Terbangun di Kota yang Tidak Seharusnya Ada
Kazuki membuka matanya perlahan.
Udara di sekitarnya terasa aneh—tidak terlalu dingin, tidak terlalu panas. Seperti berada di ruang kosong yang tidak memiliki identitas. Ia mengangkat tubuhnya perlahan, mencoba memahami di mana ia berada.
Ia duduk di atas lantai batu yang dingin, di tengah jalan yang kosong. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di sekelilingnya, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada langkah kaki manusia.
Hanya keheningan.
Langit di atasnya berwarna abu-abu pudar, seperti cat yang luntur dari kanvas tua. Jam besar di menara kota di kejauhan berdetak pelan—tetapi bukan maju. Jarumnya bergerak mundur.
Kazuki mengerutkan kening.
> Apakah aku masih berada dalam loop? Atau ini sesuatu yang lain?
Ia mencoba mengingat langkah terakhirnya—ia telah melewati Gerbang Delta. Seharusnya ia sudah keluar dari loop, seharusnya ia…
Tetapi ini bukan tempat yang ia kenal.
Ia berdiri, menepuk-nepuk pakaian hitamnya yang kini berdebu. Kakinya melangkah ke depan, mencoba mencari petunjuk. Tidak ada tanda-tanda waktu di sini—tidak ada kalender, tidak ada layar elektronik yang menunjukkan tanggal atau tahun.
Seolah tempat ini tidak memiliki masa lalu, dan tidak bergerak menuju masa depan.
---
Kazuki berbelok ke sebuah jalan sempit, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan situasinya.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara langkah lain di belakangnya.
Ia berbalik dengan cepat.
Tidak ada siapa-siapa.
Tetapi kemudian, seseorang muncul dari sudut bangunan tua. Seorang gadis.
Rambutnya hitam panjang, matanya tajam namun teduh. Ia memakai sweater tipis berwarna biru tua dan rok hitam yang hampir menyentuh lututnya.
Yang membuat Kazuki membeku bukanlah penampilannya.
Melainkan ekspresinya.
Gadis itu tersenyum—senyum yang seolah penuh dengan pemahaman.
Seakan ia sudah menunggu Kazuki.
> "Akhirnya kau sampai di sini."
Kazuki tidak langsung merespons.
> "Siapa kau?"
Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Namaku Aoi. Dan kau seharusnya tidak berada di sini."
Kazuki mengernyit. "Apa maksudmu?"
Aoi menghela napas pelan, lalu melangkah mendekat.
> "Tempat ini adalah 'Pecahan Dimensi'. Mereka yang gagal melarikan diri dari loop berakhir di sini."
Kata-katanya membuat Kazuki merasakan dingin merambat ke tulangnya.
> "Jadi, aku gagal?"
Aoi menggeleng. "Aku tidak tahu. Tapi jika kau di sini, itu berarti kau bukan yang pertama."
Kazuki mengerutkan kening. "Bukan yang pertama?"
Aoi mengangkat tangannya dan menunjuk ke bangunan tua di belakangnya.
Di dinding bata yang retak, ada tulisan samar yang hampir pudar:
"Yang pertama… bukanlah yang terakhir."
---
Kazuki menatap tulisan itu. Ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang terasa terlalu familiar.
Tapi sebelum ia bisa merenungkannya lebih jauh, sebuah pantulan di kaca jendela kafe tua di sebelahnya menarik perhatiannya.
Bayangan seseorang.
Seseorang yang berdiri di seberang jalan, menatapnya dari jauh.
Kazuki membalikkan tubuhnya dengan cepat—
Tidak ada siapa-siapa.
Namun, jantungnya berdegup lebih cepat.
> Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini?
Ia kembali menoleh ke Aoi, tetapi gadis itu hanya diam, menatapnya seakan tahu apa yang baru saja dilihatnya.
---
Kazuki mengepalkan tangannya.
> Jika ini adalah tempat bagi mereka yang gagal… apa yang terjadi pada mereka yang berhasil?
Dan untuk pertama kalinya sejak memasuki tempat ini, ia merasakan sesuatu yang lebih menakutkan daripada loop itu sendiri—
Perasaan bahwa ia tidak sendirian.
---
To be continued