Realitas bergetar.
Saat kunci infinity berputar di dalam mekanismenya, udara di sekitar Rin terasa berubah. Ruang di hadapannya melengkung, seolah-olah dunia sedang menarik napas terakhir sebelum sesuatu yang besar terjadi.
Lalu—
Klik.
Sebuah pintu tak kasatmata terbuka, mengungkap kehampaan yang berpendar dengan cahaya biru pekat. Udara dingin menyapu kulitnya, membawa bisikan-bisikan samar yang tak bisa ia pahami sepenuhnya.
Gerbang Keempat telah terbuka.
Tanpa ragu, Rin melangkah masuk.
Begitu ia melewati ambang gerbang, gravitasi seolah menghilang. Rin merasa seperti melayang di tengah lautan waktu yang tak berbentuk—fragmen-fragmen cahaya beterbangan di sekitarnya, berisi pantulan dari berbagai kemungkinan yang tak pernah terjadi.
Ia melihat sekilas—Kazuki.
Ia berdiri di kejauhan, punggungnya menghadap Rin, tubuhnya perlahan memudar seperti bayangan yang tersapu angin.
"Kazuki!" Rin berlari, tapi ruang di sekitarnya terus berubah. Setiap langkah yang ia ambil terasa tak menentu, seakan tak ada jalan yang benar-benar membawanya lebih dekat.
"Aku di sini!" Kazuki berbalik sesaat, matanya yang biasanya penuh dengan keteguhan kini tampak lelah. "Rin, jangan datang ke sini. Dunia ini tidak untukmu."
"Tapi kau ada di sini!" Rin berteriak. "Aku datang untuk membawamu pulang!"
Sebelum Kazuki sempat menjawab, sebuah suara lain bergema di antara dimensi.
"Kau tidak seharusnya ada di sini."
Sosok dengan Mata Perak
Dari balik kehampaan, seseorang melangkah maju.
Sosok itu tinggi dan ramping, dengan rambut putih panjang yang berkilauan seperti serpihan bintang. Tapi yang paling mencolok adalah mata peraknya—berkilau dengan ketajaman yang tak manusiawi, seolah bisa menembus setiap lapisan kenyataan.
"Apa maksudmu?" Rin bertanya tajam.
Sosok itu menatapnya dengan ekspresi netral. "Kazuki Amamiya seharusnya sudah menghilang. Membawanya kembali akan menghancurkan keseimbangan yang telah dijaga selama ini."
Rin mengepalkan tangannya. "Keseimbangan seperti apa? Omega Shift? Siklus ini? Aku tidak peduli dengan itu. Aku hanya ingin menyelamatkannya."
Sosok bermata perak itu menutup matanya sesaat sebelum berbicara lagi. "Kau tidak mengerti, Rin Asagiri. Omega Shift bukan hanya perangkap waktu—ini adalah sistem yang menjaga kestabilan realitas. Jika kau memaksakan kehendakmu, seluruh dunia bisa runtuh."
Rin menggigit bibirnya. Ia tahu ada risiko, tapi apakah ia bisa membiarkan Kazuki tetap terjebak di tempat ini?
Rin melihat Kazuki lagi.
Wajahnya tidak menunjukkan ketakutan—hanya kelelahan dan sedikit kepasrahan. Seolah-olah ia sudah menerima nasibnya.
Tidak.
Rin tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Tangannya mengepal lebih erat, napasnya bergetar.
"Katakan yang sebenarnya," Rin berkata kepada sosok bermata perak. "Kau tidak ingin aku menyelamatkan Kazuki karena ada sesuatu yang lebih besar terjadi, bukan?"
Sosok itu tetap diam. Tapi di baliknya, di dinding Gerbang Keempat, sesuatu menarik perhatian Rin.
Sebuah ukiran: "S.R. bukan hanya satu orang… mereka banyak."
Rin menelan ludah.
"S.R."
Inisial itu muncul sebelumnya, di fragmen waktu yang ia lihat. Jika "S.R." bukan satu orang… apakah itu sebuah entitas? Sebuah organisasi? Atau sesuatu yang lebih besar?
Rin kembali menatap Kazuki, lalu sosok bermata perak.
Suaranya bergetar, tapi tekadnya tidak goyah.
"Aku memilih Kazuki."
Begitu Rin mengucapkan kata-kata itu, realitas bergetar hebat.
Cahaya biru di sekeliling mereka berdenyut liar, seperti jaring waktu yang mulai retak. Sosok bermata perak menghela napas pelan, tatapannya tajam.
"Kau baru saja membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup."
Lalu—
Segalanya pecah.
To be continued.