Cahaya redup dari Gerbang Delta berpendar tak menentu, seolah berdenyut mengikuti ritme yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup dekat. Udara di sekitar Kazuki terasa lebih berat, seakan sesuatu—atau seseorang—sedang mengamatinya dari dalam kegelapan dimensi lain.
Shou sibuk menyesuaikan frekuensi pemindai temporal di tangannya. "Gerbang ini tidak seperti yang kupikirkan. Ada energi yang—"
Namun, sebelum Shou bisa menyelesaikan kalimatnya, Kazuki merasakan kehadiran yang familiar.
> Dia ada di sini.
Dari sudut ruangan, di antara bayangan yang seharusnya kosong, sosok bertopeng perak muncul.
Kazuki membeku.
"Sial…" gumamnya, matanya langsung waspada.
Shou dan Rin ikut menoleh, tetapi ekspresi mereka menunjukkan kebingungan—mereka tidak bisa melihatnya.
Pria bertopeng itu melangkah maju tanpa suara, mantel gelapnya berayun perlahan seperti tidak terpengaruh gravitasi. Meski wajahnya tertutup, Kazuki bisa merasakan tatapan tajam yang menusuk menembusnya.
> "Kebenaran tidak akan membebaskanmu—itu akan memenjarakanmu selamanya."
Suara pria itu bergema di dalam kepalanya, lebih seperti bisikan dari dimensi lain daripada suara biasa.
Kazuki mengepalkan tangannya. "Siapa kau sebenarnya?"
Pria bertopeng itu tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di sana, seolah menunggu sesuatu.
> "Apakah kau benar-benar ingin tahu?"
Kazuki menahan napas. Ia sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.
"Ya."
Dan seketika itu juga—
Cermin realitas pecah.
---
Ruangan di sekitar Kazuki berubah. Seketika, ia berdiri di suatu tempat yang bukan laboratorium, bukan juga dunia yang ia kenal.
Bayangan yang terdistorsi membentuk koridor panjang, penuh dengan pantulan dirinya dari berbagai sudut. Namun, pantulan itu tidak bergerak bersamaan dengannya.
Mereka… hidup.
Satu per satu, refleksi Kazuki mulai bergerak dengan sendirinya, melakukan tindakan yang berbeda—beberapa tampak mengamati, beberapa tampak berteriak dalam keheningan.
Lalu, salah satu refleksi itu berbisik:
> "Kau bukan yang pertama. Kau bukan yang terakhir."
Kazuki melangkah mundur, tetapi cermin di belakangnya meleleh seperti cairan hitam. Ia terperangkap.
"Ini… bukan ilusi," gumamnya.
> "Tidak. Ini adalah dirimu yang lain. Yang terpecah."
Kazuki menoleh ke arah pria bertopeng yang kini berdiri di tengah ruangan reflektif ini.
"Jika aku bukan yang pertama… lalu berapa banyak versi diriku yang telah terjebak di sini?"
Pria bertopeng itu tetap diam, tetapi di balik topengnya, ada sesuatu yang menyerupai senyuman samar.
> "Bertanya tidak akan mengubah takdirmu, Kazuki Amamiya."
Kazuki merasakan gelombang ketidakpastian menyerang kesadarannya.
> Jika ada banyak versi diriku… siapa yang asli?
---
Di dunia nyata, Rin dan Shou melihat tubuh Kazuki tiba-tiba melemah, seperti ditarik oleh sesuatu yang tak kasat mata.
"Kazuki!" Rin berusaha meraih bahunya, tetapi begitu ia menyentuhnya—sebuah kilatan cahaya muncul.
Kazuki tersentak kembali ke realitas. Ia terengah-engah, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Shou menatapnya dengan tajam. "Apa yang terjadi?"
Kazuki menggeleng, mencoba mengatur napasnya. "Aku… melihat sesuatu. Dunia lain. Refleksi yang tidak seharusnya ada."
Rin mengerutkan kening. "Apa maksudmu dengan 'refleksi'?"
Kazuki menatap bayangannya sendiri di lantai.
"Lain kali, aku mungkin tidak akan kembali."
Shou dan Rin bertukar pandang.
Kazuki mengepalkan tangannya.
> Jika kebenaran adalah penjara… apa yang terjadi jika aku melarikan diri?
---
Kazuki menatap Gerbang Delta sekali lagi. Ia tahu, di baliknya, mungkin ada jawaban yang ia cari.
Atau mungkin, kehancuran yang ia takuti.
Tapi ia tidak bisa berhenti sekarang.
> "Aku harus tahu… bahkan jika itu menghancurkan siapa diriku."
Dan tanpa ragu, ia melangkah lebih dekat ke gerbang itu—menuju jawaban yang bisa mengubah segalanya.
---
To be continued