Bab 6, Kehidupan yang Baru

Selena duduk di sofa ruang tamu, memandangi suaminya yang tengah menyesap kopi pagi.

Mereka masih di rumah ini.

Mereka masih bertahan.

Semalam adalah malam terburuk bagi mereka—gangguan semakin intens. Tapi mereka tidak ingin menyerah.

"Ezra," ujar Selena lembut.

Ezra menoleh. "Hm?"

Selena menatapnya serius. "Aku ingin punya anak."

Ezra terdiam.

Selena melanjutkan, "Aku pikir... kalau kita memiliki anak, rumah ini akan terasa lebih hidup. Tidak hanya kita berdua yang mengisinya."

Ezra menarik napas dalam. "Kamu yakin?"

Selena mengangguk. "Ya. Aku ingin kita membangun keluarga di sini. Aku ingin rumah ini dipenuhi suara tawa anak kita, bukan teror yang terus-menerus menghantui."

Ezra menghela napas. Ia tahu, mereka sedang menghadapi sesuatu yang tidak kasat mata.

Tapi melihat Selena yang begitu yakin, ia akhirnya tersenyum.

"Baiklah," katanya. "Mari kita wujudkan itu."

2

Hari-hari berlalu, dan mereka benar-benar berusaha menjalani kehidupan seperti biasa.

Selena mulai menjaga pola makannya, menghindari stres, dan fokus pada kehamilan.

Mereka pergi ke dokter kandungan, mulai merancang kamar bayi, dan memilih nama-nama yang mungkin cocok untuk anak mereka nanti.

Ezra bahkan mulai membayangkan betapa bahagianya memiliki seorang anak di rumah ini—sebuah kehidupan baru yang mereka ciptakan sendiri.

Namun, sesuatu tetap terasa... salah.

Setiap malam, mereka masih mendengar suara-suara aneh.

Terkadang suara bisikan.

Terkadang tangisan.

Terkadang langkah kaki berlari di lorong saat mereka tertidur.

Namun mereka tetap bertahan.

Mereka ingin rumah ini menjadi rumah yang sebenarnya.

3

Hingga suatu malam, sesuatu yang mengerikan terjadi.

Selena terbangun dengan keringat dingin.

Ia mendengar suara bisikan yang sangat dekat di telinganya.

Saat ia membuka mata, sosok seorang wanita berdiri di samping ranjangnya.

Rambut panjang menutupi wajahnya.

Gaunnya masih berlumuran darah.

Selena membeku. Ia ingin menjerit, tetapi suaranya seakan tertahan di tenggorokan.

Wanita itu—Natasya—berbisik dengan suara yang dingin dan menusuk:

"Kau ingin punya anak? Aku juga ingin. Tapi aku mati sebelum sempat memilikinya."

Selena menelan ludah, tubuhnya mulai gemetar.

Natasya mendekat, wajahnya mulai terlihat.

Tatapannya penuh amarah.

"Anakmu tidak boleh lahir di rumah ini."

Selena tersentak dan menjerit keras.

Ezra langsung terbangun dan menyalakan lampu.

"Selena?! Ada apa?!"

Selena terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat.

Ia menatap Ezra dengan mata berkaca-kaca. "Mereka... mereka tidak ingin kita memiliki anak."

Ezra mengepalkan tangannya. "Aku tidak peduli."

Selena memandangnya dengan cemas.

Ezra melanjutkan, suaranya penuh keteguhan, "Mereka tidak bisa mengatur hidup kita. Kita tidak akan pergi. Kita akan membangun keluarga di sini, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa."

4

Namun, sejak malam itu, gangguan semakin brutal.

Saat Selena pergi ke kamar mandi, air keran tiba-tiba berubah menjadi merah seperti darah.

Saat Ezra menyiapkan makan malam, semua pisau di dapur berjatuhan sendiri.

Lalu suatu malam, ketika Selena dan Ezra tertidur, mereka terbangun oleh suara tangisan bayi.

Tangisan yang pilu.

Tangisan yang tidak berasal dari bayi mereka—karena Selena bahkan belum hamil.

Ezra bangun dengan keringat dingin. Ia berjalan ke arah ruang tamu, mencari sumber suara.

Saat ia menyalakan lampu, ia melihat sesuatu di lantai.

Sebuah buaian bayi.

Terbuat dari kayu tua, berdebu, dan tampak sudah lama ditinggalkan.

Namun yang lebih mengerikan—ada boneka lusuh di dalamnya, dan boneka itu bergerak sendiri.

Ezra mundur selangkah.

Lalu ia melihatnya.

Dion.

Berdiri di sudut ruangan.

Matanya merah, wajahnya pucat, dan ia tersenyum samar.

"Kami juga ingin punya anak..." gumam Dion.

Ezra merasa tubuhnya membeku.

Lalu lampu berkedip-kedip—dan semuanya kembali normal.

Buaian itu hilang.

Dion menghilang.

Namun suara tangisan bayi masih terdengar samar.

5

Pagi harinya, Selena dan Ezra duduk di ruang tamu, wajah mereka pucat.

"Ezra... apakah kita melakukan kesalahan?" bisik Selena.

Ezra menggenggam tangan istrinya. "Tidak, Selena. Kita berhak memiliki kehidupan kita sendiri. Kita tidak akan menyerah."

Selena menunduk.

Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu—mereka telah menantang sesuatu yang lebih kuat dari yang mereka duga.

Dan mereka tidak akan membiarkan Selena melahirkan di rumah ini.

To Be Continue...