Refleksi yang Tak Sesuai

Kazuki menatap wajahnya di cermin kamar mandi.

Matanya tampak lelah, lingkaran hitam samar terbentuk di bawah kelopak matanya. Tidak aneh—ia sudah terlalu sering begadang, berusaha mengurai misteri yang seharusnya sudah berakhir.

Tetapi ada sesuatu yang mengganggunya.

Refleksinya terasa… terlalu diam.

Bukan karena ia tidak bergerak, tetapi ada ketidaksesuaian kecil yang membuat bulu kuduknya meremang.

Ia mengangkat tangan—refleksinya mengikuti.

Ia memiringkan kepala—refleksinya tetap seirama.

Namun, saat ia menyipitkan mata, refleksinya… tersenyum.

Bukan senyuman yang ia buat.

Bukan senyuman yang seharusnya ada.

Kazuki mundur selangkah.

Jantungnya berdegup kencang. Ia mengedipkan mata, mencoba memastikan apa yang baru saja dilihatnya. Tetapi saat ia menatap cermin lagi, refleksinya kembali normal.

Seakan tidak ada yang terjadi.

Seakan semuanya hanya ada dalam pikirannya.

Tetapi Kazuki tahu lebih baik dari itu.

"Rin."

Kazuki berjalan ke ruang kerja, di mana Rin masih duduk di depan laptop mereka, meneliti data dari ΔT_00?.

"Mm?" Rin menoleh, menyesap kopi yang sudah hampir dingin. "Ada apa?"

Kazuki ragu sejenak sebelum menjawab. "Kau pernah merasa… sesuatu yang kau lihat di cermin tidak benar?"

Rin mengangkat alis. "Kau mulai terdengar seperti aku waktu itu."

Ia menutup laptopnya dan berdiri. "Aku memang pernah mengalami sesuatu dengan refleksi. Tapi maksudmu apa?"

Kazuki menghela napas, mengusap tengkuknya. "Barusan, refleksiku tersenyum. Tapi aku tidak tersenyum."

Rin menatapnya sejenak, lalu berkata dengan nada yang lebih serius, "Seperti yang kulihat waktu itu."

Kazuki menatapnya dengan tajam. "Waktu itu?"

Rin mengangguk, lalu menunjuk cermin di sudut ruangan. "Saat kita menemukan file dengan label Observer Protocol, aku melihat pantulanku… tetap menatap dokumen itu, meski aku sudah menoleh ke tempat lain."

Kazuki merasakan ketegangan di perutnya.

Ini bukan kebetulan.

Mereka berdiri di depan cermin.

Kazuki menatap pantulannya dengan hati-hati. Kali ini, refleksinya tidak melakukan hal aneh—setidaknya, belum.

Tetapi kemudian, Rin menunjuk sesuatu di sudut cermin.

"Sana. Lihat itu."

Kazuki menyipitkan mata.

Ada sesuatu yang samar—sesuatu yang tidak seharusnya ada.

Simbol kecil yang nyaris tidak terlihat, seolah diukir dengan cara yang hanya bisa terlihat dalam sudut tertentu.

Huruf Yunani ‘Σ’—Sigma.

"Sigma…" Kazuki menggumam. "Apa ini?"

Rin menyentuh permukaan cermin dengan jari-jarinya. "Aku rasa ini bukan sekadar simbol biasa."

Kazuki mengulurkan tangannya, hendak menyentuh simbol itu.

Namun sebelum jarinya menyentuh kaca, suara lirih menggema di benaknya.

> "Cermin tidak memantulkan kebenaran. Hanya aku yang bisa."

—S.R.

Kazuki tersentak, menarik tangannya kembali.

Napasnya tercekat.

"S.R. lagi…!"

"Kau dengar sesuatu?" Rin bertanya dengan nada tajam.

Kazuki mengangguk, masih merasakan suara itu beresonansi di kepalanya.

Rin mengepalkan tangannya. "Kalau S.R. masih memperhatikan kita, berarti kita belum keluar dari permainannya."

Kazuki mengatur napasnya. "Aku ingin mencoba sesuatu."

Ia kembali menatap refleksinya—menunggu. Menunggu sesuatu terjadi. Dan ia tidak perlu menunggu lama.

Refleksinya mulai berubah.

Ia… mulai berbicara.

Tetapi bibir Kazuki sendiri tidak bergerak.

> "Jangan percaya apa yang kau lihat."

Kazuki membeku.

> "Bahkan dirimu sendiri."

Lalu refleksinya… tersenyum.

Kazuki mundur selangkah, dadanya berdegup keras. Namun sebelum ia bisa mengatakan apa pun—

Cermin retak.

(To be continued.)