Kazuki menekan pelipisnya saat rasa pusing tiba-tiba menyerang. Napasnya memburu, dan ia terhuyung ke meja di apartemennya. Distorsi memori yang selama ini menghantuinya semakin parah.
Dua versi kejadian yang bertolak belakang terus bertabrakan dalam pikirannya, membuatnya sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang… seharusnya tidak ada.
Dalam satu versi, ia berjalan sendirian di koridor kampus. Udara dingin, langit mendung, dan suara langkah kakinya bergema di sepanjang lorong. Ia ingat melihat pantulan dirinya di jendela besar yang menghadap ke halaman sekolah—hanya dirinya, sendirian.
Namun, di versi lain, ada seseorang di sampingnya.
Seorang gadis.
Kazuki meremas rambutnya, mencoba mengingat wajahnya, tapi seperti biasa, sosok itu selalu kabur, seolah memori itu telah dipotong dan dihapus dari pikirannya.
Meski begitu, ia bisa merasakan keberadaannya. Ada suara napas ringan di sisinya, langkah kaki yang beriringan dengannya, dan… aroma lavender yang samar.
Tunggu.
Aroma itu.
Kazuki membeku. Ia tahu aroma ini.
Matanya melebar saat ingatan lain mendesaknya. Sebuah suara—lembut, hangat, tapi juga dipenuhi rasa putus asa.
"Kazuki… jangan lupakan aku."
Kazuki tersentak, mundur selangkah hingga punggungnya menabrak dinding. Jantungnya berdebar kencang.
"Siapa… kau?" bisiknya pada udara kosong, tetapi tidak ada jawaban. Hanya kesunyian yang membalasnya.
Ia menghembuskan napas, mencoba mengendalikan diri. Dengan langkah ragu, ia berjalan ke meja kecil di sudut kamar. Di sana, sesuatu menarik perhatiannya—selembar foto yang hangus di pinggirannya.
Kazuki meraihnya dengan hati-hati. Foto itu menampilkan dirinya berdiri di depan tempat yang samar-samar ia kenali. Namun, ada sesuatu yang salah.
Di sampingnya ada ruang kosong—seolah seseorang pernah berdiri di sana, tetapi bagian itu telah dihilangkan.
Jantung Kazuki mencelos.
Siapa yang telah dihapus dari foto ini?
Dengan tangan gemetar, ia membalikkan foto itu. Matanya langsung tertuju pada serangkaian angka dan simbol yang tergores di belakangnya. Sebuah kode biner.
Kazuki mengerutkan kening. Tanpa ragu, ia meraih ponselnya dan mengetikkan kode itu ke dalam program deskripsi sederhana.
Hanya butuh beberapa detik sebelum hasilnya muncul.
"Anchor-Lost-042."
Kazuki merasakan hawa dingin merambat di tengkuknya. Kata "anchor" terasa familiar.
Ia pernah membaca sesuatu tentang "Anchor of Memory" di perpustakaan beberapa waktu lalu, tetapi saat itu ia tidak terlalu memikirkannya. Sekarang, ia merasa bahwa semua ini bukan kebetulan.
Kazuki menggenggam foto itu erat, suaranya pelan namun penuh tekad.
"Aku tidak sendirian di masa lalu… kan?"
Sebuah suara lirih tiba-tiba terdengar di telinganya. Bukan gema pikirannya sendiri, tapi sesuatu yang nyata.
"Kau tidak sendirian…"
Kazuki terdiam. Napasnya tertahan.
"Apa…?"
Ia menoleh dengan cepat, mencari sumber suara itu, tetapi ruangan tetap kosong. Namun, aroma lavender kembali tercium, lebih kuat dari sebelumnya.
Kazuki menggigit bibirnya. Sesuatu… atau seseorang mencoba menghubunginya.
Dan ia bertekad untuk menemukan jawabannya.
---
To be continued