakin keras.
Sarah menutup mulutnya sendiri, mencoba menahan napas.
Dari celah pintu, bayangan seseorang tampak berdiri di luar.
Dan suara lembut, nyaris berbisik, terdengar dari balik pintu—
"Sarah… buka pintunya."
Itu suara Dara.
Bersambung…