Setelah insiden di sekolah, Rendi benar-benar merasa butuh istirahat.
Tapi harapannya untuk mendapatkan ketenangan langsung hancur saat Amara mengikuti langkahnya terus seperti bayangan.
"Bocil, lo mau apa lagi?" tanya Rendi malas sambil membuka pintu gerbang rumah.
Amara langsung menyeringai. "Aku mau ngobrol sama ayangku~"
Rendi langsung mendesah.
"Stop panggil gue ayang!"
Tapi Amara malah nyengir lebih lebar. "Kenapa? Malu? Padahal tadi di sekolah udah resmi kok!"
"RESMI APANYA?!" Rendi hampir teriak. "Lo itu cuma bocil bar-bar yang suka bikin masalah!"
Amara langsung memasang ekspresi pura-pura sedih. "Yah, kok ayang jahat banget sih..."
Rendi hampir kehilangan akal sehatnya.
Tapi sebelum dia bisa membalas, Amara tiba-tiba menarik lengannya dan menatapnya dengan tatapan serius.
"Dengerin, ya. Jangan bilang Mama kalau tadi di sekolah aku bilang kita pacaran."
Rendi langsung mengernyit.
"Hah? Kenapa?"
Amara menoleh ke arah rumah dengan ekspresi waspada.
"Soalnya kalau Mama tahu, bisa-bisa aku langsung diceramahin seminggu penuh!" katanya setengah berbisik.
Rendi hampir tertawa.
"Pantesan tadi lo berani banget. Lo pikirin dulu resikonya, dong, Bocil!"
Amara langsung memukul bahunya pelan. "Makanya tolong tutup mulut, ya? Aku percaya sama lo!"
Rendi memandang Amara sejenak.
Biasanya, dia selalu melihat bocil ini sebagai troublemaker.
Tapi entah kenapa, kali ini Amara benar-benar terlihat seperti gadis kecil yang takut dimarahi mamanya.
Akhirnya, Rendi menghela napas panjang.
"Yaudah, gue nggak bakal bilang. Tapi lo juga jangan bikin masalah lagi, ngerti?"
Amara langsung tersenyum lebar dan mengacungkan jempol.
"Siap, Yank! Eh, maksudku, siap, bang Rendi~"
Rendi langsung menutup wajahnya dengan tangan.
"Gue nyesel bantuin bocil ini..."
Rendi masuk ke rumah dengan perasaan campur aduk.
Di satu sisi, dia lega karena Amara nggak bikin masalah lebih jauh.
Tapi di sisi lain… kenapa dia malah terlibat dalam kekacauan ini?
"Haduuuh… gue jadi partner in crime bocil bar-bar."
Sementara itu, Amara dengan santainya mengikutinya masuk.
Begitu masuk rumah, mereka langsung melihat Tante Mirna yang sedang duduk di ruang tamu sambil minum teh.
"Kalian baru pulang?" tanya Tante Mirna dengan tatapan menyelidik.
Amara langsung menegang.
Rendi bisa melihat jelas kalau bocil ini mulai panik.
"I-Iya, Ma! Kita pulang bareng aja tadi…" jawab Amara canggung.
Tante Mirna mengerutkan kening. "Kenapa kamu grogi gitu, Amara?"
Amara langsung tersenyum kaku. "G-gak kok! Mana ada? Hehehe…"
Rendi langsung memutar otak untuk mengalihkan perhatian.
"Tante, tadi Amara kebanyakan jajan di kantin. Dia heboh banget rebutan gorengan."
Amara langsung melotot ke Rendi.
"HAH?! BANG RENDI!!!"
Tante Mirna menatap putrinya dengan tatapan tajam.
"Amara… kamu ribut lagi di sekolah?"
Amara langsung panik dan menggeleng cepat.
"Nggak kok, Ma! Aku anak baik hari ini!"
Rendi hampir ketawa, tapi dia menahan diri.
"Anak baik yang tadi teriak-teriak di sekolah kalau gue ayang dia…" pikirnya dalam hati.
Tante Mirna masih curiga, tapi akhirnya menghela napas.
"Ya udah. Abang, tolong awasi Amara, ya."
"SIAP, TAN!" sahut Rendi penuh semangat.
Amara langsung manyun.
Begitu masuk ke dalam kamar masing-masing, Amara langsung menutup pintu kamar Rendi dengan keras.
"BANG RENDI, KENAPA NGOMONG KAYAK GITU SIH?!"
Rendi tertawa. "Biar lo nggak ngomong yang aneh-aneh depan tante."
Amara mendelik. "Tapi lo malah bikin gue keliatan kayak bocil doyan jajan!"
Rendi mengangkat bahu. "Emang iya, kan?"
Amara langsung melempar bantal ke arah Rendi.
"HUH! JAHAT!"
Rendi tertawa kecil.
Entah kenapa, kehidupan yang awalnya terasa biasa aja… sekarang jadi jauh lebih berwarna.
Setelah sesi protes Amara yang penuh drama, Rendi akhirnya bisa duduk santai di kamarnya.
Tapi tentu saja, kedamaian itu tidak berlangsung lama.
"Bang Rendi!"
BRAK!
Pintu kamar Rendi terbuka lebar.
Dan bocil itu sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan di pinggang.
Rendi hampir jatuh dari kursinya. "Bocil! Pintu punya engsel, tahu?! Ketuk dulu kek!"
Amara tidak peduli.
Dengan langkah percaya diri, dia masuk ke dalam dan langsung duduk di kasur Rendi.
"Lo ngapain di sini?" tanya Rendi malas.
Amara melipat tangan. "Gue cuma mau pastiin lo beneran nggak bakal bocorin ke Mama!"
Rendi mendesah panjang. "Iya, iya, gue nggak bakal bilang. Udah puas?"
Amara mengerutkan dahi.
"Gue gak yakin..." gumamnya sambil menyipitkan mata curiga.
Rendi memutar bola mata.
"Bocil, lo tuh parnoan banget. Gue udah janji, yaudah percaya aja!"
Amara masih terlihat tidak puas.
Tiba-tiba, matanya berbinar. "Oke, gue bakal percaya… kalau lo mau sumpah!"
"Sumpah?" Rendi menatapnya skeptis. "Lo pikir ini acara sidang pengadilan?"
Amara nyengir. "Sumpah pake pinky promise!"
"APA?!"
Amara langsung mengulurkan jari kelingkingnya ke arah Rendi.
"Ayo, bang! Janji dulu! Lo gak boleh bilang apa pun ke Mama!"
Rendi memandangi gadis itu dengan ekspresi penuh kelelahan.
"Bocil… seriusan?"
Amara mengangguk cepat.
Akhirnya, dengan enggan, Rendi mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Amara.
"Yaudah, gue janji."
Amara tersenyum puas.
Tapi sebelum Rendi bisa merasa lega, Amara tiba-tiba menarik tangannya lebih dekat dan berbisik:
"Kalau lo ngelanggar janji… lo bakal kena kutukan bocil bar-bar!"
Rendi langsung menarik tangannya dengan ngeri. "Apaan sih?! Lo makin absurd aja!"
Amara hanya terkikik sebelum akhirnya berdiri.
"Oke! Gue percaya lo sekarang, bang Rendi!" katanya ceria.
Sebelum pergi, dia sempat menepuk bahu Rendi dan menambahkan:
"Inget, ya. Kalau lo sampai bilang, lo bakal kena serangan bocil 24 jam nonstop!"
Lalu dia langsung kabur ke kamarnya.
Rendi hanya bisa menatap pintu yang tertutup dengan ekspresi frustasi.
"Ya Tuhan… hidup gue beneran jadi nggak normal gara-gara bocil ini…"
Setelah Amara keluar dari kamarnya, Rendi akhirnya bisa menarik napas panjang.
Tapi baru aja dia mau rebahan di kasur, pintunya diketuk lagi.
Tok! Tok! Tok!
"Bang Rendi, gue boleh masuk lagi?"
Rendi langsung memijat pelipisnya.
"Bocil, lo belum puas ganggu gue?"
"Cuma sebentar! Ada hal penting nih!"** Suara Amara terdengar mendesak.**
Dengan berat hati, Rendi bangkit dan membuka pintu.
Amara langsung nyelonong masuk.
"Dengar ya, bang. Gue baru kepikiran sesuatu..." katanya sambil menutup pintu dan berdiri di depan Rendi dengan ekspresi serius.
"Apalagi?" tanya Rendi malas.
Amara menggigit bibirnya ragu, lalu berkata pelan, "Kalau tiba-tiba Mama curiga dan nanya, kita harus punya jawaban yang sama!"
Rendi menatapnya datar. "Jawaban soal apa?"
"Soal tadi di sekolah!" jawab Amara cepat.
Rendi menghela napas. "Ya tinggal bilang aja lo asal ngomong! Simple!"
Amara langsung menggeleng cepat. "Nggak bisa! Kalau Mama makin kepo, bisa bahaya!"
Rendi mulai merasa pusing. "Terus lo maunya gimana?"
Amara berpikir sejenak, lalu berkata penuh keyakinan, "Kalau Mama nanya, kita jawab aja kalau itu cuma bercandaan! Gue kan emang suka becanda!"
Rendi mengangkat alis. "Oke. Gue setuju."
"Beneran?" Mata Amara berbinar.
"Iya, iya, asal lo nggak ganggu gue lagi!" jawab Rendi cepat.
Amara langsung tersenyum puas.
Tapi sebelum dia keluar kamar, dia tiba-tiba berbalik dan menambahkan dengan nada menggoda, "Eh, tapi... kalau bang Rendi beneran mau jadi ayang gue juga nggak apa-apa, kok~"
Rendi langsung melempar bantal ke arahnya. "Keluar, bocil!"
Amara tertawa keras sebelum akhirnya lari keluar kamar.
Begitu pintu tertutup, Rendi akhirnya bisa rebahan dan menatap langit-langit kamar.
"Ya Tuhan... hidup gue makin aneh gara-gara bocil ini..."