Langsung Pulang, Langsung Ngadu
Begitu sampai rumah, Amara langsung masuk dengan muka cemberut.
Bajunya masih agak basah, rambutnya berantakan, dan hatinya… campur aduk!
Dia masih kepikiran kejadian di bawah hujan tadi.
Kenapa Rendi bisa senyaman itu?!
Kenapa tangannya hangat?!
Kenapa dia nggak langsung lepasin gue?!
Sial!
Amara gak tahan!
Harus ada yang dengerin keluh kesahnya.
Dan siapa lagi kalau bukan…
Mama!
Drama Dimulai
"MAMAAA!!!"
Amara masuk ke ruang tengah sambil teriak.
Mamanya yang lagi duduk santai sambil minum teh langsung noleh.
"Apaan sih, Amara? Kok heboh banget?"
Amara langsung duduk disofa, merosot, dan menghembuskan napas panjang.
"Mama gak bakal percaya sama yang barusan terjadi," katanya dramatis.
Mama mengangkat alis.
"Apa lagi, Nak?"
Mulai Ngadu
Amara menarik napas dalam-dalam.
Terus dia mulai curhat.
Tentang hujan.
Tentang gimana Rendi tiba-tiba narik dia.
Tentang gimana cowok itu gak mau lepasin tangannya.
Dan puncaknya…
Tentang momen di mana Rendi tiba-tiba naruh tangan di pipinya.
"Sumpah, Ma! Itu bikin jantung aku kayak mau copot!" Amara menggebu-gebu.
Dia berharap Mama bakal kaget atau setidaknya bereaksi sesuai ekspektasi.
Tapi…
Yang dia dapat malah sesuatu yang bikin makin gondok.
Respon yang Nggak Sesuai Harapan
Mama bukannya kaget.
Bukannya marah.
Bukannya protes ke Rendi.
Tapi malah…
SENYUM-SENYUM SENDIRI?!
"Heh? Mama?!" Amara melotot.
Mama mengangguk-angguk pelan sambil menyesap tehnya.
"Hmm… menarik."
"MENARIK APANYA?!?"
Mama tertawa pelan.
"Kamu cerita kayak gini, kayaknya ada sesuatu yang beda, deh…"
Amara membelalak.
"Maksudnya?!"
Mama memandang Amara dengan tatapan penuh arti.
"Kamu yakin nggak suka sama Abangmu Rendi?" tanyanya santai.
"MAMA!!!"
Bantahan yang Gak Meyakinkan
Amara langsung loncat dari sofa.
"Mama nggak dengerin curhatan aku, ya?! Ini masalah besar! Masalah hidup dan mati!"
Mama menaruh cangkir tehnya dan tersenyum lembut.
"Masalah hidup dan mati karena dipeluk cowok?" tanyanya polos.
Amara membeku.
Duh, kalau gini jatuhnya kayak gue yang lebay!
"Tapi, Ma! Rendi itu nyebelin, dingin, dan cuek! Kenapa dia tiba-tiba baik gitu, sih?!"
Mama tertawa kecil.
"Berarti ada yang berubah dari dia, kan?"
"Tapi…!"
Tante Mirna memandang Amara dengan senyum penuh arti lagi.
"Kamu nggak bisa bohong, Nak."
Amara terdiam.
Jantungnya lagi-lagi berdetak gak karuan.
Dia mencoba menyangkal.
Tapi…
Beneran gak ada yang berubah dihatinya?
Atau jangan-jangan…
Mama ada benarnya?
Tante Mirna Masih Senyum-Senyum
Amara masih berdiri didepan sofa.
Mukanya kesal, frustasi, dan campur aduk.
Sementara Mamanya?
Masih duduk santai, minum teh, dan tersenyum penuh arti.
Kenapa ini malah jadi kayak sesi interogasi?!
"Mama, dengerin aku serius deh! Ini bukan hal kecil!" Amara masih ngotot.
Tante Mirna menatapnya lembut. "Iya, iya. Mama dengerin. Jadi, apa yang bikin kamu paling kesel?"
Amara menatap langit-langit, mencoba mengatur napas.
"Yang bikin aku kesel adalah… dia gak langsung lepasin aku!"
Mama mengangguk pelan. "Terus?"
Amara mengerutkan alis.
"Dan dia tiba-tiba bilang 'gue gak mau lepas'. Itu kan aneh, Ma?!"
Mama mengangkat satu alis.
"Lalu?"
Amara menggigit bibirnya.
"Dan… pas dia naruh tangannya di pipi aku… entah kenapa aku gak bisa gerak."
Mama langsung menatap Amara tajam.
"Aha!"
Amara langsung mundur selangkah.
"Aha apaan?!"
Mama menyilangkan tangan.
"Jadi yang bikin kamu paling kesel itu bukan karena dia peluk kamu atau genggam tangan kamu."
Amara mengerutkan kening. "Terus?"
Mama tersenyum penuh kemenangan.
"Kamu kesel karena… kamu juga ngerasa sesuatu pas dia ngelakuin itu."
DEG!
"HAH?!"
Amara membelalak.
"Tidak! Mama salah!"
Tante Mirna mengangkat bahu santai.
"Kamu bisa bohong ke Mama, tapi kamu gak bisa bohong ke diri sendiri, Nak."
Makin Gondok, Makin Bingung
Amara mengacak rambutnya frustrasi.
"Ma! Aku cerita ini biar Mama bantu aku, bukan malah ngejebak aku ke kesimpulan yang salah!"
Tante Mirna tertawa pelan.
"Tapi Mama gak ngejebak, lho. Mama cuma menunjukkan fakta."
Amara menggigit bibirnya.
Sial. Ini gak bener.
Kenapa… omongan Mama masuk akal?!
Amara langsung bangkit.
"Aku capek! Aku kekamar dulu!"
Sebelum Mamanya bisa bicara, Amara langsung kabur keatas.
Di Kamar: Berusaha Menolak Kenyataan
Amara menutup pintu, lalu menjatuhkan diri ke kasur.
Dia menutupi wajahnya dengan bantal.
"Aaaaaaargh!"
Kenapa gue malah jadi kayak gini?!
Kenapa… gue mikirin Rendi terus?!
Dan kenapa… dada gue berdebar pas inget kejadian tadi?!
TIDAK! Ini tidak boleh terjadi!
Amara menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
Gue gak suka Rendi.
Gue cuma kesel! Itu aja!
Tapi…
Kenapa makin gue menyangkal, makin gak masuk akal?!
Di Kamar, Mencoba Melupakan (Tapi Gagal)
Amara masih tengkurap dikasur, wajahnya terkubur dibantal.
Dia berusaha keras untuk menghapus semua kejadian tadi dari otaknya.
Tapi…
Semakin dia mencoba, semakin jelas wajah Rendi muncul di pikirannya.
Genggaman tangannya.
Tatapan matanya.
Suara pelan yang bilang 'jangan lepasin dulu'.
DEG!
Amara langsung bangun dan mengacak rambutnya sendiri.
"ARGH! Kenapa gue jadi kayak gini?!"
Dia bangkit, berjalan mondar-mandir di kamar.
"Oke, oke. Gue gak suka Rendi."
"GUE. GAK. SUKA. REN—"
Tapi sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya…
Wajah Rendi kembali muncul dipikirannya.
Kali ini, wajahnya pas dia tersenyum tipis tadi.
Senyum yang… buat Amara ngerasa aneh.
Senyum yang gak pernah dia lihat sebelumnya.
Dan yang paling gawat…
Senyum itu bikin jantungnya berdebar lagi!
Amara langsung membanting dirinya kekasur lagi.
"MAMAAA, KENAPA NGOMONGANNYA MASUK AKAL?!"
HP Berdering, Muncul Nama yang Bikin Panik
Saat Amara masih berguling-guling di kasur, HP-nya tiba-tiba berdering.
BZZT! BZZT!
Amara meraih HP-nya dengan malas.
Dia melihat nama yang muncul di layar…
RENDI.
DEG!
Amara langsung duduk tegak.
Tangannya langsung dingin.
Kenapa dia nelpon?!
Gak, gak. Harus diabaikan!
Dia menatap layar HP-nya dengan tatapan penuh konflik.
Tapi entah kenapa…
Jari-jarinya bergerak sendiri.
TEKAN TOMBOL ANGKAT.
"HALO?" suara Amara terdengar lebih gugup dari yang dia harapkan.
Di seberang sana, suara Rendi terdengar santai.
"Udah kering bajunya?"
Amara membeku.
APAAN SIH PERTANYAANNYA?!
Kenapa dia nanya kayak gitu?!
Dan yang lebih parah…
Kenapa nada suaranya terdengar… peduli?
Amara menggigit bibirnya.
"…Udah."
"Bagus," jawab Rendi singkat.
Lalu hening.
Amara merasakan jantungnya mulai berdebar lagi.
Kenapa hening begini?!
Apa dia harus ngomong sesuatu?
Tapi sebelum dia bisa berpikir…
Rendi tiba-tiba bicara lagi.
Kalimat yang Bikin Dunia Amara Berhenti
"Gue seneng lo gak sakit."
DEG!
Amara langsung terdiam.
Apa barusan gue salah denger?!
Rendi seneng gue gak sakit?
Kenapa dia bilang kayak gitu?!
Dan lebih penting lagi…
KENAPA SUARANYA BEGITU TULUS?!
Amara menggenggam HP erat-erat.
Mulutnya ingin membalas sesuatu, tapi otaknya kayak berhenti bekerja.
Di seberang sana, Rendi masih diam.
Seolah… dia juga bingung kenapa dia ngomong begitu.
Dan sekarang, mereka berdua sama-sama diam.
Bukan karena gak ada yang mau ngomong.
Tapi karena…
Mereka sama-sama mulai menyadari sesuatu yang selama ini mereka abaikan.