Kembali, Tapi Tidak Sepenuhnya
Kazuki berdiri di tengah kamarnya, memandangi dinding yang terasa lebih kosong dari sebelumnya.
Ia telah kembali. Dunia nyata ada di sekelilingnya—udara yang ia hirup tidak lagi terasa berat, tidak ada suara gemuruh dari dimensi yang retak, dan waktu bergerak seperti seharusnya.
Namun… sesuatu terasa salah.
Kazuki mengusap wajahnya, mencoba menenangkan pikirannya yang terasa kabur. Ia tahu bahwa ia telah kehilangan sesuatu. Seseorang.
Namun, siapa?
Ia tidak bisa mengingatnya dengan jelas.
Yang tersisa hanyalah perasaan hampa yang mengganggu.
---
Kazuki berjalan keluar rumah. Matahari bersinar seperti biasa, jalanan penuh dengan orang-orang yang menjalani rutinitasnya. Semuanya terlihat normal.
Namun, saat ia melihat sekeliling…
Ada celah dalam dunia ini.
Bukan celah fisik—tidak ada distorsi waktu atau perpecahan realitas—tetapi celah dalam keberadaan.
Seolah-olah ada bagian dari dunia ini yang telah dihapus.
Sebuah bangku di taman yang terasa terlalu kosong. Sebuah sudut di kafe yang seharusnya tidak sesunyi itu.
Kazuki berdiri di trotoar, mencoba memahami perasaan ini.
Lalu, ia merasakan sesuatu di saku jaketnya.
Sebuah catatan.
Jantungnya berdegup lebih cepat saat ia menariknya keluar.
Kertasnya kusut, seolah-olah telah ada di sana sejak lama. Tetapi Kazuki yakin, ia tidak pernah memasukkannya ke dalam saku.
Dengan tangan sedikit gemetar, ia membuka lipatannya.
Ada satu kalimat yang tertulis di sana, dengan tinta yang mulai pudar:
> "Jangan lupakan aku."
Kazuki membeku.
Sebuah sensasi tajam merayapi pikirannya. Sesuatu yang hampir ia ingat—sebuah nama, sebuah suara—tetapi tetap berada di luar jangkauannya.
Siapa yang menulis ini?
Dan… mengapa ia merasa bahwa seseorang sedang menunggunya untuk mengingat?
---
Kazuki berjalan tanpa tujuan, membiarkan instingnya memandu langkahnya.
Sampai ia menemukan dirinya berdiri di depan Omega Shift.
Fasilitas itu telah ditinggalkan sejak lama, tetapi saat ia berdiri di depan pintunya, ia merasakan deja vu yang begitu kuat.
Seolah-olah ada bagian dari dirinya yang masih terjebak di sini.
Kazuki menekan pelipisnya. Kepalanya mulai berdenyut—sebuah kilasan ingatan melintas.
> Seorang gadis…
Senyuman samar…
Sebuah janji yang tidak ia ingat kapan dibuat…
Kazuki tersentak mundur.
Ada seseorang di sana, di dalam ingatannya.
Seseorang yang tidak seharusnya dilupakan.
---
Kazuki kembali ke apartemennya saat matahari mulai terbenam.
Pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang tidak bisa ia jawab, tetapi ada sesuatu yang lebih mengganggunya.
Di sudut meja, ada radio tua yang sudah lama tidak berfungsi.
Namun, malam ini, radio itu berbunyi.
Bukan suara musik atau siaran berita.
Tetapi dentingan halus—seperti kode yang berulang.
Kazuki menatapnya dengan hati-hati. Ia tidak pernah menyalakan radio itu. Seharusnya benda itu sudah rusak sejak lama.
Namun, sinyal aneh itu terus berulang.
Seolah-olah ada seseorang di ujung frekuensi yang mencoba menghubunginya.
Kazuki mengulurkan tangan, jemarinya melayang di atas tombol volume.
Suara dengingan halus semakin keras.
Lalu, untuk sesaat—
Di antara gangguan sinyal itu, ada suara seseorang.
Sebuah suara lembut, hampir tak terdengar, tetapi cukup jelas untuk membuat Kazuki menahan napas.
> "Kau masih ingat aku… kan?"
Kazuki membeku.
Jantungnya berdetak begitu keras, seolah-olah tubuhnya mengenali sesuatu yang pikirannya masih belum bisa tangkap.
Ia menelan ludah, mendekatkan wajahnya ke arah radio.
Tetapi sebelum ia bisa merespons, suara itu menghilang.
Hanya tersisa keheningan… dan suara detak jantungnya sendiri.
Kazuki menatap radio itu lama, sebelum akhirnya bergumam pelan:
> "Jika aku mengingatnya… apakah dia juga mengingatku?"
---
To be continued