Penyembah Iblis : BAB 6

Bab 6: Ketukan di Pintu dan Senyum di Belakang

Rini semakin merasa tidak enak badan. Kepalanya berdenyut, tubuhnya lemas, dan perutnya melilit seperti ada sesuatu yang bergejolak di dalamnya. Napasnya pun mulai terasa berat.

Rahayu yang masih kecil melihat ibunya berkeringat dingin, lalu beranjak dari kasur. "Ibu tunggu ya, aku ambil air minum dulu."

Perlahan, Rahayu membuka pintu kamar dan melangkah keluar menuju dapur. Tapi baru beberapa langkah, tok tok tok—terdengar ketukan di pintu depan.

Rahayu menoleh. Suara ketukan itu pelan, tapi terdengar jelas di tengah rumah yang sunyi. Dengan ragu, ia berjalan menuju pintu.

Ketika ia membukanya, di sana berdiri Sri Kinanti.

Perempuan itu masih mengenakan kaos usang hijau dan rok hitamnya. Rambut panjangnya sedikit berantakan, tapi ada senyum lembut di wajahnya, seakan tidak terjadi apa-apa. Di tangannya, ia membawa sebuah rantang berisi makanan.

"Aku bawakan makanan untuk kalian," kata Sri dengan suara lembut. "Kau pasti belum makan, kan?"

Rahayu menatapnya dengan bingung, tetapi sebelum ia sempat menjawab, terdengar suara teriakan dari dalam kamar.

"AAAAAAARGHHH!!"

Itu suara IBU!

Tanpa pikir panjang, Rahayu langsung berlari ke kamar. Sri masih berdiri di ambang pintu, senyumnya sedikit berubah... semakin lebar.

Saat Rahayu tiba di kamar, ia langsung terkejut.

Mulut Ibu berbuih.

Mata Ibu setengah terbuka, tangannya mencengkeram selimut dengan kaku, tubuhnya diam tak bergerak.

"Ibu...?" suara Rahayu bergetar. Ia mengguncang tubuh ibunya, tapi tak ada respons.

Rahayu mulai menangis. "Ibu! Ibu bangun!"

Sementara itu, di belakangnya, Sri masuk ke dalam kamar. Dengan tenang, ia berdiri di ambang pintu, senyumnya semakin melebar, lebih dari seharusnya, seakan menikmati momen itu.

Rahayu tidak menyadari keberadaan Sri di belakangnya. Dengan tangan gemetar, ia berlari ke ruang tengah, mengambil gagang telepon rumah, dan menekan nomor yang biasa Bapak pakai saat di kota.

Saat telepon tersambung, suara Rahayu terdengar gemetar, hampir tidak bisa berbicara dengan jelas.

"B-Bapak..."

"Ibu... ibu..."

Tangisnya pecah di tengah kalimat.

Di ujung telepon, suara Bapak terdengar panik. "Rahayu? Ada apa?! Ibu kenapa?!"

"IBU PERGI, BAPAK... IBU MENINGGAL!!"

Rahayu menjerit, tangannya mencengkeram gagang telepon erat-erat.

Di ujung telepon, Bapak terdengar mengumpat. "Tunggu di rumah! Bapak pulang sekarang juga!"

Sementara Rahayu masih menangis di telepon, ia tiba-tiba merasakan sesuatu.

Hawa dingin...

Dari sudut matanya, ia melihat bayangan seseorang di belakangnya.

Perlahan, Rahayu menoleh.

Sri Kinanti berdiri di sana...

Ia tidak lagi tersenyum biasa. Kini, senyumnya begitu lebar, hampir tidak manusiawi. Mata hitamnya menatap tajam ke arah Rahayu.

Jantung Rahayu mencelos. Ia terlalu takut untuk bergerak.

Di luar rumah, angin bertiup kencang, seakan ada sesuatu yang sedang bersiap mengambil nyawa lagi.