The Architect’s Truth

Cahaya biru yang memenuhi ruangan itu perlahan meredup, berganti dengan kegelapan yang merayap dari segala arah. Kazuki dan Rin berdiri di tengah kehampaan, dikelilingi oleh arus waktu yang berputar seperti sungai yang kehilangan bentuknya.

Dan di sana, di hadapan mereka, The Architect menunggu.

Sosok itu tidak memiliki bentuk yang jelas. Kadang-kadang terlihat seperti siluet manusia, kadang hanya bayangan yang bergerak seperti kabut. Suaranya—dalam, menggema, dan tidak berasal dari satu arah tertentu.

"Akhirnya, kalian tiba di sini."

Kazuki mengepalkan tangan.

"Jika kau benar-benar yang mengendalikan Omega Shift… maka kau pasti tahu bagaimana cara menghentikannya!"

The Architect terdiam sejenak. Lalu, ia tertawa pelan.

"Menghentikannya? Kalian masih berpikir bahwa ini tentang menang atau kalah?"

Kazuki menegang.

"Ini bukan permainan, Kazuki Amamiya. Ini adalah konsekuensi."

Rin melangkah maju, ekspresinya tegang.

"Apa maksudmu… konsekuensi?"

The Architect mengangkat tangannya—atau sesuatu yang menyerupai tangan—dan dari kegelapan, cahaya muncul. Di dalamnya, Kazuki melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Dirinya sendiri.

Tidak hanya satu, tetapi banyak. Puluhan, ratusan, ribuan… Versi dirinya yang berbeda-beda, masing-masing berjalan di jalur waktu yang terpisah, tetapi semuanya memiliki satu kesamaan—mereka semua berakhir di tempat yang sama.

Di hadapan The Architect.

"Kau pikir hanya kau yang menjadi Anchor? Hanya kau yang menjadi kunci dalam Omega Shift?"

Kazuki menelan ludah.

"Kau hanya salah satu dari mereka. Dan mereka semua pernah berdiri di tempatmu sekarang."

Kazuki menggeleng, berusaha memahami apa yang ia lihat.

"Tapi… kalau ada banyak Anchor lain… berarti ada yang masih tersisa? Seseorang yang lebih penting?"

The Architect mengangguk.

"Tepat. Ada satu entitas terakhir, jangkar yang melampaui semua kemungkinan, yang bahkan aku tidak bisa sepenuhnya kendalikan."

Kazuki merasakan hawa dingin merayap di tulang punggungnya.

"Siapa… atau apa itu?"

The Architect menatapnya—atau Kazuki merasa sedang ditatap, meskipun sosok itu tidak memiliki mata.

"Kau belum siap mengetahui jawabannya."

Kazuki mengepalkan tinjunya.

"Kalau begitu, beri aku jawaban yang bisa kupahami!"

The Architect terdiam, lalu perlahan mengangkat tangannya ke arah Rin.

"Mungkin kau harus bertanya… padanya."

Rin tersentak.

"Apa?"

Kazuki menoleh ke Rin, matanya dipenuhi kebingungan.

"Apa maksudnya, Rin?"

Rin menggeleng cepat.

"Aku tidak tahu! Aku tidak mengerti!"

Namun, sesuatu dalam ekspresinya… sesuatu dalam cara dia mengucapkannya… membuat Kazuki merasa ada sesuatu yang disembunyikannya.

The Architect kembali tertawa pelan, suara yang bergema tanpa emosi.

"Jika kau berpikir ini sudah berakhir… kau belum melihat awal yang sebenarnya."

Kazuki menahan napas.

Dan saat ia akan berbicara lagi, dunia di sekeliling mereka mulai runtuh.

Arus waktu yang berputar mulai kehilangan bentuk, cahaya dan bayangan bercampur menjadi satu. Suara-suara dari realitas lain terdengar, seolah-olah batas antara dimensi mulai hancur.

Di tengah kekacauan itu, The Architect tersenyum samar.

"Kalian hanya bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar."

Lalu, segalanya menjadi putih.

(To be continued.)