Bab 18, Persiapan Pembunuhan

Ezra duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke depan. Matanya gelap, penuh amarah yang dipendam.

Di sudut kamar, bayangan tinggi muncul. Dion.

"Apa kau masih mencintainya?" tanya Dion, suaranya dingin.

Ezra tidak menjawab.

Dion tertawa pelan. "Kalau kau masih mencintainya, seharusnya kau membiarkannya pergi."

Ezra meliriknya. "Dan kalau aku tidak mau?"

Dion menyeringai. "Bunuh dia."

Ezra diam.

"Selena hanya akan menyakiti hatimu," lanjut Dion. "Dia menyalahkanmu. Dia membencimu. Jika kau biarkan dia hidup, dia akan jadi racun dalam hidupmu."

Ezra menghela napas panjang, mencoba merasionalisasi kata-kata itu.

"Tapi…" Dion mendekat, membisikkan sesuatu, "Kalau kau membunuhnya… semua akan berakhir."

Ezra menatapnya tajam. "Dan kau akan membantuku?"

Dion tersenyum sinis. "Tentu. Aku akan selalu ada di sisimu."

Sementara itu, di kamar sebelah—

Selena duduk di pojokan, menggenggam lututnya. Air matanya sudah kering, tetapi hatinya tetap hancur.

Di hadapannya, berdiri sesosok wanita dengan gaun putih berlumuran darah. Natasya.

"Apa kau pikir dia masih mencintaimu?" suara Natasya terdengar sinis.

Selena tidak menjawab.

"Ezra hanya melihatmu sebagai beban," lanjutnya. "Dia tidak peduli padamu lagi. Dia akan menyakitimu lebih dalam dari ini."

Selena menggeleng. "Dia bukan orang seperti itu…"

Natasya mendekat, menyentuh bahunya. "Kau salah. Dia bisa membunuhmu, kapan saja."

Selena terdiam, hatinya mulai goyah.

"Aku akan membantumu." Natasya tersenyum dingin. "Kita bunuh dia duluan."

Selena menelan ludah.

"Bunuh Ezra… sebelum dia membunuhmu."

Malam itu, dua rencana mulai terbentuk.

Ezra bersama Dion. Selena bersama Natasya.

Dua pihak. Dua rencana.

Dan hanya satu yang akan bertahan hidup.

To Be Continue...