ADA DAN TIADA 2: (Lanjutan)
Sarah menahan napas, matanya terpaku pada celah lubang angin di atas pintu.
Di luar sana, dua pocong berdiri diam, tubuh mereka kaku, kain kafan yang membungkusnya tampak kotor dan bernoda hitam. Kepala mereka menunduk, seperti sedang menunggu perintah.
Lalu, tanpa peringatan—
Seseorang muncul di antara mereka.
Sarah membelalak.
Dara.
Persis seperti di dalam mimpinya.
Dia mengenakan jubah hitam panjang dengan corak merah darah. Rambut panjangnya tergerai, wajahnya tetap cantik tapi ada sesuatu yang salah. Senyumnya terlalu lebar, terlalu dingin.
Dara menatap lurus ke arah pintu, seolah mengetahui Sarah sedang mengintipnya.
"Sarah…"
Sarah tersentak, mundur beberapa langkah. Suara itu terdengar lembut, namun ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
"Sarah… buka pintunya."
Sarah menggeleng panik. Tidak, ini tidak nyata. Ini hanya mimpi.
Namun suara Dara semakin mendesak.
"Aku tahu kau di dalam. Jangan buat ini sulit, Sarah…"
Tiba-tiba—
TOK! TOK! TOK!
Ketukan itu berubah menjadi gedoran keras.
Sarah menutup mulutnya, menahan jeritan.
Dari dalam kamar, suara Sita terdengar mengantuk. "Bu… siapa yang datang malam-malam begini?"
Sarah menoleh cepat. "Jangan keluar dari kamar! Jangan bersuara!" bisiknya tajam.
Sita yang masih setengah sadar mengangguk dan kembali masuk ke kamar bersama Putra.
TOK! TOK! TOK!
Sarah kembali menatap pintu.
Suara Dara semakin pelan, semakin dingin. "Sarah… aku akan masuk… mau atau tidak mau…"
Kemudian, sesuatu terjadi.
Sarah melihat ke bawah—dan menyadari… kunci pintu mulai berputar sendiri.
Jantungnya nyaris berhenti.
Sarah segera berlari, meraih gagang pintu, dan menahannya sekuat tenaga.
Namun, kunci itu terus bergerak, seolah ada kekuatan tak terlihat yang mencoba membukanya dari luar.
Lalu semuanya menjadi sunyi.
Tidak ada lagi ketukan. Tidak ada lagi suara Dara.
Hanya keheningan yang menyesakkan.
Sarah menempelkan telinganya ke pintu, mencoba mendengar sesuatu.
Lalu—
CEKIKIKIK!
Suara tawa itu…
Sarah membeku.
Suara Dara.
Tapi kali ini lebih menyeramkan. Lebih dalam. Lebih… bukan manusia.
Perlahan, Sarah mengangkat kepalanya dan melihat ke lubang angin lagi.
Dara masih di sana.
Tapi wajahnya kini berubah.
Matanya hitam legam. Mulutnya melebar dengan senyum mengerikan.
Dia menatap Sarah langsung.
Dan dengan suara berbisik, ia berkata—
"Aku sudah di dalam."
Lampu ruangan tiba-tiba padam.
Dan sesuatu berbisik tepat di belakang Sarah.
Bersambung…