Bab 7: Kepulangan Bapak dan Suara Yasin
Langit mulai gelap ketika warga desa berkumpul di rumah kecil di tepi hutan. Suara ayat-ayat suci Yasin menggema di dalam rumah, mengiringi tubuh Rini yang sudah terbujur kaku di atas kasur. Para ibu-ibu membantu menutup tubuhnya dengan selimut batik oranye yang biasa ia pakai.
Beberapa tetangga berbisik pelan, membicarakan kepergian Rini yang begitu mendadak.
"Kasihan... padahal kemarin masih bisa bicara."
"Dia memang sering sakit, tapi kenapa bisa secepat ini?"
"Apa mungkin ada yang tidak beres?"
Di sudut ruangan, Rahayu duduk di lantai. Matanya sembab, tangannya masih gemetar. Ia tidak banyak bicara sejak tadi, hanya menunduk sambil menggenggam kain ibunya.
Sementara itu, di luar rumah... suara motor terdengar mendekat.
Bapak akhirnya sampai.
Ia turun dengan tergesa-gesa, hampir terjatuh saat berlari masuk ke dalam rumah. Napasnya masih tersengal, keringat dingin membasahi wajahnya.
Begitu melihat tubuh Rini yang sudah terbaring diam di bawah cahaya lampu temaram, Bapak langsung lemas. Lututnya bergetar, dan ia jatuh berlutut di samping istrinya.
"Rini... Astagfirullah... RINI!"
Ia mengguncang tubuh istrinya dengan kasar, berharap Rini akan bangun, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang bisa segera ia tinggalkan. Tapi tubuh Rini tetap dingin, tetap diam.
"KENAPA?!" teriaknya, matanya memerah menahan air mata.
Tidak ada yang menjawab.
Para warga hanya menunduk, beberapa perempuan ikut menangis, sementara para lelaki membaca doa dengan suara pelan.
Di sudut ruangan, Sri Kinanti masih berdiri.
Ia tidak menangis. Ia tidak ikut membaca doa.
Ia hanya tersenyum tipis, memperhatikan Bapak yang menangisi kepergian istrinya.
Di bawah cahaya lampu redup, bayangan Sri tampak sedikit berbeda—lebih panjang dari seharusnya, dan seolah bergerak sendiri.
Bapak masih terisak, tidak menyadari bahwa di belakangnya, bahaya sedang mengintai.