Udara di dalam rumah semakin berat.
Lina dan Natan berdiri di dalam kamar Natalia, napas mereka terengah-engah.
Di bawah, suara langkah kaki Natalia semakin mendekat.
Mereka tidak punya banyak waktu.
Pintu kamar ini mungkin akan segera terbuka.
Mereka harus memilih.
Turun dan menghadapi Natalia... atau keluar lewat jendela.
Natan menoleh ke arah jendela. Itu satu-satunya jalan keluar.
"Lina, kita harus lompat," katanya tegas.
Lina menatap jendela itu dengan ragu.
Mereka ada di lantai dua. Jika mereka melompat, mereka bisa patah tulang—atau lebih buruk lagi.
Tapi jika mereka tetap di sini…
Pintu kamar mulai bergetar.
Lina menelan ludah.
"Baiklah," katanya akhirnya.
Tanpa ragu, Natan membuka jendela selebar mungkin. Angin malam menyapu wajah mereka.
Di bawah, hanya ada halaman kecil dengan tanah dan rumput.
Masih lebih baik daripada bertemu Natalia.
Natan menarik tangan Lina.
"Siap?"
Sebelum Lina sempat menjawab…
BRAK!
Pintu kamar terbuka dengan keras.
Di ambang pintu, Natalia berdiri.
Mata kosongnya menatap lurus ke arah mereka.
Pisau di tangannya meneteskan darah.
Lina tidak ingin tahu darah siapa itu.
Hanya ada satu pilihan.
Mereka harus lompat.
---
MELARIKAN DIRI
Tanpa berpikir panjang, Natan menarik Lina dan melompat lebih dulu.
Udara malam menerpa tubuh mereka.
Mereka menghantam tanah dengan keras.
Natan meringis kesakitan, tetapi ia segera bangkit.
"Lina! Kau tidak apa-apa?"
Lina meringis dan mengangguk.
Mereka tidak punya waktu untuk merasakan sakit.
Mereka harus pergi dari sini.
Dari atas, Natalia masih menatap mereka.
Lina merasa tubuhnya membeku dalam ketakutan.
Namun, Natalia tidak melompat.
Ia hanya berdiri di sana… menatap mereka.
Seolah… menunggu.
Namun Lina tidak peduli.
"Kita harus ke motor!" seru Lina.
Mereka berlari secepat mungkin ke tempat motor mereka diparkir.
Hanya tersisa dua motor.
Tanpa membuang waktu, Natan naik ke motornya.
Lina naik ke belakangnya.
Mesin motor menyala.
Mereka berdua melaju kencang meninggalkan rumah itu.
Angin malam berhembus di sekitar mereka, dingin dan sunyi.
Mereka akhirnya berhasil kabur.
Tapi… apakah ini benar-benar sudah berakhir?
---
PERJALANAN KE BANDUNG
Perjalanan panjang menuju Bandung terasa sunyi.
Mereka berdua tidak banyak bicara.
Pikiran mereka masih terjebak di rumah itu.
Di teman-teman mereka yang sudah mati.
Di Natalia.
Di horor yang baru saja mereka alami.
Natan mengendarai motor dengan fokus penuh.
Sementara Lina memeluk erat pinggangnya, mencoba mengendalikan emosinya.
Angin malam menerpa wajah mereka, membawa sedikit kenyamanan.
Namun, mereka tahu…
Ini belum sepenuhnya berakhir.
---
TIBA DI BANDUNG
Saat mereka akhirnya tiba di Bandung, langit masih gelap.
Mereka berhenti di depan rumah Lina.
Rumah yang terasa jauh lebih aman dibanding tempat yang baru saja mereka tinggalkan.
Lina turun dari motor, lututnya lemas.
Natan ikut turun dan menatap rumah itu.
"Tidak ada yang mengejar kita…" gumamnya.
Lina mengangguk pelan.
Ia melangkah ke pintu dan membuka kunci.
Begitu mereka masuk, suasana hangat langsung menyambut mereka.
Di ruang tamu, ibunya duduk di sofa, menonton TV.
Matanya beralih ke arah mereka.
"Oh, kalian sudah pulang?" katanya santai.
Seakan tidak terjadi apa-apa.
Lina menatap ibunya lama.
Ia ingin menangis.
Ia ingin berteriak.
Tapi ia hanya berdiri di sana, diam.
Ibunya tersenyum.
"Kalian terlihat kelelahan. Sana, mandi dulu. Aku buatkan teh hangat."
Lina menelan ludah.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia merasa… aman.
Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu.
Natalia belum selesai.
Namun untuk saat ini…
Mereka akan beristirahat.
Untuk sementara.
To Be Continue...