Kenangan yang Bukan Miliknya
Kazuki terbangun dengan napas terengah-engah.
Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membasahi dahinya. Ia menatap sekeliling—ia masih berada di kota aneh ini, di dalam ruangan kecil yang ia temukan semalam. Tetapi rasa cemas yang menggigit dadanya tidak berasal dari lingkungan ini.
Itu berasal dari mimpi yang baru saja ia alami.
Dalam mimpi itu, ia berada di dalam laboratorium gelap yang penuh dengan perangkat aneh. Kabel-kabel menjalar di lantai seperti akar pohon yang melilit. Suara dengungan listrik memenuhi udara. Dan di tengah ruangan…
Ia melihat dirinya sendiri.
Bukan sebagai refleksi di cermin, tetapi sebagai sosok lain.
Kazuki dalam mimpi itu mengenakan jas laboratorium putih yang ternoda, matanya tajam dan penuh pemikiran, seolah sedang menganalisis sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh manusia biasa. Tangannya menyentuh layar holografik yang menampilkan angka-angka aneh—angka yang terasa familiar, meskipun Kazuki di dunia nyata tidak pernah melihatnya sebelumnya.
Kemudian, sebelum mimpi itu berakhir, ia mendengar bisikan yang memenuhi seluruh laboratorium.
> "Kau bukan satu-satunya dirimu."
Kazuki menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan suara itu dari pikirannya.
Tetapi bayangan laboratorium itu masih melekat, seolah bukan sekadar mimpi—melainkan kenangan dari kehidupan yang tidak pernah ia jalani.
---
"Kau terlihat lebih pucat dari biasanya."
Kazuki menoleh. Aoi berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi khawatir. Ia tidak langsung menjawab.
Aoi masuk ke dalam ruangan, duduk di kursi tua di sudut. "Kau mulai mengalaminya, bukan?"
Kazuki menyipitkan mata. "Mengalami apa?"
Aoi menarik napas dalam. "Distorsi identitas."
Kazuki tidak menjawab, tetapi tatapannya cukup menjadi jawaban.
Aoi melanjutkan, suaranya lebih tenang. "Setiap orang yang terjebak di Pecahan Dimensi ini akan mengalaminya. Semakin lama kau di sini, semakin banyak lapisan dirimu yang mulai terpecah."
Kazuki merasakan hawa dingin merambat di tengkuknya. "Dan jika semua lapisan itu menghilang…?"
Aoi menatap lurus ke matanya.
> "Kau akan lenyap."
Hening.
Kazuki mengepalkan tangannya. "Lalu, bagaimana cara keluar dari sini?"
Aoi mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Ada satu jalan."
Kazuki menunggu.
Aoi akhirnya berbisik, "Pintu Tanpa Bayangan."
---
"Kedengarannya seperti sesuatu dari cerita anak-anak," Kazuki bergumam.
Aoi tersenyum tipis. "Mungkin terdengar seperti itu, tapi ini nyata. Pintu itu ada di kota ini, tetapi hanya bisa dibuka oleh mereka yang mengenali kebenaran diri mereka sendiri."
Kazuki mengernyit. "Apa maksudmu dengan 'kebenaran diri'?"
Aoi berdiri, melangkah ke jendela. "Kau harus tahu siapa dirimu sebenarnya. Jika ada bagian dari dirimu yang masih tersembunyi… jika ada sesuatu yang belum kau terima… maka pintu itu tidak akan pernah terbuka untukmu."
Kazuki terdiam.
> Tahu siapa diriku sebenarnya?
Kata-kata itu menggema di kepalanya. Tetapi justru di saat seperti ini, ia merasa semakin tidak mengenali dirinya sendiri.
Jika kenangan aneh ini bukan miliknya… lalu siapa dia sebenarnya?
---
Kazuki dan Aoi berjalan melewati lorong bawah tanah yang gelap, mencari petunjuk tentang lokasi Pintu Tanpa Bayangan.
Di sini, udara terasa lebih berat, dan gema langkah kaki mereka terdengar terlalu pelan dibandingkan dengan suara sebenarnya. Seolah-olah dinding-dinding ini mencoba menyedot keberadaan mereka.
Saat mereka melewati persimpangan lorong, Kazuki tiba-tiba berhenti.
Di ujung koridor yang remang-remang, seseorang berdiri di bawah lampu yang berkedip lemah.
Seorang pria bertopeng perak.
Kazuki membeku.
Pria itu tidak bergerak, hanya berdiri di sana… mengawasinya.
Kazuki membuka mulutnya untuk bertanya sesuatu, tetapi sebelum ia sempat berbicara, lampu di langit-langit berkedip satu kali—
Dan pria bertopeng itu menghilang.
Kazuki menoleh ke Aoi. "Kau melihat itu?"
Aoi mengerutkan kening. "Melihat apa?"
Kazuki menatap kembali ke lorong yang kini kosong.
> Jadi, hanya aku yang bisa melihatnya?
---
Mereka akhirnya tiba di ruang arsip tua—bangunan yang hampir seluruhnya ditelan oleh debu dan waktu.
Kazuki mulai membolak-balik buku-buku dan dokumen yang ada di dalamnya, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantu mereka.
Dan di sanalah ia menemukannya.
Sebuah buku catatan tua, tertutup debu.
Ia meniup permukaannya, membuka halaman pertamanya.
Tulisannya buram, tetapi salah satu kalimat masih bisa terbaca dengan jelas:
> "Bayangan sejati datang di akhir perjalanan."
Kazuki merasakan sesuatu menusuk dadanya saat membaca kalimat itu.
Bayangan sejati?
Entah mengapa, ia merasa kalimat ini bukan sekadar metafora.
Seolah-olah… ada sesuatu yang menunggunya di akhir perjalanan ini.
---
Kazuki menggenggam buku itu erat.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tetapi pertanyaan itu tetap berputar di benaknya, mengusiknya tanpa henti.
> Jika aku kehilangan diriku… apakah aku masih bisa kembali?
---
To be continued