Putri POV
Siang hari, pukul 14.25 waktu setempat
"Pah, gimana keadaan Mama di sana? Gimana perkembangannya sekarang?"
Saat ini, aku tengah berada di salah satu bangku di sekitar taman kampus. Setelah mata kuliah terakhirku selesai, aku memutuskan untuk menghubungi Papa via sambungan video call.
Terlihat raut penuh senyum Papa sebelum menjawab pertanyaanku.
"Mama udah mulai membaik, kok, Sayang. Tiap hari Papa bantu Mama latihan berjalan pelan-pelan, biar dia nggak ngerasa kaku."
Aku bersyukur dalam hati mendengar penuturan Papa. Sebulan yang lalu, Mama kecelakaan dan selama dua minggu lebih mengalami koma. Aku baru mengetahui kejadian tersebut kurang dari seminggu yang lalu, karena Papa selalu mengelak ketika aku bertanya ada apa, dan adik bungsukulah yang akhirnya menjelaskan semuanya padaku.
Aku sempat marah pada mereka semua karena tak mengabariku secepatnya. Meski begitu, Mama tetap ibuku dan aku menyayanginya setulus hati.
"Pah, itu Putri ya? Mama mau bicara juga..."
Hatiku sedikit waswas saat mendengar kalimat Mama dari seberang sana. Aku memang tak siap untuk berbicara dengan Mama, terlebih setelah mendengar semua penjelasan Papa tentang perubahan Mama sekarang.
Begitu wajah cantik Mama menatapku dari balik layar, aku menelan ludah, merasa gugup.
"Ha... halo, Mama?" sapaku pelan, sedikit menghindari tatapan intensnya padaku.
Begitu lama tidak ada balasan apa pun, dan aku memutuskan lebih baik mengakhiri panggilan ini.
"Em... ya, yaudah kalau gitu Mama istirahat lagi. Emm... aku..." Mataku memutar ke sana kemari, bingung mencari kata-kata yang pas.
"Mama rindu anak sulung Mama yang manis ini..."
Suara Mama terdengar begitu lembut, dan dia sedikit terkekeh melihat responku yang cukup canggung bicara padanya.
Sekejap saja, aku langsung memfokuskan mataku menatap Mama yang tersenyum. Catat, Mama tersenyum padaku!
Tanpa kusadari, air mataku perlahan menetes. Betapa bahagianya melihat senyuman Mama yang tertuju padaku.
"A... aku juga... hikss... rindu Mama... hiks..."
Gemetar suaraku saat mengucapkan kalimat ini. Selama 27 tahun hidup, baru kali ini aku dapat melihat senyuman Mama.
"Sshh, kok sulungnya Mama nangis, hem? Makasih ya, Sayang. Mama berharap kamu baik-baik saja di sana. Jangan telat makan, dan ingat jaga sholatmu ya, Nak?"
Mama tersenyum teduh sebelum mengucapkan sesuatu.
"Mama minta maaf atas semua yang pernah Mama lakukan sama kamu, Nak... Mama sungguh minta maaf..."
Aku menggeleng pelan kala mendapati suara parau Mama diikuti lelehan bening di wajah cantiknya.
"Tidak, Mah... jangan begitu. Putri udah maafin Mama kok. Aku nggak pernah dendam dengan apa pun yang Mama lakukan. Tolong lupain hal-hal yang lalu ya? Yang penting sekarang aku sangat senang karena Mama juga menyayangiku..."
Air mataku semakin menetes saat mengucapkan kalimat tersebut, sambil mengangkat jemariku mengusap layar ponsel seakan ingin menghapus air mata Mama di sana.
'Terima kasih ya Allah, akhirnya Mama menyayangiku...'
Selama dua jam ke depan, aku menghabiskan waktu mengobrol dengan kedua orang tuaku. Menurut penuturan Papa juga, dia akan membuka usaha dagangan di rumah dan aku sangat mendukung idenya itu.
Aku mengakhiri panggilan saat kurasa terik matahari sore begitu menyengat.
'Aku harus semangat lagi untuk kuliah! Dan mungkin aku akan cari kerja sambilan juga nanti...'
Saat aku kembali membereskan barang ke dalam tas, aku melihat buku yang kupinjam seminggu lalu dan menepuk jidatku karena lupa mengembalikannya, padahal hari ini batas terakhir peminjaman.
'Duh... sempet nggak ya? Aku belum dapat kerja sampingan, jadi musti hemat pengeluaran. Kalau sampai kena denda?'
Kepalaku menggeleng kuat saat memikirkan dampaknya. Aku mengecek waktu dan berpikir mungkin masih cukup jika bergegas sekarang.
Drap!
Langkah kakiku sedikit tak sabaran untuk meninggalkan area kampus ini. Tiba-tiba...
Brugh!
Kkhh...
"What the hell?! Oh my—Putri! Kenapa sih buru-buru gitu?! Ada masalah, huh?!"
Damn it! Aku malah menabrak Karen...
"Err... aku mau ke NYPL. Duh, maaf banget, Karen. Aku nggak sengaja."
Aku berkata cemas sambil mengecek keadaan Karen jika terluka atau apa. Syukurlah Karen tak apa-apa dan malah dia menawariku untuk naik mobilnya saja.
Aku sedikit tak enak, namun Karen memaksa dan akhirnya aku pun mengangguk.
Skip beberapa saat kemudian...
"Thanks, Karen, tumpangannya! Kalau mau balik duluan aja, nanti aku bisa pulang sendiri."
"Nope! Udah, cepetan kembalikan sana! Aku tungguin, nih. Santai aja, tempat tinggal kita searah kok, jadi barengan aja lagi."
Aku kembali tak enak hati saat Karen justru mematikan mesin mobilnya untuk menunggu.
"Baiklah..."
Aku lantas bergegas ke dalam perpustakaan dan tidak butuh waktu lama, aku kembali keluar.
"Thanks ya? Aku udah ngerepotin kamu sekali."
Karen hanya menggeleng pelan sambil mengemudikan mobilnya.
"Lusa malam free nggak?" tanya Karen, dan aku hanya menggelengkan kepala, tidak.
"Good! Temenin aku nonton pertandingan MMA, yuk? Soalnya aku ngefans banget sama yang bertarung nanti!" tambah Karen lagi.
Aku mengernyitkan dahi, merasa heran dengan kalimat Karen. "Jadi kamu ngikutin MMA cuma karena suka salah satu petarungnya gitu?"
Karen nyengir sambil menoleh padaku.
"Emang salah ya? Lagian, yang aku sukai ini tiap bertarung tuh pasti bikin lawan KO! Gila, keren banget. Kamu juga harus lihat, Put! Pokoknya Sabtu malam nanti aku jemput, dan kamu bisa buktiin sendiri apa yang aku bilang ini."
Aku hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala mendengar kalimat Karen yang begitu antusias ini.
Ya, sekali-kali refreshing bareng Karen mungkin tidak apa-apa...
-----
Madison Square Garden, pukul 20.45 malam
"Kyahh Put, lihat itu! Itu dia! Jake!!! Oh my God, seksi banget, uhh!!!"
Aku sedikit mengernyit kala mendengar keriuhan di dalam venue yang luas ini. Mataku sedikit menyipit untuk melihat jelas siapa sebenarnya si Jake ini yang begitu digilai oleh banyak orang, terutama teriakan histeris para wanita di sini.
'Ehh tunggu... bukannya itu yang ngejek aku sewaktu di perpustakaan?!'
Mataku membulat terkejut melihat sosok salah satu petarung MMA yang memakai celana pendek merah keemasan dan sarung tangan dengan warna serupa.
Kulit tan miliknya yang berpeluh sedikit berkilau kala diterpa cahaya. Yang membuatku sedikit tercengang adalah ukiran tato di lengan kirinya.
'Huh, naga membawa mawar, eh? Aneh banget, hehe...'
Aku menertawakan hal ini dalam hati saja karena takut akan ditatap tajam oleh para fans Jake yang tentunya para wanita yang memenuhi setengah dari venue ini.
Kembali aku mengamati Jake yang berada di atas ring sana. Meski aku tidak paham soal MMA, namun melihatnya yang begitu all out saat bertarung sedikit membuatku takjub—terlebih saat Jake menumbangkan lawannya hanya dalam babak pertama saja!
Kali ini, aku bergabung dalam sorakan riuh penonton kala Jake dinobatkan sebagai pemenang malam ini dan semakin mengukuhkan dirinya sebagai Sang Juara Bertahan.
"Ehh mau ke mana, Karen?!"
Aku terkejut saat Karen menarik lenganku menembus keramaian orang-orang yang menuju satu titik.
Wajahku terasa memanas kala mengetahui bahwa Karen menarikku bersamanya untuk mendekati Jake yang tengah diwawancarai sehingga banyak wanita mengerumuninya.
"Kyahh tampan banget! Put, lihat deh!! Astaga, Jake melihat ke mari!!! Put?! Putri?! Huh?!"
Suara Karen semakin naik dan matanya mencariku ke sana kemari karena aku lebih memilih pergi dari sebelah Karen barusan.
Deg... Deg... Deg...
Jantungku... kenapa berdebar gini sih?!
Aku meraba pipiku yang semakin panas saat mengingat Jake mengarahkan pandangannya tadi... dan jelas sekali kami bertatapan!
Putri POV END