Suara itu berbisik.
Lemah. Samar.
Tapi nyata.
"Rin…"
Rin terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi dahinya saat ia terduduk di tempat tidur. Dadanya naik turun, sementara jantungnya berdegup kencang.
Ia menoleh ke sekitar. Apartemennya masih sama seperti sebelumnya—sepi, tanpa jejak keberadaan Kazuki. Namun, ia mendengar suaranya.
Bukan mimpi. Bukan halusinasi.
Kazuki masih ada.
Rin menutup matanya dan mencoba berkonsentrasi.
"Rin… kau mendengarku?"
Suara itu terdengar lagi—pelan, tetapi jelas. Seolah-olah berasal dari celah antara realitas dan kehampaan.
"Aku… aku bisa mendengarmu," bisiknya.
Tidak ada jawaban.
Suara Kazuki hanya datang sesaat, lalu menghilang seperti debu di angin.
Tapi itu cukup.
Kazuki tidak benar-benar hilang. Ia hanya… terjebak.
Omega Shift belum menghapusnya sepenuhnya.
Dan jika ada jalan masuk ke dalam kehampaan itu—maka harus ada jalan keluar.
—
Hari berikutnya, Rin kembali ke laboratorium Omega Shift. Ia menelusuri setiap sudut yang tersisa, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa menghubungkannya dengan Kazuki.
Hingga akhirnya, di ruang arsip yang sudah lama ditinggalkan, ia menemukannya.
Sebuah kotak kecil berwarna hitam, tersembunyi di balik tumpukan berkas lama.
Jantung Rin berdegup kencang saat ia membuka kotak itu dengan tangan gemetar.
Di dalamnya, ada sebuah kunci logam kecil… berbentuk simbol ∞ (infinity).
Kunci terakhir.
Begitu Rin menyentuh kunci itu, udara di sekitarnya terasa berubah.
Seketika, ruangan menjadi sunyi—terlalu sunyi.
Kemudian, sebuah suara berbisik di pikirannya:
"Gerbang ini hanya bisa dibuka oleh mereka yang mengingat segalanya."
Napas Rin tertahan.
Gerbang Keempat… hanya bisa dibuka jika ia masih mengingat Kazuki.
Omega Shift telah menghapus Kazuki dari dunia ini. Namun, jika ingatan Rin masih bertahan… maka mungkin itulah satu-satunya harapan mereka.
Rin mengepalkan tangannya di sekitar kunci infinity itu, matanya dipenuhi tekad.
"Aku ingat… dan aku akan membawamu pulang."
To be continued.