Terserah Mau diapa'in Ajah

Setelah beberapa hari Amara beristirahat karena menstruasi, akhirnya hari ini dia sudah lebih segar.

"Bocil, ayo siap-siap. Gue ngajak lo jalan."

Amara langsung semangat. "Serius? Ke mana?!"

"Rahasia." Rendi tersenyum tipis. "Pokoknya ikut aja."

Tanpa banyak tanya, Amara langsung mandi dan berdandan cepat. Dia memakai hoodie oversized warna pink dan celana jeans robek-robek.

"Bang, ayo cepet berangkat!" serunya penuh antusias.

Rendi tertawa kecil. "Dasar bocil nggak sabaran."

Mereka pun berangkat naik motor.

---

Setelah perjalanan sekitar 30 menit, mereka tiba di sebuah bukit kecil di pinggir kota.

Tempat itu sepi, hanya ada rerumputan luas dan sebuah tembok pembatas dari batu yang menghadap ke jalanan kota di bawah.

"Wow, keren banget!" Amara berlari ke pinggir dan melihat ke bawah. Dari sini, mereka bisa melihat lampu-lampu kota yang mulai menyala.

"Bang Rendi, kenapa lo bawa gue ke tempat sekeren ini?"

Rendi menyandarkan diri ke motornya dan tersenyum. "Gue cuma pengen lo lihat sesuatu."

Amara menoleh penasaran. "Lihat apa?"

"Naik ke tembok itu." Rendi menunjuk tembok batu pembatas.

Amara melongo. "Hah?! Gue manjat ke situ?!"

"Iya. Gue bantuin."

Dengan ragu, Amara memegang tangan Rendi, lalu dia membantu mengangkatnya ke atas tembok.

Sekarang Amara duduk di atas tembok batu, sementara Rendi berdiri di depannya, memegang pinggangnya agar dia tidak jatuh.

"Gila, bang… tinggi banget!" Amara menunduk dan melihat ke bawah.

Angin sepoi-sepoi berhembus, membuat rambutnya sedikit berkibar.

"Takut?" tanya Rendi sambil menatap wajahnya.

Amara mengangguk pelan. "Dikit…"

"Pegang gue kalau takut." Rendi tersenyum kecil.

Amara tanpa sadar meraih bahu Rendi dan memegangnya erat.

Rendi balas menatapnya, melihat wajahnya dari jarak sangat dekat.

Mata mereka bertemu.

Sejenak, Rendi merasa waktu berhenti.

Bocil ini… kalau dari dekat gini, dia beneran… cantik.

Amara menelan ludah. "Bang… Rendi…"

Rendi tersadar dan buru-buru menoleh ke bawah. "Tuh, lihat kota dari sini. Keren, kan?"

Amara mengikuti pandangannya. Dari atas sini, mereka bisa melihat jalanan yang penuh lampu mobil, gedung-gedung menjulang, dan langit yang mulai gelap dengan bintang-bintang kecil bermunculan.

"Waaah… cantik banget…" gumam Amara.

Rendi tersenyum. "Makanya, kadang lo harus lihat dunia dari sudut pandang yang lebih tinggi. Biar lebih luas."

Amara menatapnya kagum. "Bang Rendi ngomongnya dalem banget. Biasanya lo nggak puitis gini."

"Heh, bocil. Gue juga punya sisi bijak, kali."

Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang.

"Kyaaa! Bang Rendi, takut! Turunin gue!" Amara memeluk Rendi erat.

Rendi tertawa. "Dasar bocil penakut."

Dia pun menggendong Amara turun dari tembok dengan hati-hati.

Namun, sebelum benar-benar melepaskannya, dia masih menatapnya dalam-dalam.

Amara menatap balik. "Bang Rendi…"

Sejenak, hanya suara angin yang terdengar.

Mata mereka masih saling terkunci.

Apakah ini momen yang aneh? Atau… sesuatu mulai berubah?

Hening.

Angin masih berhembus pelan, membawa aroma rumput dan udara malam yang sejuk.

Rendi masih memeluk Amara erat, memastikan bocil ini tidak jatuh.

Namun, setelah beberapa detik berlalu, dia sadar posisi mereka terlalu dekat.

Amara juga sepertinya baru sadar. Pipinya mulai memerah.

"b-bang Rendi… turunin gue dong…" bisiknya pelan.

Rendi tersentak. "Eh? Oh… iya."

Perlahan, dia menurunkan Amara dari gendongannya, tapi tangannya masih bertahan di pinggang bocil itu.

Amara menatapnya aneh. "Bang?!"

Rendi buru-buru melepas tangannya. "Heh, bocil, jangan gerak tiba-tiba. Takutnya jatuh."

Amara manyun. "Gue bukan anak kecil, tahu!"

"Justru karena lo masih bocil makanya gue jaga-jaga." Rendi mencibir sambil menepuk kepalanya pelan.

Amara mendengus kesal, tapi tidak benar-benar marah.

Dia lalu berbalik dan melihat ke arah kota lagi.

"Tapi bang, jujur aja… gue suka tempat ini. Rasanya tenang."

Rendi tersenyum tipis. "Makanya, kadang-kadang lo harus lihat dunia lebih luas. Biar nggak terus-terusan kekanak-kanakan."

Amara cemberut. "Ih, bang Rendi ngomongnya kayak orang tua!"

"Heh, lo emang bocil. Masih perlu banyak belajar."

Amara mengayunkan kakinya pelan di atas tembok, lalu mendongak menatap langit.

"Tapi bener juga sih… Kadang gue terlalu sibuk jadi bocil bar-bar sampai lupa lihat dunia lebih luas."

Rendi terkejut melihat Amara yang tiba-tiba jadi serius.

Biasanya bocil ini selalu ribut dan nggak bisa diam, tapi malam ini dia kelihatan… lebih tenang.

"Bang Rendi."

"Hah?"

"Makasih udah bawa gue ke sini."

Rendi terdiam sejenak.

Dia melihat Amara tersenyum tulus, sesuatu yang jarang dia lihat darinya.

Bocil ini… bisa manis juga ternyata.

"Iya, sama-sama."

Mereka berdua duduk di tembok itu beberapa saat lagi, menikmati angin malam.

Namun, tiba-tiba…

"GRRRRKKK…"

Suara keras terdengar.

Rendi mengernyit. "Apa tuh?"

Amara langsung memegangi perutnya, wajahnya memerah. "Ehehe… laper…"

Rendi ngakak. "Astaga, bocil. Baru juga romantis dikit, lo malah ngasih efek sound nggak jelas."

Amara manyun. "Ih, bang Rendi, jangan ketawa! Gue beneran laper!"

"Yaudah, ayo turun. Kita cari makan."

"Yeay! Gue mau ayam geprek level pedes!"

"Ya ampun, bocil…"

Rendi menggelengkan kepala, tapi tetap tersenyum.

Biarpun kadang nyebelin, Amara tetaplah bocil bar-bar yang selalu bikin harinya lebih seru.

Rendi dan Amara turun dari tembok batu itu dengan hati-hati. Angin malam masih berhembus pelan, membawa udara sejuk yang menyelimuti mereka.

Namun, meskipun suasana begitu indah dan tenang, perut Amara terus berbunyi.

"Gila, gue beneran laper, bang. Rasanya kayak ada konser rock di perut gue." Amara mengusap perutnya dengan wajah merana.

Rendi menahan tawa. "Hahaha, dasar bocil rakus. Lo baru sadar kalau laper setelah gue bawa ke tempat tinggi begini?"

"Ya salah lo juga!" Amara cemberut. "Ngajakin gue ke tempat keren gini, tapi nggak kepikiran buat bawa makanan!"

"Siapa suruh lo nggak makan dulu sebelum jalan?" Rendi membalas santai sambil menyalakan motornya.

Amara langsung naik ke boncengan dan merangkul Rendi erat. "Pokoknya gue nggak peduli, lo harus traktir gue ayam geprek! Pakai nasi dua!"

"Yaelah, bocil. Lo mau makan buat satu minggu?" Rendi mendecak, tapi tetap memutar gas motornya, melajukan kendaraan mereka kembali ke jalan utama.

---

Setelah berkendara sekitar 15 menit, mereka akhirnya tiba di sebuah warung ayam geprek langganan Amara.

Warung kecil itu selalu ramai, apalagi di malam hari. Lampu-lampunya yang terang serta aroma ayam goreng yang menggoda langsung membuat Amara semakin kelaparan.

"Bang, ayam geprek level 10! Nasinya dua!" Amara langsung memesan dengan suara lantang.

Rendi menatapnya horor. "Lo yakin? Level 10? Jangan nangis nanti."

"Heh! Lo kira gue bocil lemah? Gue kuat pedes, tahu!" Amara mendongakkan dagunya dengan sombong.

"Iya iya, bocil sok kuat." Rendi menghela napas lalu memesan untuk dirinya sendiri.

Mereka memilih duduk di meja pojok, menunggu pesanan mereka datang.

Suasana warung itu cukup ramai, kebanyakan anak-anak muda nongkrong sambil makan.

Amara melirik Rendi yang sedang main HP. Lama-lama, dia merasa bosan.

"Bang Rendi…"

"Hmm?" Rendi tetap fokus ke layar HP-nya.

Amara menatapnya sebentar, lalu tiba-tiba…

"Bang Rendi itu… tipe cowok idaman banyak cewek, nggak sih?" tanyanya tiba-tiba.

Rendi langsung berhenti scrolling.

Dia menoleh ke arah Amara dengan alis terangkat. "Hah? Kok tiba-tiba ngomong gitu?"

"Nggak tahu." Amara mengangkat bahu. "Soalnya lo kan pinter, lumayan ganteng, terus… ya, perhatian juga."

Rendi terdiam.

Dia tidak menyangka bocil ini bisa melontarkan kalimat seperti itu.

"Terus… menurut lo, gue cocok nggak jadi cowok idaman?" Rendi akhirnya bertanya.

Amara berpikir sebentar, lalu nyengir. "Hmm… kalau lo lebih sabar sama gue, mungkin cocok."

"Heh, bocil. Jadi maksud lo, gue kurang sabar?" Rendi mencubit pipinya pelan.

"Iya! Lo sering ngomel-ngomel kalau gue nyebelin!" Amara tertawa sambil menepis tangan Rendi.

Saat itu juga, pesanan mereka datang.

Satu porsi ayam geprek super pedas dengan dua piring nasi untuk Amara, dan satu porsi ayam geprek biasa untuk Rendi.

"Awas ya, jangan nangis kalau kepedesan." Rendi memperingatkan.

"Huh! Gue kuat!" Amara langsung mengambil potongan ayamnya dan menggigit dengan percaya diri.

Namun, baru beberapa detik setelah itu…

"UHUAKKK! PANAS! PEDESSSS!" Amara langsung megap-megap, wajahnya merah padam. Dia buru-buru minum es teh, tapi kepedasan itu masih terasa.

Rendi ngakak sampai hampir jatuh dari kursinya. "HAHAHA! Gue udah bilang! Bocil sotoy!"

Amara tidak bisa membalas karena lidahnya sudah terasa seperti terbakar. Dia hanya bisa memukul-mukul bahu Rendi dengan kesal.

Malam itu, meski berakhir dengan drama kepedasan, Rendi merasa ini adalah salah satu momen paling menyenangkan bersama bocil barbar itu.