Bab 9: Wajah di Balik Bayangan
Jenazah Rini telah dibawa pulang. Para ibu sibuk mempersiapkan kain kafan, sementara beberapa warga laki-laki membantu menata ruangan. Bapak duduk di kamar, memegang foto Rini dalam genggamannya.
Matanya menatap dalam-dalam potret wanita yang telah menemaninya selama bertahun-tahun. Ia masih sulit percaya bahwa Rini telah pergi.
Ruangan terasa sunyi.
Hanya suara samar warga di luar yang terdengar, tapi bagi Bapak, semuanya seperti bisu. Hanya ada dia dan Rini dalam pikirannya.
Tiba-tiba, hembusan angin dingin masuk melalui celah jendela.
Bapak bergidik, bulu kuduknya meremang. Dari pantulan kaca jendela, ia melihat sesuatu.
Seseorang berdiri di ambang pintu.
Pelan-pelan, ia menoleh.
Di sana, Sri Kinanti berdiri diam, masih mengenakan pakaian sederhananya: kaos hijau usang dan rok hitam.
"Mas Ramdan..." suaranya lirih, hampir seperti bisikan.
Bapak tidak menjawab.
Sri melangkah masuk perlahan, senyum tipis terukir di wajahnya.
"Aku tahu ini berat," lanjutnya, matanya penuh empati, atau mungkin sesuatu yang lebih dari itu.
Bapak hanya diam, menggenggam foto Rini semakin erat.
Di luar kamar, suara warga masih terdengar, sibuk menyiapkan jenazah Rini. Tapi di dalam ruangan itu, hanya ada dua orang dan bayangan yang semakin pekat.