Bab 12: Cahaya di Kegelapan
Langit mulai gelap saat pemakaman selesai. Tanah merah yang masih basah menutupi liang lahat, sementara dupa masih mengepul tipis di udara.
Dari kejauhan, di balik pepohonan hutan, seorang wanita berbaju putih berdiri diam. Wajahnya tidak terlihat jelas, tapi ia seolah sedang mengawasi prosesi pemakaman.
Rahayu yang masih menangis memeluk Bapak erat.
"Bu... Jangan tinggalin Ayu..." isaknya pelan.
Bapak mengusap kepala putrinya, matanya kosong menatap makam Rini. Ia tidak bisa menangis. Perasaannya campur aduk, antara sedih, marah, dan perasaan aneh yang mengganggu pikirannya sejak tadi.
Setelah para warga selesai membaca doa terakhir, Haji Malik menepuk pundak Bapak.
"Pak Ramdan, semoga almarhumah tenang di sisi-Nya. Kami semua ikut berduka."
Bapak mengangguk pelan. "Terima kasih, Pak Haji. Terima kasih sudah membantu istri saya sampai akhir."
Haji Malik tersenyum simpati. "Hidup harus terus berjalan, Pak Ramdan. Yang pergi biarlah pergi. Yang masih hidup, harus tetap kuat."
Bapak tidak menjawab. Pikirannya masih melayang ke arah hutan. Wanita berbaju putih itu… siapa?
Namun, saat ia berkedip, wanita itu sudah menghilang.
Di rumah duka, malam harinya...
Puluhan warga berkumpul di ruang tengah, duduk bersandar di dinding sambil membaca tahlil. Lilin-lilin kecil menyala, memberikan cahaya temaram yang bergetar oleh hembusan angin.
Bapak duduk di sudut ruangan, tatapannya kosong.
Lalu, ia melihat sesuatu di luar rumah.
Wanita berbaju putih itu kembali.
Kali ini, ia memegang lentera.
Cahayanya redup, berpendar seperti api kecil yang nyaris padam.
Bapak tercekat. Jantungnya berdegup kencang.
Seketika, wanita itu menghilang.
Angin dingin berhembus masuk ke dalam rumah, membuat nyala lilin bergoyang liar.
Beberapa warga yang membaca tahlil merinding tanpa alasan.
Sementara itu, di sudut ruangan, Sri Kinanti hanya tersenyum samar.
Seolah ia tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain.