Kegelapan.
Kazuki merasa seperti jatuh tanpa henti ke dalam kehampaan. Tidak ada atas atau bawah, tidak ada cahaya, tidak ada suara—hanya kehampaan mutlak yang menelannya.
Namun, di tengah kegelapan itu, ada sesuatu. Bisikan.
Samar, hampir seperti suara yang berasal dari dalam pikirannya sendiri.
"Kau akhirnya sampai di sini..."
Suara itu… Rin.
Kazuki membuka matanya. Cahaya redup perlahan merembes ke dalam kehampaan, membentuk ruang yang tidak seharusnya ada—seperti serpihan dimensi yang terjebak di antara realitas. Lantai di bawahnya tampak seperti cermin retak yang memantulkan masa lalu dan masa depan secara bersamaan. Langit di atasnya adalah lautan bintang yang bergerak, tetapi bentuknya terasa salah, seolah-olah itu bukan bintang… melainkan sesuatu yang mengawasi mereka.
Di tengah ruang itu, berdiri seseorang.
Rin.
Rambutnya melayang ringan, seolah udara di sini tidak mengikuti hukum fisika biasa. Matanya yang selalu tajam kini tampak redup, tetapi begitu ia melihat Kazuki, sorot matanya berubah—seolah ia masih belum percaya bahwa Kazuki benar-benar ada di hadapannya.
"Kau datang," Rin berbisik.
Kazuki melangkah mendekat, tetapi ada sesuatu yang menghalangi mereka. Dinding tak terlihat.
Ia mengulurkan tangannya, dan pada saat yang sama, Rin juga melakukan hal yang sama dari sisi lain. Ujung jari mereka nyaris bersentuhan… tetapi ada sesuatu di antara mereka yang membuat realitas bergetar.
"Ini... bukan hanya aku yang terjebak," Rin berkata pelan. "Kita semua.""
Kazuki mengerutkan alisnya. "Maksudmu?"
Rin menunduk, seolah mencoba merangkai kata-kata. "Aku sudah mencoba memandumu sejak awal. Setiap kali kau mendengar suara, setiap kali ada sesuatu yang terasa… salah, itu aku."
Kazuki teringat aroma lavender samar yang selalu muncul di saat-saat aneh. "Itu kau…?"
Rin mengangguk. "Tapi aku tidak sendirian di sini, Kazuki. Ada sesuatu yang terus mencoba menghalangi kita."
Kazuki tidak perlu bertanya apa yang Rin maksud.
Entitas bertopeng perak.
"Kau tahu siapa dia?" Kazuki bertanya dengan nada serius.
Rin menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Aku tidak yakin… tapi aku tahu satu hal: dia tidak ingin kita keluar dari sini. Dan dia juga bukan satu-satunya yang ada di tempat ini."
Kazuki menegang. "Apa maksudmu?"
Sebelum Rin bisa menjawab, realitas di sekitar mereka mulai bergetar.
Cermin-cermin retak di lantai pecah semakin dalam, memperlihatkan fragmen-fragmen dunia yang berbeda—versi-versi dunia di mana Kazuki pernah berada, loop yang telah ia jalani berulang kali.
Dalam salah satu fragmen, ia melihat dirinya sendiri dengan luka bakar lebih dalam di tangannya, berteriak dalam keputusasaan.
Di fragmen lain, ia melihat laboratorium yang hancur, dengan tubuh seseorang tergeletak tak bergerak di lantai.
Dan di fragmen terakhir… ia melihat Rin, tetapi bukan Rin yang berdiri di depannya sekarang.
Rin lain.
"Kita bukan yang pertama," Rin berbisik. _"Dan kita tidak akan menjadi yang terakhir."_
Kazuki menahan napas. "Jadi… kita hanya bagian dari sesuatu yang lebih besar?"
Rin menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Omega Shift bukan hanya mesin waktu, Kazuki. Ini adalah sangkar. Dan satu-satunya cara untuk keluar…"
Kazuki memahami maksudnya bahkan sebelum Rin menyelesaikan kalimatnya.
Mata mereka bertemu, dan dalam hening, sebuah keputusan terbentuk di antara mereka.
"Kita harus menghancurkannya."
Kazuki mengepalkan tangannya. "Kalau itu satu-satunya cara untuk mengakhiri ini… aku akan melakukannya."
Di balik batas realitas, Rin mengulurkan tangannya sekali lagi. Kali ini, Kazuki tidak ragu.
Saat jari-jarinya menyentuh tangan Rin, sesuatu dalam ruang di antara mereka retak.
Realitas mulai runtuh.
Tetapi kali ini, mereka akan menemukan jalan keluar—bersama-sama.
---
To be continued