Penyembah Iblis : BAB 3

Penyembah Iblis

Bab 3: Pagi Pun Tiba

Mentari perlahan naik, menyinari rumah reyot di tepi hutan. Udara masih dingin, embun menggantung di dedaunan. Aroma kayu bakar dari dapur menyebar ke seluruh ruangan, bercampur dengan wangi nasi yang baru matang.

Di dalam rumah, Rini duduk bersila di lantai, menyendokkan nasi ke piring anyaman bambu. Wajahnya masih terlihat pucat, tetapi senyumnya tetap ada.

"Rahayu, ayo makan dulu," panggilnya lembut.

Anak perempuan kecil itu menguap, lalu berjalan mendekati ibunya dengan langkah malas. Ia duduk di sampingnya, matanya berbinar melihat lauk sederhana: tahu goreng dan sambal terasi.

Bapak duduk di seberang mereka, tatapannya masih terlihat kosong. Kantong hitam pemberian makhluk semalam tersimpan di balik lipatan sarungnya. Ia belum tahu apakah harus menggunakannya atau tidak.

Mereka makan dalam diam, hanya sesekali terdengar bunyi sendok menyentuh piring. Rini menatap Bapak dengan ragu.

"Pak, semalam aku dengar Bapak bicara sendiri... Kenapa?" tanyanya hati-hati.

Bapak tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap nasi di piringnya tanpa selera.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di luar rumah. Seseorang mengetuk pintu dengan pelan.

Tok... tok... tok...

Bapak dan Rini saling pandang. Jarang ada tamu di pagi buta seperti ini.

Dengan sedikit enggan, Bapak berdiri dan membuka pintu.

Di ambang pintu, berdiri seorang perempuan muda. Rambutnya sebahu, wajahnya pucat tetapi cantik dengan sorot mata yang tajam. Ia mengenakan kaos hijau usang dan rok hitam yang sudah terlihat pudar.

"Permisi," ucapnya dengan suara pelan. "Maaf mengganggu. Saya Sri Kinanti, tetangga baru kalian."

Bapak mengerutkan kening. "Tetangga baru? Memangnya rumah siapa yang Ibu tempati?"

Sri tersenyum tipis. "Rumah tua di seberang hutan, dekat sungai kecil. Saya baru pindah beberapa hari lalu."

Rini menelan ludah. Setahunya, tidak ada rumah yang layak huni di sana.

"Tadi saya melihat kalian sedang sarapan," lanjut Sri, melirik ke dalam rumah. "Maaf kalau saya lancang, saya hanya ingin berkenalan."

Bapak mengangguk kecil, berusaha tetap sopan. "Silakan duduk, Bu Sri. Mungkin mau minum teh?"

Sri menggeleng pelan. "Tidak usah repot-repot. Saya cuma mau bilang... kalau butuh sesuatu, jangan ragu datang ke rumah saya."

Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuat Rini bergidik.

Sri tersenyum sekali lagi, lalu berbalik pergi dengan langkah pelan. Namun, sebelum ia benar-benar menjauh, ia menoleh ke arah Bapak.

"Pak Ramdan..." panggilnya.

Bapak menegang.

"Saya tahu... Anda sedang mencari jalan keluar dari kesulitan," katanya pelan. "Hati-hati dengan apa yang Anda pilih."

Setelah itu, ia pergi begitu saja, meninggalkan udara yang terasa lebih dingin dari sebelumnya.

Bapak menggenggam sarungnya erat, merasakan kantong hitam di dalamnya.

Bagaimana perempuan itu tahu namanya? Bagaimana dia tahu tentang kesulitannya?

Dan yang lebih mengerikan... benarkah ada seseorang yang tinggal di rumah kosong dekat sungai itu?