Bab 5, Rumah yang Bukan Milik Kita

Selena terbangun dengan nafas tersengal.

Ia melirik ke samping, melihat Ezra yang masih tertidur lelap. Kamar mereka masih gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela.

Ia menggenggam selimut erat. Jantungnya masih berdetak cepat setelah melihat sosok di cermin tadi.

Tapi itu pasti hanya bayangan... pikirnya.

Selena tidak ingin paranoid. Ini adalah rumah mereka, tempat mereka membangun kehidupan baru. Mereka tidak akan membiarkan mimpi buruk dan bayangan aneh mengusik kebahagiaan mereka.

Pagi harinya, saat sarapan, Ezra meletakkan cangkir kopinya dan berkata, "Kita harus buat sesuatu."

Selena menatapnya. "Apa maksudmu?"

"Kita tidak bisa terus ketakutan seperti ini. Aku tahu ada hal aneh yang terjadi di rumah ini, tapi ini rumah kita. Bukan mereka yang berhak tinggal di sini, tapi kita."

Selena terdiam, lalu mengangguk pelan. "Kamu benar."

Jika ada sesuatu yang mengganggu mereka, maka harusnya sesuatu itu yang pergi, bukan mereka.

2

Hari itu, mereka mulai mengisi rumah dengan lebih banyak benda pribadi.

Mereka memasang foto pernikahan di ruang tamu, menata buku-buku di rak, dan mengganti beberapa perabotan lama dengan yang baru.

Mereka ingin membuat rumah ini terasa lebih milik mereka.

Saat Ezra sedang memaku bingkai foto di dinding, paku yang dipegangnya tiba-tiba jatuh.

Ia mengerutkan dahi, mengambil paku itu, dan mencoba lagi.

Namun kali ini, sebelum ia sempat memukul palu, bingkai foto yang baru ia pasang tiba-tiba jatuh sendiri.

Brak!

Kacanya pecah berhamburan di lantai.

Ezra terdiam, bulu kuduknya meremang.

Selena bergegas menghampiri. "Apa yang terjadi?"

Ezra menghela napas. "Mungkin paku ini tidak cukup kuat."

Namun saat ia membungkuk untuk mengambil pecahan kaca, ia melihat sesuatu yang membuatnya membeku.

Di antara pecahan kaca, ada tulisan samar, seperti tercetak dari uap dingin:

"PERGI."

Ezra langsung berdiri, wajahnya tegang. Selena melihatnya juga, dan ia menelan ludah.

Namun, mereka tidak ingin menyerah.

Ezra meremas tangannya. "Tidak. Kita tidak akan pergi."

Selena mengangguk. "Ya. Kita tidak akan kalah."

Mereka tetap tinggal.

3

Malam itu, gangguan semakin parah.

Pintu kamar mereka bergetar seperti ada seseorang yang mencoba masuk.

Jendela terbuka sendiri meskipun sebelumnya sudah terkunci rapat.

Cahaya lampu berkedip-kedip, lalu padam total.

Selena menggenggam tangan Ezra. "Ezra... ini mulai keterlaluan."

Ezra bangkit dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Ia membukanya perlahan, mencoba mencari tahu apakah ada sesuatu di luar.

Kosong.

Namun, begitu ia hendak kembali ke ranjang, terdengar suara langkah kaki dari ruang tamu.

Langkah yang pelan.

Seperti seseorang yang sedang mengawasi mereka.

Ezra menelan ludah, lalu menyalakan senter ponselnya dan berjalan ke ruang tamu.

Ketika cahayanya menyapu ruangan, sesuatu membuatnya terhenti.

Di sudut ruangan, berdiri sosok seorang wanita.

Gaunnya berlumuran darah.

Rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya, tapi matanya menatap lurus ke arah Ezra—penuh kebencian.

Dan di sebelahnya, seorang pria berdiri dengan tubuh kaku.

Matanya kosong, wajahnya pucat.

Mulutnya bergerak, menggumamkan sesuatu.

"Pergi... ini rumah kami..."

Ezra merasa tubuhnya membeku.

Selena, yang melihat sosok itu juga, berpegangan erat pada Ezra.

Ezra mencoba menguatkan diri. "Ini rumah kita sekarang! Kami membelinya dengan sah!"

Sosok pria itu mendongak. Wajahnya perlahan berubah—kulitnya mulai retak seperti tanah kering, darah merembes dari retakan itu.

Suaranya terdengar lebih keras.

"KALIAN MENGAMBILNYA DARI KAMI!!"

4

Esok harinya, Ezra dan Selena mencari informasi tentang rumah mereka.

Mereka menemukan sesuatu yang mengerikan.

Rumah ini dulunya milik pasangan bernama Natasya dan Dion.

Mereka adalah sepasang kekasih yang baru saja berpacaran ketika tragedi menimpa mereka.

Natasya tertabrak mobil di depan rumah ini—tepat di halaman mereka.

Dion, yang tidak bisa menerima kematian kekasihnya, bunuh diri di dalam rumah dengan menggantung diri di langit-langit ruang tamu.

Namun yang mengejutkan, rumah ini tidak pernah dijual.

Surat tanah mereka dicuri, dan tanpa sepengetahuan mereka, rumah ini berpindah tangan.

Ketika mereka meninggal, mereka masih merasa memiliki rumah ini.

Ezra menutup laptopnya dengan wajah tegang. "Mereka... tidak akan berhenti."

Selena memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar. "Apa yang harus kita lakukan?"

Ezra menatap rumah di hadapannya.

Ia mulai menyadari sesuatu:

Mereka telah membuat kesalahan besar.

Rumah ini... bukan milik mereka.

Dan pemilik aslinya tidak akan membiarkan mereka tinggal di sana.

To Be Continue...