Dia Ayankk"ku

Hari itu, suasana sekolah lebih ramai dari biasanya. Rendi berjalan santai di lorong menuju kelasnya, berusaha menghindari keributan yang biasa terjadi setiap pagi.

Namun, ketenangannya terusik ketika tiba-tiba terdengar suara Amara dari kejauhan.

"YANKKK!!"

Rendi langsung membeku.

Perasaan gak enak mulai muncul.

Ketika dia menoleh, benar saja Amara sudah berlari kearahnya dengan kecepatan penuh.

Sebelum Rendi sempat menghindar, Amara sudah melompat kepunggungnya dan merangkulnya erat.

"Yank, aku kangen!" katanya dengan nada manja.

Rendi hampir tersedak napasnya sendiri.

"Amara, LO GAK MALU APA?!" bisiknya dengan panik, sadar kalau banyak siswa lain mulai menatap mereka dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

Amara malah semakin menempel.

"Kenapa mesti malu? Kan lo AYANGKU!" katanya dengan bangga.

Suasana langsung hening.

Banyak siswa yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing, sekarang menatap mereka dengan mata melebar.

Rendi bisa merasakan tatapan-tatapan tajam menusuknya.

"Ayang?" bisik salah satu siswa dengan nada kaget.

"Rendi pacaran sama Amara?!" seorang cewek lain mulai berbisik-bisik dengan temannya.

"Astaga, seriusan?!"

Rendi langsung merasakan kepalanya pening.

"Amara, lo jangan sembarangan ngomong!" katanya sambil berusaha melepaskan diri.

Tapi Amara malah semakin erat memeluknya.

"Loh, beneran kok! Rendi tuh AYANGKU!" katanya dengan nada penuh kepastian.

Rendi merasa pengen menghilang kedalam tanah saat itu juga.

Dia mencoba melepaskan tangan Amara, tapi bocil bar-bar itu terlalu kuat.

"Gue gak percaya ini terjadi," gumamnya frustasi.

Sementara itu, gosip mulai menyebar ke seluruh sekolah dengan kecepatan cahaya.

"Rendi pacaran sama anak kelas 1?!"

"OMG, serius?! Bukannya dia gak tertarik sama cewek?"

"Wah, bocil bar-bar itu emang berani banget!"

Rendi benar-benar merasa ingin kabur.

Namun, di tengah rasa malunya, dia bisa melihat ekspresi Amara yang tampak sangat senang.

Seolah-olah dia benar-benar bangga bisa memproklamirkan dirinya sebagai 'Ayang' Rendi.

Dan anehnya... Rendi merasa tidak benar-benar keberatan.

Mungkin karena, jauh di dalam hati kecilnya, dia mulai terbiasa dengan keberadaan bocil bar-bar ini dalam hidupnya.

Rendi hanya bisa pasrah saat Amara masih menempel erat dilengannya.

"Bocil, udah lepasin gue!" bisiknya pelan, berusaha menjaga harga dirinya.

Tapi Amara malah makin erat menggenggam tangannya.

"Kenapa? Takut ada yang iri?!" katanya dengan nada penuh kemenangan.

Tatapan siswa-siswa lain makin tajam.

Beberapa cewek kelas 3 yang selama ini mengagumi Rendi, mulai berbisik-bisik sambil menatap Amara dengan ekspresi tidak percaya.

"Seriusan? Masa Rendi lebih milih bocil itu daripada kita?"

"Dia anak kelas 1, kan? Kok bisa sih?!"

Sementara itu, Rendi makin pusing.

Dia merasa seperti target nasional hari itu.

Tapi Amara malah menikmati semua perhatian yang tertuju padanya.

"Dengar ya, semuanya!" seru Amara tiba-tiba.

"Rendi itu AYANGKU! Jadi kalau ada yang suka sama dia, lupain aja! Dia cuma milik gue!"

Suasana langsung gempar.

Beberapa cewek yang suka Rendi langsung terdiam dengan ekspresi syok.

Sementara teman-teman cowok langsung bersiul dan bersorak heboh.

"Gila, bocil ini berani banget!"

"Wah, Rendi kalah nih, diklaim bocil bar-bar!"

Rendi hanya bisa menutup wajahnya dengan tangan.

"Ya Tuhan, kapan mimpi buruk ini berakhir?"

Namun, di tengah rasa malunya, dia bisa melihat wajah Amara yang tampak benar-benar senang.

Seakan-akan dia benar-benar bangga bisa memiliki Rendi.

Dan, anehnya… ada sesuatu di dalam hati Rendi yang terasa hangat.

Seolah… kehidupannya yang sebelumnya biasa-biasa saja, kini menjadi lebih hidup karena kehadiran bocil bar-bar ini.

Rendi menghembuskan napas panjang. Semua mata masih tertuju pada mereka.

"Amara, gue bilangin baik-baik. Lepasin tangan gue sekarang, atau—"

"Atau apa? Mau cium aku di depan umum?" Amara menantang dengan nada menggoda.

Seketika, suasana tambah heboh.

"CIUM! CIUM! CIUM!" Beberapa teman Rendi malah mulai bersorak jahil.

Rendi langsung mencengkeram kepalanya. "Gue udah gila..."

Tapi bukannya takut atau malu, Amara justru semakin menikmati dramanya sendiri.

"Udah deh, Yank, ngaku aja!" katanya dengan nada manja. "Aku ini spesial buat lo, kan?"

Rendi menatap bocil ini dengan ekspresi frustasi.

Tapi sebelum dia bisa membalas, tiba-tiba sebuah suara menyela.

"Rendi, bisa bicara sebentar?"

Rendi menoleh dan menemukan Melia, cewek kelas 3 yang cukup populer, berdiri dengan tangan terlipat.

Tatapannya lurus kearah Amara, penuh ketidakpercayaan.

"Lo serius sama bocil ini?" tanyanya dengan nada dingin.

Amara langsung menyeringai dan menempel lagi ke Rendi.

"Kenapa? Iri?" katanya sambil melingkarkan lengannya di lengan Rendi dengan lebih erat.

Rendi langsung panik.

"Bocil, udah! Jangan bikin masalah lagi!" bisiknya cepat.

Tapi Amara malah semakin menempel.

"Aku kan cuma bilang yang sebenarnya. Lagian, kenapa lo nanya, Kak? Penasaran?"

Melia mengerutkan dahi.

"Gue cuma nggak nyangka aja. Selama ini Rendi selalu kelihatan cuek sama cewek. Tapi ternyata... bocil ini berhasil, ya?"

Rendi hampir pingsan ditempat.

Amara tertawa kecil.

"Yah, mungkin aku ini pengecualian. Lagian, kan Rendi udah jadi AYANGKU~"

Rendi benar-benar ingin menghilang saat itu juga.

Tapi, di tengah kekacauan ini, dia mulai sadar satu hal.

Amara benar-benar tidak peduli dengan apa pun yang orang pikirkan.

Dia berani, dia bar-bar, dan dia… tidak takut mengklaim Rendi sebagai miliknya.

Dan, entah kenapa… ada bagian kecil dalam hati Rendi yang mulai terbiasa dengan ini semua.

Rendi mengusap wajahnya dengan frustasi. Semua mata masih tertuju padanya dan Amara.

"Bocil, udah cukup dramanya!" bisik Rendi dengan nada putus asa.

Tapi Amara malah tersenyum penuh kemenangan.

"Loh? Aku kan cuma jujur! Lagian, lo gak bangga punya pacar imut kayak aku?" katanya sambil mengedipkan sebelah mata.

Rendi langsung merasa suhu tubuhnya naik.

"Bocil, kita nggak pacaran!" bisiknya panik.

Amara cuma cemberut sebentar, lalu tersenyum nakal.

"Tapi kita kan udah tunangan, Yank~ Jadi aku udah resmi jadi AYANG lo!"

"Tunangan kepala lo! Itu cuma wasiat, bukan berarti kita—"

Sebelum Rendi bisa menyelesaikan kalimatnya, Melia cewek yang tadi menegurnya berdehem keras.

"Rendi, gue serius nanya. Lo sama bocil ini beneran?"

Suasana langsung semakin tegang.

Amara melipat tangan di dada dengan ekspresi percaya diri.

"Kenapa sih lo nanya terus? Lo suka Rendi, ya?" tanyanya dengan nada menggoda.

Melia terdiam. Wajahnya sedikit berubah, tapi dia tetap mempertahankan ekspresi santainya.

"Bukan urusan lo, Bocil."

Amara langsung terkekeh.

"Ah, berarti bener! Kak Melia suka Rendi!" katanya dengan nada menggoda.

Keributan semakin menjadi. Beberapa siswa mulai saling berbisik, sementara teman-teman Rendi menahan tawa melihat sahabatnya semakin terjebak dalam kekacauan yang diciptakan Amara.

"Rendi, gue gak nyangka lo ternyata bisa menarik perhatian anak kelas 1 sebar-bar ini," kata salah satu teman sekelasnya.

"Gue juga nggak nyangka," balas Rendi lemas.

Melia menghela napas dan menatap Rendi dalam-dalam.

"Yaudah, gue nggak mau ribut. Gue cuma pengen tahu aja."

Lalu dia berbalik dan pergi, meninggalkan Rendi yang masih memegangi kepalanya, setengah frustasi.

Sementara itu, Amara masih menempel dilengannya dengan bangga.

"Liat, Yank! Sekarang semua orang tahu kalau lo punyaku~" katanya dengan nada puas.

Rendi hanya bisa menghela napas panjang.

Di satu sisi, dia benar-benar ingin kabur dari situasi memalukan ini.

Tapi di sisi lain… ada sesuatu dalam dirinya yang merasa tidak keberatan lagi dengan keberadaan bocil bar-bar ini dalam hidupnya.