Bab 13: Malam yang Panjang
Setelah tahlilan selesai, warga mulai pulang satu per satu. Sebelum pergi, beberapa ibu-ibu membantu membereskan rumah. Mereka mengangkat piring-piring kotor, melipat tikar, dan menyapu sisa-sisa bunga yang berjatuhan di lantai.
Pak Haji masih duduk di ruang tamu bersama Bapak. Ia sengaja menemani lebih lama, memastikan Bapak tidak sendirian malam itu.
"Hidup memang begini, Pak Ramdan," kata Pak Haji, menyesap kopinya. "Kadang Tuhan menguji kita dengan kehilangan. Tapi yang pergi, insyaallah tenang. Yang masih hidup harus lebih kuat."
Bapak tersenyum tipis. Entah mengapa, ada rasa nyaman berbicara dengan Pak Haji. Meskipun dalam hati, ia sendiri tidak yakin dengan kata-kata itu.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari dapur.
Sri Kinanti muncul, membawa nampan dengan dua cangkir teh hangat.
"Ini, Pak Haji. Biar lebih hangat."
Pak Haji menatap Sri lama. Matanya tajam, seolah mencoba membaca sesuatu dari gerak-geriknya.
"Apa kau tidak malu, Sri?" katanya akhirnya, suaranya pelan tapi menusuk. "Orang yang sedang berduka, kau dekati seperti ini?"
Bapak terdiam. Ia menoleh ke arah Sri, ingin melihat reaksinya.
Sri hanya menundukkan kepala. Kedua tangannya masih memegang nampan dengan erat, tapi jemarinya tampak sedikit gemetar.
"Saya hanya ingin membantu, Pak Haji."
Pak Haji mengerutkan kening.
"Bantu dengan niat yang baik, Sri. Jangan lebih dari itu."
Sri tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, lalu perlahan meletakkan teh itu di meja sebelum kembali ke dapur.
Bapak menghela napas.
Ada sesuatu yang terasa tidak beres.
Pak Haji melihat ekspresi Bapak, lalu menepuk bahunya.
"Hati-hati, Pak Ramdan. Tidak semua niat baik itu benar-benar baik."
Bapak hanya mengangguk.
Dari dapur, Sri menguping dengan mata tajam.
Senyum kecil kembali mengembang di bibirnya.