Dunia kembali normal—atau itulah yang mereka kira.
Rin membuka matanya, merasakan gravitasi yang stabil di bawah kakinya. Udara di sekitarnya tidak lagi bergetar dengan keanehan temporal. Cahaya dari lampu laboratorium terasa nyata, dingin, dan familiar.
Di sampingnya, Kazuki berdiri, napasnya masih berat seolah baru saja menarik diri dari kehampaan.
Mereka telah kembali.
Namun, sesuatu terasa salah.
“Kita… berhasil?” Rin bertanya, suaranya hampir bergetar.
Kazuki mengangkat tangannya, menatap telapak tangannya sendiri dengan mata menyipit. Garis-garis di kulitnya tampak pucat, hampir transparan.
“Tidak,” gumamnya. “Ada yang tidak beres.”
Rin baru menyadari sesuatu—tangannya pun mulai memudar.
Panik, ia mengangkatnya di bawah cahaya. Kulitnya seperti kabut tipis yang nyaris tak nyata, seolah-olah ia adalah refleksi yang tidak sepenuhnya ada di dunia ini.
“Kazuki…” Rin menoleh padanya. “Kenapa kita seperti ini?”
Kazuki menggigit bibirnya. Ia mencoba menyentuh meja di sampingnya, tetapi ujung jarinya hanya menyentuh udara kosong—seperti bayangan yang tidak bisa berinteraksi dengan dunia nyata.
Suaranya rendah dan tegang saat ia menjawab, “Kita mungkin telah kembali… tapi kita belum benar-benar ada di sini.”
—
Sebelum mereka sempat memahami situasi lebih jauh, sebuah suara bergema di ruangan.
"Kalian mungkin kembali… tapi paradoks ini belum berakhir."
Suara itu bukan milik siapa pun. Itu terdengar dari udara di sekitar mereka, bergema seperti gema dari sesuatu yang lebih besar daripada waktu itu sendiri.
Kazuki langsung memutar tubuhnya, matanya tajam. “Siapa itu?”
Tidak ada jawaban.
Hanya keheningan yang terasa lebih berat daripada sebelumnya.
Rin mengerutkan kening. Ia melangkah ke depan, mencoba menyentuh terminal komputer di laboratorium. Kali ini, jari-jarinya bisa menyentuhnya—tetapi ketika ia menekan tombol, tidak ada yang terjadi.
Seolah-olah dunia ini telah kehilangan kemampuan untuk merespons keberadaan mereka.
"Ini bukan dunia yang kita tinggalkan," bisik Rin. "Ada sesuatu yang berubah."
Kazuki mendongak, matanya tajam seperti biasa. "Jika kita masih bagian dari paradoks… maka kita belum benar-benar keluar dari Omega Shift."
Di udara, terdengar suara samar.
"Jika jangkar terakhir patah… waktu akan kehilangan batas."
Rin dan Kazuki saling berpandangan. Kata-kata itu bukan sekadar peringatan—itu adalah ancaman.
Kazuki menarik napas dalam, lalu berbalik pada Rin. Wajahnya serius, tetapi ada kehangatan di matanya.
"Apa pun yang terjadi," katanya pelan, menggenggam tangan Rin yang mulai memudar, "kita akan hadapi bersama."
Rin meremas tangannya erat, menahan ketakutan yang mulai merayap di dadanya.
Mereka telah kembali.
Tapi apakah mereka benar-benar kembali ke dunia yang seharusnya?
To be continued.