Bayangan yang Menunggu

Kazuki berdiri di depan pintu baja besar yang tersembunyi di kedalaman laboratorium bawah tanah. Udara di sekelilingnya terasa lebih berat, seolah ruangan ini menyimpan sesuatu yang tidak seharusnya ditemukan.

Ia menarik napas dalam dan menyentuhkan telapak tangannya ke permukaan logam dingin itu.

Catnya sudah terkelupas, memperlihatkan bekas goresan yang tak beraturan, seakan seseorang pernah mencoba membuka paksa pintu ini.

Dengan sedikit usaha, ia memutar roda pengunci dan mendorong pintu itu perlahan. Suara derit besi yang berkarat menggema di sepanjang lorong gelap, sebelum akhirnya pintu terbuka cukup untuk dirinya masuk.

Kazuki menyorotkan senter ke dalam ruangan itu. Cahaya putihnya menangkap pemandangan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Di tengah ruangan, terdapat sebuah kapsul transparan—retakan kecil menghiasi permukaannya, namun perangkat di sekitarnya masih tampak aktif, kabel-kabel yang terhubung ke dinding berkedip dengan cahaya redup.

Kazuki melangkah mendekat.

Kapsul itu tidak kosong sepenuhnya. Ada bekas sidik jari di bagian dalam kacanya, samar tapi jelas menunjukkan bahwa seseorang pernah berada di dalamnya.

Kazuki menelan ludah.

"Apakah ini… tempat Omega Shift pertama kali diaktifkan?"

Ia memeriksa perangkat di samping kapsul. Layar kecil menampilkan kode yang familiar, tetapi satu kalimat di bawahnya membuat tubuhnya menegang.

"Status: Subjek tidak ditemukan."

Kazuki mengernyit. "Apa maksudnya? Apakah dia keluar… atau menghilang?"

Saat itu juga, angin dingin berhembus melewati tengkuknya. Ia merasakan sesuatu yang tak terlihat bergerak di belakangnya, dan aroma lavender yang begitu familiar menyelimutinya.

Suara samar terdengar di telinganya.

"Kazuki…"

Kazuki terhuyung ke belakang, senter di tangannya sedikit bergetar. Ia menoleh ke arah kapsul, namun tidak ada siapa pun di sana.

Tapi ia tahu ia tidak sendirian di ruangan ini.

Matanya tertuju pada sesuatu di lantai, tepat di sebelah kapsul. Sebuah kalung perak tergeletak di sana—identik dengan yang pernah ia temukan sebelumnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

Ia berjongkok, mengangkat kalung itu dengan tangan gemetar. Cahaya senter memantul di permukaannya, memperlihatkan ukiran kecil di bagian belakang liontin.

"Rin."

Kazuki membeku.

Tangannya mengepal erat di sekitar kalung itu. Seakan sesuatu yang terkunci dalam pikirannya selama ini akhirnya terbuka.

Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, ia mengucapkan nama itu.

"Rin… kau masih di sini."

Suara itu terdengar lagi—kali ini lebih dekat, lebih nyata.

"Aku menunggumu…"

Kazuki menoleh ke kapsul.

Dan dalam sekejap, ia melihatnya.

Bayangan Rin—kabur dan bergetar seperti ilusi—berdiri di dalam kapsul itu, memandangnya dengan mata yang dipenuhi kesedihan.

Sebelum Kazuki bisa bereaksi, bayangan itu menghilang begitu saja, seolah tak pernah ada.

Namun, aroma lavender tetap tinggal di udara.

---

To be continued