Penyembah Iblis : BAB 2

Penyembah Iblis

Bab 2: Tabir Kegelapan

Malam itu, setelah menerima kantong hitam dari sosok misterius, Bapak duduk di sudut rumah dengan tatapan kosong. Jarinya menggenggam erat benda kecil itu, seolah takut kehilangannya. Rini sudah tertidur, batuknya masih terdengar sesekali. Rahayu meringkuk di samping ibunya, nafasnya teratur dalam tidur lelap.

Bapak menghela napas panjang. Ia merasa seperti membawa beban yang sangat besar. Dalam hati, ia bertanya-tanya: apakah ini benar? Apa yang ia lakukan adalah satu-satunya jalan keluar?

Namun, suara lain di kepalanya berbisik. "Kau ingin keluar dari kemiskinan, bukan? Ini satu-satunya cara. Tidak ada yang akan tahu. Tidak ada yang akan dirugikan."

Dengan tangan gemetar, ia membuka kantong hitam itu. Dari dalamnya, keluarlah serbuk kehitaman yang berbau anyir, seperti darah yang sudah mengering. Bau itu membuatnya mual, tapi entah kenapa, ada dorongan kuat untuk segera menggunakannya.

Ia bangkit, berjalan ke setiap sudut rumah, lalu mulai menaburkan serbuk itu. Sesuai pesan sosok berjubah hitam, serbuk itu harus disebarkan di empat sudut rumah, lalu sebagian lagi di depan pintu.

Saat taburan terakhir jatuh ke tanah, angin dingin tiba-tiba berhembus dari luar. Lampu minyak berkedip-kedip, bayangan di dinding bergerak sendiri seperti ada sesuatu yang menari-nari di dalam rumah.

Bapak menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang. Ia ingin membangunkan Rini dan Rahayu, tapi tubuhnya terasa kaku.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu.

Tok... tok... tok...

Bapak terkejut. Siapa yang datang larut malam begini? Tidak ada tetangga dekat rumahnya, dan hutan di belakang rumah seharusnya kosong.

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.

TOK! TOK! TOK!

Dengan langkah ragu, Bapak berjalan ke pintu. Tangannya gemetar saat memegang gagang pintu. Ia menarik napas dalam, lalu membuka pintu perlahan.

Di balik pintu, berdiri seorang perempuan berbaju putih lusuh. Rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Matanya kosong, tapi bibirnya melengkung dalam senyum aneh.

Bapak terpaku.

Perempuan itu mengangkat tangan, menunjukkan sesuatu di telapak tangannya.

Seekor tikus mati.

"Bapak... ini untukmu," katanya dengan suara pelan tapi bergema di telinga Bapak.

Bapak ingin berteriak, tapi suaranya hilang. Tiba-tiba, perempuan itu melangkah masuk ke rumah—tanpa meminta izin.

Malam itu, sesuatu telah berubah di dalam rumah mereka.