Bab 16, Tempat Terakhir yang Aman

Lina berdiri di depan cermin kamarnya.

Matanya sembab, tubuhnya lelah, pikirannya hancur.

Di belakangnya, kamar itu masih sama seperti kemarin. Tapi ada sesuatu yang berbeda—suatu kehampaan yang tidak bisa dijelaskan.

Satu-satunya suara di ruangan itu hanyalah hembusan napasnya sendiri.

Ibunya telah pergi.

Natalia… sudah membunuhnya.

Sekarang, hanya Lina yang tersisa.

Dulu, rumah ini adalah tempat yang paling aman baginya.

Tapi sekarang?

Tempat ini adalah jebakan.

Penjara tanpa batas, penuh kenangan buruk.

Ia tidak bisa tinggal di sini lagi.

Dan hanya ada satu tempat yang bisa ia tuju.

---

MENUJU APARTEMEN NATAN

Malam itu juga, Lina mengemasi barang-barangnya.

Ia tidak membawa banyak—hanya beberapa pakaian, dompet, dan ponsel.

Tak ada lagi yang berharga di rumah ini.

Sebelum pergi, ia melirik pintu kamar ibunya yang sedikit terbuka.

Dulu, ibunya selalu ada di sana, menunggunya pulang dengan senyuman.

Sekarang, hanya ada keheningan.

Lina menggigit bibirnya, lalu menarik napas panjang.

Tanpa menoleh lagi, ia meninggalkan rumah itu untuk selamanya.

---

Apartemen Natan terletak di pusat kota, sekitar 30 menit dari rumah Lina.

Ia mengetuk pintu beberapa kali, jantungnya berdebar.

Butuh beberapa detik sebelum akhirnya pintu terbuka, dan wajah Natan muncul di baliknya.

Ia mengerutkan kening, terkejut melihat Lina berdiri di sana dengan wajah pucat.

"Lina?" tanyanya. "Kenapa kau di sini malam-malam begini?"

Lina menggigit bibirnya, menunduk.

"Aku… tidak punya tempat lain untuk pergi," bisiknya.

Natan terdiam sesaat, lalu menatapnya lebih dalam.

Ia melihat sesuatu di mata Lina yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Ketakutan.

Rasa putus asa.

Seakan dunia sudah berakhir baginya.

Tanpa bertanya lebih jauh, Natan membuka pintunya lebih lebar.

"Masuklah."

Lina melangkah masuk, dan untuk pertama kalinya dalam sebulan terakhir, ia merasa sedikit lebih aman.

---

AWAL YANG BARU?

Apartemen Natan tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman.

Dapur kecil di sudut, ruang tamu sederhana dengan sofa dan TV, serta kamar tidur yang hanya dipisahkan oleh sebuah pintu geser.

Lina duduk di sofa tanpa mengatakan apa-apa.

Natan duduk di sebelahnya, menatapnya dengan khawatir.

"Lina…"

"Aku ingin tinggal di sini," kata Lina tiba-tiba.

Natan terkejut.

"Bersamamu?" lanjut Lina.

"Lina, apa yang terjadi?" Natan bertanya, mencoba memahami situasinya.

Lina menunduk, tangannya menggenggam ujung bajunya dengan erat.

"Ibu… sudah tidak ada."

Natan membeku.

"Apa?"

Lina menggigit bibirnya.

"Natalia membunuhnya."

Ruangan itu menjadi sunyi.

Untuk beberapa saat, hanya suara jarum jam yang terdengar.

Natan menatap Lina dengan mata melebar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Tidak…" gumamnya.

"Aku melihatnya sendiri." Suara Lina bergetar. "Dia datang ke rumah, berpura-pura sebagai Natalia yang masih hidup. Aku mencoba menghentikan ibu, tapi… dia terlalu percaya."

Air mata mengalir di pipinya.

"Ibu ingin memeluknya, dan… dia berubah. Lalu dia membunuhnya tepat di depan mataku."

Natan mengepalkan tangannya.

Ia tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya itu bagi Lina.

Gadis itu sudah kehilangan segalanya.

Dimas, teman-temannya, dan sekarang ibunya.

Tidak heran ia datang ke sini.

Ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi.

Lina menatapnya dengan penuh harap.

"Aku tidak bisa sendiri, Natan. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selainmu."

Natan menghela napas panjang.

Bagaimana mungkin ia menolak?

Ia menggenggam tangan Lina dengan lembut.

"Kau bisa tinggal di sini," katanya. "Aku akan melindungimu."

---

MALAM YANG TENANG… ATAU TIDAK?

Malam itu, Lina tidur di kamar Natan.

Natan memutuskan untuk tidur di sofa, memberi Lina ruang untuk beristirahat.

Namun, meski sudah berbaring di tempat tidur yang nyaman, Lina tidak bisa tidur.

Matanya terus terbuka, menatap langit-langit gelap di atasnya.

Suaranya masih terdengar di kepalanya.

"Jangan takut, Lina. Giliranmu sebentar lagi."

Lina menggigit bibirnya, mencoba mengusir bayangan Natalia dari pikirannya.

Tapi sulit.

Sangat sulit.

Tepat sebelum ia akhirnya terlelap, sesuatu yang dingin menyentuh pipinya.

Napasnya tercekat.

Ia membuka mata.

Dan di sana, tepat di samping tempat tidur—

Seseorang sedang berbaring di sebelahnya.

Seseorang dengan wajah hancur dan mata hitam pekat.

Seseorang yang tersenyum lebar dan berbisik,

"Selamat malam, Lina."

To Be Continue...