Sabtu pagi, Rendi bangun dengan semangat. Hari ini dia berencana ngajak Amara jalan-jalan.
Setelah minggu-minggu penuh dengan drama dan kegilaan bocil bar-bar itu, Rendi merasa mereka butuh waktu santai di luar.
Dia pun langsung menuju kamar Amara dan mengetuk pintunya.
Tok! Tok! Tok!
"Bocil! Bangun! Ayo kita jalan!"
Tidak ada jawaban.
Rendi mengernyit. Biasanya bocil ini langsung ribut kalau ada yang ganggu tidurnya.
Dia pun mencoba lagi. "Oi, bocil! Jangan males-malesan, udah siang!"
Masih tidak ada jawaban.
Karena penasaran, Rendi pun membuka pintu sedikit dan mengintip ke dalam.
Amara sedang meringkuk di atas kasur dengan wajah kusut.
Rendi mengerutkan dahi. "Eh, bocil? Lo kenapa?"
Amara mengangkat wajahnya sedikit dan menatap Rendi dengan mata setengah tertutup.
"bang Rendi… gue lagi sekarat..." gumamnya lemah.
Rendi langsung panik. "Hah? Lo sakit?!"
Amara mengangguk pelan. "Iya… perut gue sakit banget…"
Rendi langsung masuk ke kamar dan duduk di tepi kasur. "Sejak kapan? Lo demam? Lo butuh dokter?"
Amara menggeleng. "Bukan demam… ini…"
Dia diam sebentar, lalu berbisik, "Lagi dapet."
Rendi langsung terdiam.
Otaknya memproses informasi itu selama beberapa detik sebelum akhirnya dia bersandar dan menghela napas.
"Ya ampun, bocil… lo drama banget."
Amara langsung merengut. "Ih! Lo kira ini gampang, hah?! Sakit banget, tahu!"
Rendi tertawa kecil. "Yaudah, yaudah. Lo mau gue beliin apa? Gue batalin jalan-jalannya."
Amara memutar mata. "Tentu aja batal! Masa gue diseret ke luar pas lagi sekarat gini?"
Rendi tertawa kecil. "Oke, oke. Tapi lo butuh apa? Minuman hangat? Cokelat? Bantal pemanas?"
Mata Amara berbinar sedikit. "Cokelat boleh!"
Rendi berdiri. "Oke, tunggu sini. Gue beli dulu."
Amara menatapnya dengan ekspresi terharu.
"bang Rendi… lo baik banget."
Rendi mengangkat alis. "Ya iyalah, daripada lo ngeluh terus sepanjang hari."
Amara langsung manyun. "IH! Gue udah mau bilang makasih loh! Tapi yaudah, batal!"
Rendi tertawa sambil keluar kamar.
Sementara itu, Amara hanya bisa tersenyum kecil sambil memeluk bantalnya.
Ternyata… bang Rendi bisa perhatian juga, ya?
Setelah pergi sebentar, Rendi kembali ke kamar Amara dengan kantong plastik di tangan.
"Oke, bocil, nih cokelat lo."
Amara langsung bangun dengan mata berbinar. "Mana? Mana?!"
Rendi melempar sebatang cokelat ke arahnya. Amara menangkapnya dengan cekatan dan langsung membuka bungkusnya.
"Hmmm… enak!" katanya sambil mengunyah pelan.
Rendi menyandarkan diri ke dinding sambil menyilangkan tangan. "Gue juga beli teh hangat buat lo. Katanya bagus buat yang lagi…"
Dia berhenti sebentar, agak canggung menyebut 'mens'.
Amara terkikik. "Bang Rendi sok malu gitu, sih? Bilang aja, lagi menstruasi!"
Rendi mendesah. "Ya elah, bocil. Gue cuma gak nyaman aja ngomong gitu."
Amara tersenyum jahil. "Laki-laki harus paham soal beginian! Apalagi lo sekarang jadi suami gue!"
Rendi melotot. "Anjir, bocil! Itu perjodohan doang, ya!"
Amara mengangkat bahu santai. "Tapi tetep aja, statusnya gue istri lo."
Rendi hanya bisa menghela napas pasrah. "Udah, udah. Minum tehnya, biar lo gak rewel lagi."
Amara menerima gelas teh yang diberikan Rendi dan meniupnya pelan sebelum menyeruputnya.
"Hmmm… lumayan enak!"
Rendi tersenyum tipis. "Baguslah. Jadi, lo gak nyusahin gue lagi?"
Amara mengerucutkan bibirnya. "Tergantung."
"Tergantung apa?"** Rendi menatapnya curiga.**
"Tergantung bang Rendi mau nemenin gue nonton drama gak?" Amara tersenyum penuh harapan.
Rendi langsung mundur sedikit. "Aduh, bocil. Lo mau nonton drama apa dulu?"
"Drama Korea, lah!" Amara mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan judulnya.
Rendi langsung ingin kabur. "Ogah! Gue gak kuat liat orang nangis-nangis berjam-jam!"
Amara langsung merengek. "Plissss, bang! Gue lagi sakit! Anggep aja ini sebagai bentuk kepedulian lo ke istri lo!"
Rendi memijat pelipisnya. Kenapa bocil ini selalu pakai jurus drama?
"Yaudah, tapi satu episode doang!" katanya akhirnya.
Amara langsung bersorak pelan. "Yeay! Bang Rendi baik banget!"
Rendi hanya bisa menghela napas pasrah sambil duduk di samping Amara.
Hari yang awalnya dia rencanakan untuk jalan-jalan berubah jadi sesi nonton drama bareng bocil bar-bar ini.
Dan yang lebih parah… dia mulai menikmati dramanya.
Setelah beberapa menit menonton, Rendi mulai gelisah.
"Bocil, ini kapan selesainya? Kok dramanya banyak nangis?" keluhnya.
Amara menatapnya sebal. "Namanya juga drama Korea! Harus ada yang nangis, biar kerasa emosinya!"
Rendi mendesah. "Ya tapi nggak gini juga. Baru lima belas menit udah tiga kali nangis!"
Amara melotot. "Ih, bang Rendi! Jangan banyak protes! Fokus aja nonton!"
Rendi menghembuskan napas pasrah. Demi bocil ini, dia terpaksa menahan diri.
Saat adegan romantis muncul, Amara mendekatkan diri ke layar ponsel, matanya berbinar-binar.
"Ih, bang! Lihat deh, cowoknya sweet banget! Coba bang Rendi juga gitu ke gue~" godanya.
Rendi langsung menoleh dengan ekspresi horor. "Lo ngarep banget, bocil!"
Amara ngakak. "Yah, siapa tahu bang Rendi tiba-tiba jadi cowok romantis juga?"
Rendi mencibir. "Nggak bakal terjadi."
Namun, tiba-tiba Amara mengerang pelan dan memegang perutnya.
Rendi langsung panik. "Eh, lo kenapa lagi?!"
Amara mengerang lagi. "Perut gue keram…"
Tanpa berpikir panjang, Rendi meraih bantal dan menyodorkannya ke Amara.
"Nih, taruh di perut lo. Gue juga bacain doa sekalian, biar cepet sembuh."
Amara tertawa pelan. "Ih, bang Rendi ternyata perhatian juga ya…"
Rendi melirik sebal. "Udah diem. Cepet sembuh, biar besok gue bisa ajak lo jalan beneran."
Amara menatap Rendi lama, lalu tersenyum kecil.
"Oke, janji ya?"
"Janji."
Sore itu, mereka lanjut menonton drama. Rendi mungkin masih banyak protes, tapi entah kenapa dia tetap bertahan di sana menemani bocil bar-bar ini.
Dan tanpa sadar, dia mulai terbiasa dengan kehadirannya.
Setelah beberapa lama menonton, Amara mulai terlihat mengantuk.
Dia menggeliat kecil, kepalanya tanpa sadar bersandar di bahu Rendi.
"Hmm… bang Rendi hangat…" gumamnya setengah sadar.
Rendi menegang. "Eh, bocil? Lo sadar nggak sih nyender ke gue?"
Tidak ada jawaban.
Rendi melirik ke samping dan mendapati Amara sudah tertidur dengan nafas teratur.
"Hadeh… bocil satu ini, kalau tidur nyelonong aja."
Rendi mendiamkan Amara sebentar, membiarkannya tidur dengan nyaman.
Namun, beberapa menit kemudian, tangannya mulai pegal.
"Eh, bocil, bangun. Jangan tidur di bahu gue!" bisiknya sambil menggoyangkan pundak Amara pelan.
Namun, bukannya bangun, Amara justru semakin menempel.
"Hmm… bang Rendi… jangan ganggu…" gumamnya sambil menarik lengan Rendi dan memeluknya erat.
Rendi langsung membeku.
"Bocil… tangan gue…"
Amara malah semakin erat memeluknya.
"Dingin… jangan pergi…"
Rendi menghela napas panjang.
Sebenarnya dia bisa saja langsung melepas Amara, tapi melihat wajah bocil itu yang terlihat sangat nyaman, entah kenapa dia tidak tega.
"Yaudah lah, cuma sebentar…" gumamnya pasrah.
Dia pun menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa dan membiarkan Amara tidur di bahunya.
Hening.
Tanpa sadar, Rendi menatap wajah Amara dari dekat.
Biasanya bocil ini selalu ribut dan bar-bar, tapi kalau lagi tidur gini, dia kelihatan…
"Manis juga…" Rendi bergumam pelan, lalu cepat-cepat menggeleng.
"Halah, apaan sih gue! Ini bocil, men! BO-CIL!"
Tapi sebelum dia bisa lanjut memarahi pikirannya sendiri, Amara tiba-tiba menggeliat dan makin menempel.
"Bang Rendi… makasih ya…" gumamnya setengah sadar.
Rendi terdiam.
Perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya.
"Iya, bocil. Cepet sembuh, ya."
Dan untuk pertama kalinya, dia membiarkan bocil itu bersandar padanya tanpa banyak protes.