Bab 11: Keheningan di Antara Pohon-Pohon
Ambulans berhenti di halaman mushola kecil yang dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi dan rindang. Angin berhembus pelan, membuat dedaunan berguguran, menciptakan suasana sunyi yang mencekam.
Warga mulai turun dari kendaraan, membawa keranda jenazah Rini ke dalam mushola untuk disholatkan sebelum pemakaman. Beberapa ibu-ibu terisak pelan, sedangkan para bapak bersiap untuk menunaikan sholat jenazah.
Namun, Bapak tetap berdiri di luar mushola.
Ia menatap jenazah Rini dari kejauhan, ekspresinya datar. Tangannya terkepal, pikirannya berkecamuk.
Seorang tetua kampung, Haji Malik, mendekatinya dengan wajah serius.
"Pak Ramdan, ayo masuk. Istri Bapak harus disholatkan," suaranya berusaha lembut, tapi tegas.
Bapak menghela napas panjang.
"Saya nggak perlu ikut, Pak Haji..." jawabnya pelan.
Beberapa warga yang mendengar langsung menoleh. Ada yang terkejut, ada yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Astaghfirullah, masa nggak ikut nyolatin istri sendiri?" bisik seseorang.
"Iya, katanya nggak percaya agama..." sahut yang lain.
Bapak mendengar semua itu, tapi ia tetap diam.
Dari sudut mushola, Sri Kinanti berdiri sambil tersenyum kecil.
Matanya mengamati Bapak dengan penuh perhatian, seakan menikmati momen itu.
Saat sholat jenazah dimulai, angin tiba-tiba berhembus lebih kencang.
Daun-daun beterbangan, suara gemerisik terdengar dari pohon-pohon tinggi.
Kemudian, terdengar bisikan...
"Ramdan... kenapa kau meninggalkanku?"
Bapak merinding. Matanya membelalak, jantungnya berdetak lebih cepat.
Ia mengenali suara itu.
Suara Rini.
Namun, saat ia menoleh ke sekeliling, tidak ada siapa-siapa.
Sementara itu, di dalam mushola, kain kafan yang menutupi jenazah Rini terlihat sedikit bergerak.
Warga yang melihatnya langsung membeku.