~Keluarga Brown~
Suara berat George memecah kesunyian di ruang tamu yang mewah. "Risa, sebagai putri sulung Keluarga Brown, kamu akan menikah dengan Davis Allen dari Keluarga Allen."
Risa membeku di tengah langkah, napasnya tersendat dan tangannya mengepal saat dia perlahan berbalik menghadap ayahnya dengan mata terbuka lebar penuh ketidakpercayaan. "Ayah, apa ini lelucon," tanyanya ragu.
Ekspresi George tetap tegas, nadanya tanpa kompromi, "Aku telah menandatangani kesepakatan bisnis dengan mereka, dan itu adalah salah satu persyaratan untuk memudahkannya."
"Sebuah aliansi?" Suara Risa naik tajam. "Dengan seorang lumpuh? Davis Allen sudah hancur, Ayah. Keluarganya bahkan tidak menginginkannya lagi. Apa untungnya bagi kita?"
George mendesah, "Mereka mungkin tidak menginginkannya, tetapi dia tetap seorang Allen, dan Keluarga Allen tetap kuat, Risa. Nama mereka saja memiliki bobot, bahkan jika Davis tidak lagi berada di puncaknya. Pernikahan ini—"
"Pernikahan ini akan menjadi kehancuranku, Ayah!" Risa memotongnya, tumitnya mengetuk lantai dengan marah saat dia mondar-mandir. "Apakah Ayah pernah berpikir apa yang akan mereka katakan tentangku, dan apa yang akan mereka pikirkan tentangku?"
"Kamu akan belajar beradaptasi," George menyela, suaranya tegas. "Pernikahan ini bukan tentang perasaan pribadi. Ini tentang gambaran yang lebih besar."
"Gambaran yang lebih besar, ya?" Risa mencemooh, berbalik menghadap ayahnya. Matanya menyala dengan amarah. "Ketika Ayah memintaku untuk membuang masa depanku demi seseorang yang bahkan tidak bisa berdiri di atas kedua kakinya sendiri. Bagaimana dengan mimpiku, Ayah? Ambisiku? Cita-citaku, Ayah?"
Clara, yang duduk diam di sofa, akhirnya angkat bicara dengan nada tenang. "Risa, pengorbanan diperlukan demi kebaikan yang lebih besar. Kamu adalah bagian dari keluarga ini, dan tugasmu adalah memastikan kesuksesannya."
Risa berpaling ke ibunya, suaranya sarat dengan sarkasme. "Oh, tentu saja, tetapi kesuksesan keluarga seharusnya tidak dicapai dengan membelenggu putrimu kepada seorang pria yang hancur."
Mata Clara menyipit sedikit. "Jaga nadamu, Risa. Kamu bukan anak kecil lagi. Kamu tahu bagaimana semua ini bekerja. Lagipula, Davis mungkin lumpuh, tapi dia tetap seorang Allen."
Risa tertawa getir. "Tidak, Bu, aku tidak mengerti. Yang aku pahami adalah aku sedang digunakan sebagai alat tukar. Dan aku tidak akan diam saja. Lagipula, dia adalah Allen yang tidak berharga dan tidak berguna."
Telepon di meja George berdering, memutus ketegangan di ruangan itu. Dia hanya ragu sejenak sebelum meraihnya, alisnya berkerut saat dia melihat ID pemanggil.
"Aku akan segera kembali," gumam George singkat, suaranya kaku saat dia menuju lorong. Langkah kakinya memudar saat dia mengangkat telepon, meninggalkan Risa dan Clara sendirian di ruangan itu.
Risa menggeliat tak nyaman di kursinya, jarinya mengetuk-ngetuk resah di sandaran kursi. Keheningan di ruang tamu begitu nyata di antara dirinya dan ibunya, Clara.
Clara mempelajari putrinya dengan tenang, menunggu reaksinya. "Jadi, bagaimana perasaanmu tentang keputusan yang baru saja ayahmu buat?"
Bibir Risa melengkung membentuk senyuman getir, lengannya terlipat di dadanya saat dia menyandarkan tubuh ke sofa. "Aku tidak merasa apa-apa." Suaranya terdengar acuh tak acuh, tapi matanya mengkhianati rasa frustrasinya. "Ini semua hanya permainan, bukan, Bu? Sebuah strategi untuk menjebakku di sudut dan menggunakan aku sebagai pion untuk keluarga ini."
Clara tertawa pelan, jarinya dengan lembut menelusuri tepi gelas yang dipegangnya. "Ini bukan hanya sebuah permainan, sayang. Ini adalah peluang. Sesuatu yang akan kamu pelajari untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin, jika kamu setuju denganku."
Mata Risa berkedip dengan rasa kesal saat dia menatap tajam ke arah ibunya. "Peluang? Maksud Ibu adalah memanipulasiku untuk menikahi seseorang yang sama sekali tidak aku pedulikan?" Dia mengepalkan tinjunya, suaranya meninggi karena frustrasi. "Pria lumpuh yang telah kehilangan segalanya. Yang sekarang bukan siapa-siapa dan tidak akan pernah menjadi siapa-siapa di masa depan."