Hari ini, Amara terpaksa ikut arisan bersama mamanya.Sebenarnya, dia tidak tertarik sama sekali dengan acara kumpul-kumpul ibu-ibu ini, tapi karena mamanya bilang "kamu harus belajar bersosialisasi", akhirnya dia ikut juga.
Arisan kali ini diadakan di rumah Bu Rina, tetangga sebelah.
Setelah sampai, Amara langsung mencari cara untuk menghindar.
"Ma, aku di luar aja ya, ngantuk nih…" Amara mencoba beralasan.
"Nggak bisa! Kamu ikut duduk di sini!" Mamanya langsung menarik tangannya dan mendudukkannya di sofa.
Amara mendengus. "Ya ampun, Ma, ini acara ibu-ibu, ngapain aku di sini?"
"Duduk aja, dengar-dengar cerita ibu-ibu itu seru lho!" Mamanya terkikik.
Amara hanya bisa memutar mata dan menyerah.
Namun, tiba-tiba suasana berubah.
Para ibu-ibu mulai heboh, membicarakan sesuatu.
"Eh, katanya hari ini ada tausiyah lho, siapa yang ngisi?" salah satu ibu bertanya.
"Iya, Bu Rina bilang udah manggil seseorang buat ceramah sebentar sebelum arisan mulai."
Amara tertarik mendengar itu.
"Eh? Ceramah? Siapa yang bakal ngomong?"
Dan tepat saat itu juga…
Seseorang masuk ke ruangan.
Seorang cowok berjaket hitam, dengan wajah yang sudah sangat familiar bagi Amara.
Rendi.
Mata Amara langsung membesar. "Hah?! Bang Rendi?!"
Rendi berjalan ke depan dengan wajah canggung.
"Ehem… assalamu'alaikum, Bu-Bu semua…"
"Wa'alaikumsalam!" Serempak ibu-ibu menjawab dengan semangat.
Amara masih melongo.
Kenapa Abangnya tiba-tiba ada di sini?!
Mamanya menoleh ke arahnya dan tersenyum. "Oh iya, Amara, tadi Tante Rina bilang ustaz yang seharusnya ceramah mendadak berhalangan. Terus, tiba-tiba Rendi yang ditunjuk buat menggantikan!"
Amara hampir pingsan di tempat.
"M-Mama becanda, kan?"
"Nggak dong, lihat tuh, Rendi serius banget!"
Sementara itu, di depan…
Rendi sudah mulai berbicara.
"Jadi, ibu-ibu yang saya hormati, hari ini kita akan membahas tentang… pentingnya kesabaran dalam kehidupan sehari-hari."
Amara masih tidak bisa percaya.
"Ya ampun, bocil ini ngomongin kesabaran?! Dia aja kalau sama aku dikit-dikit ngomel!"
Namun, yang mengejutkan… Rendi ternyata berbicara dengan lancar.
"Kesabaran adalah kunci dalam menghadapi masalah. Contohnya, kalau ada seseorang yang sering bikin kita kesal, kita harus tetap sabar dan nggak gampang marah."
Ibu-ibu langsung manggut-manggut setuju. "Iyaaa, betul banget, Nak Rendi!"
Amara hanya bisa mencibir. "Ih, sok bijak banget!"
Tapi kemudian…
"Contohnya… kalau kita punya adik atau saudara yang suka bertingkah kekanak-kanakan dan sering bikin onar, kita harus tetap sabar."
Mata Amara langsung menyipit.
"S-Sebentar… ini orang lagi nyinggung gue, bukan sih?"
Ibu-ibu malah tertawa. "Wah, Rendi pinter banget! Anak siapa sih?!"
Mamanya Amara langsung tersenyum bangga. "Anak saya, dong!"
Amara langsung membelalak. "Lah, Ma! Itu anak Tante! Bukan anak Mama!"
Mamanya hanya terkikik, sementara Rendi melanjutkan ceramahnya dengan penuh percaya diri.
Hari itu, Amara harus menahan rasa kesal sekaligus takjub karena Rendi berhasil berubah dari cowok cuek jadi 'pendakwah dadakan' yang dihormati ibu-ibu komplek.
Suasana arisan makin seru. Ibu-ibu komplek yang awalnya hanya duduk mendengarkan, sekarang mulai ikut menimpali pembicaraan Rendi.
"Nak Rendi, berarti kalau ada suami yang sering pulang malam dan nggak kasih kabar, kita harus sabar juga, ya?" tanya Bu Lestari, matanya menyipit tajam ke arah suaminya yang kebetulan sedang duduk di teras rumah.
"Iya, Bu. Sabar itu penting, tapi komunikasi juga harus jalan. Kalau suaminya salah, ya harus diingatkan dengan baik." Rendi menjawab dengan santai.
Ibu-ibu lainnya langsung bertepuk tangan. "Wah, bener banget! Aduh, suami gue mesti dengerin ini!"
Sementara itu, Amara hanya bisa mendengus.
"Ck, sok bijak banget nih orang! Giliran sama gue, mana ada kesabaran?! Dikit-dikit ngomel!" gerutunya dalam hati.
Tapi, anehnya… dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Rendi.
Biasanya cowok itu selalu kelihatan malas-malasan, santai, dan sedikit urakan. Tapi hari ini, dia tampak beda.
Percaya diri. Tenang. Dan… agak karismatik?
"Hadeh! Stop, stop, Amara! Jangan sampe lo kepincut sama bocah tua itu!" Amara menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengusir pikirannya sendiri.
Tiba-tiba, suara Bu Rina menyadarkan Amara.
"Oh iya, Nak Rendi, kalau menghadapi anak perempuan yang suka keras kepala dan sering melawan, harus gimana ya?" tanya Bu Rina, jelas-jelas melirik ke arah Amara dengan senyum penuh arti.
Amara langsung tersedak air putih yang sedang diminumnya.
"BATUKKK! KROOK! KOK GUE DISEBUT-SEBUT?!"
Sementara itu, Rendi hanya tersenyum penuh kemenangan.
"Hmm, kalau menghadapi anak perempuan yang keras kepala, harus lebih sabar, Bu. Kadang, mereka memang butuh perhatian lebih."
"Ih, apaan sih, bang Rendi! Lo ngomongin siapa, hah?!" Amara langsung melotot.
Tapi, ibu-ibu malah makin tertawa.
"Ya ampun, cocok banget sih mereka ini!" bisik Bu Lestari ke mamanya Amara.
Mamanya Amara hanya tersenyum puas. "Namanya juga suami-istri, Bu."
Amara langsung kejang-kejang di tempat.
"MAMA! Kok malah ikut-ikutan?!"
Sementara itu, Rendi tetap santai. Dia menatap Amara dengan seringai jahil.
"Dengar tuh, Bocil. Mulai sekarang, gue bakal lebih sabar menghadapi lo." katanya dengan nada menggoda.
Amara langsung melempar bantal sofa ke arah Rendi. "NYEBELIN!"
Suasana makin ramai, penuh dengan tawa ibu-ibu yang terhibur.
Hari itu, Amara sadar satu hal:
Rendi bukan hanya menyebalkan… tapi dia juga jago bikin orang terpikat, termasuk ibu-ibu komplek.
Setelah sesi tausiyah dadakan, arisan akhirnya dimulai. Tapi entah kenapa, semua ibu-ibu jadi lebih tertarik ngobrolin Rendi daripada ngurus undian arisan.
"Nak Rendi ini masih SMA, ya?" tanya Bu Rina dengan tatapan berbinar.
"Iya, kelas 3 SMA." Mama Amara menjawab sambil tersenyum bangga, seakan Rendi benar-benar anak kandungnya sendiri.
"Ya ampun, udah pinter, dewasa, bijak lagi! Cocok banget jadi menantu idaman!" celetuk Bu Lestari.
Ibu-ibu lain langsung ikut mengangguk setuju.
"Bener banget! Kalau saya punya anak perempuan seumuran Amara, udah saya jodohin nih!" tambah Bu Siti sambil terkikik.
Amara yang sedang menyeruput es teh langsung tersedak. "KOFF! KOFF! ASTAGA!"
"Mama! Kok diem aja?! Stop mereka dong!" Amara protes dengan ekspresi horor.
Tapi mamanya hanya terkikik senang.
"Kenapa harus dihentikan? Kan mereka bilang yang bagus-bagus soal Rendi." jawabnya santai.
Rendi yang mendengar semua itu hanya tersenyum kecil.
"Santai aja, Bocil. Ibu-ibu cuma bercanda." katanya dengan nada menggoda.
"Bercanda apanya?! Gue malu, tahu!" Amara makin kesal.
Sementara itu, ibu-ibu masih lanjut memuji.
"Wah, Amara beruntung banget dapet suami kayak Rendi." ujar Bu Rina.
"Iya, iya! Suami idaman banget ini, nggak heran Amara nempel terus." goda Bu Siti.
"ASTAGA STOPPP!!!" Amara benar-benar ingin kabur dari rumah Bu Rina saat itu juga.
Tapi sialnya, semakin dia protes, semakin ibu-ibu makin semangat meledeknya.
Rendi malah makin menikmati situasi. Dia menoleh ke Amara dengan senyum jahil.
"Bocil, dengerin deh. Ibu-ibu ini ngomongnya bener, loh. Beruntung banget lo jadi istri gue."
Amara hampir melempar gelas ke kepalanya.
"LU NGGAK MALU, HAH?!"
Tapi Rendi hanya terkekeh santai.
Arisan hari itu berakhir dengan Amara yang mati-matian menyangkal semua omongan ibu-ibu, sementara Rendi dengan santainya menikmati status 'menantu idaman' tanpa beban.
Dan di perjalanan pulang, Amara masih ngomel-ngomel nggak jelas, sementara Rendi hanya menertawakannya.
Hari ini, si Bocil benar-benar kalah telak.